Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Burung Elang Itu, Kembali...

27 November 2015   08:01 Diperbarui: 27 November 2015   08:22 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar elang dan mangsanya (sumber foto: turbotwister.ru)"][/caption]Mungkin karena pengaruh usia yang bertambah dan banyaknya waktu untuk diri sendiri, maka saya jadi sering teringat pengalaman masa lalu.

Sebagai kanak-kanak, masa lalu yang penuh keterbatasan - jika dibandingkan dengan anak masa sekarang yang sepertinya punya segalanya- saya lebih menyukai masa kecilku.

Sebagai kanak-kanak saya sungguh menikmati masa itu. Saya bisa bermain dengan bebas dan saya bisa belajar dengan santai, tidak seperti anak sekarang. Di usia dini mereka sudah tergenjot untuk bersaing. Ada kursus ini, kursus itu, les-les tambahan dan lain-lain. Mereka bermainnya pun hanya di belakang meja..., meja komputer.

Banyak yang sudah berubah. Kemajuan teknologi makin pesat. Bumi dan alam semesta juga mengalami perubahan. Sayang, perubahannya banyak yang ke arah negatif.

Banyak flora dan fauna yang sudah menghilang, akibat ulah manusia.

Ketika masa sekolah dasar dan menengah, pelajaran menggambar selalu ada gunung, langit biru, awan putih dan burung elang. Sekarang langit berkabut polusi, burung-burung elang sudah langka dan hampir tidak terlihat lagi.

Zaman dahulu, dari teras lantai dua rumah kami, bila memandang ke Timur akan terlihat gunung. Ini di kota Makassar, lho. Kata kakak saya, “Itu gunung Latimojong.” Benar atau tidak, saya tidak pernah mengeceknya.

Rumah kami, adalah salah satu rumah di China Town kota Makassar. Teras atas rumah itu kami sebut langkang, entah berasal dari bahasa apa. Begitulah Peranakan Tionghoa Makassar menyebutnya.

Di langkang kami yang luas itu banyak kegiatan berlangsung, dari menjemur pakaian, bermain dende-dende, main layangan, apa saja. Ibu saya menanam tomat dan bunga dahlia, saya menanam melati dan bunga mawar yang sangat wangi.

Walau kami anak-anak bebas bermain, namun kami juga sering diberi tugas. Mau tahu tugas apa saja?

Saya paling sering diminta ibu mengawasi  dendeng yang dijemur. Ibu sering membuat dendeng. Kadang dendeng ikan, namun yang paling sering, dendeng daging sapi.

Mengapa dendeng itu harus ditungguin? Iya, untuk menghindari dendeng dimangsa oleh burung elang.

Sebetulnya tugas ini membosankan, karena itu saudara-saudara saya tidak ada yang betah. Sebelum disuruh, mereka sudah ngacir duluan.

Supaya tidak bosan, disamping membaca buku cerita, saya suka memperhatikan burung-burung elang itu. Iya, burung elangnya bukan satu, tapi ada beberapa ekor yang terbang berputar-putar di angkasa. Apa bila keberadaan saya agak terlindung dan diam tidak bergerak, dengan cepat burung elang itu menukik ke bawah dan dengan gesit akan menyambar dendeng ibu saya. Namun sebelum si elang mencapai sasaran, saya langsung berteriak dan mengusir dengan melambaikan kain yang sudah saya siapkan. Layaknya kami bermain.

Kadang saya merasa kasihan dan melemparkan potongan dendeng yang agak kecil, tapi saking kecilnya, si elang tidak menggubrisnya. Potongan itu lalu saya kembalikan ke tempatnya di atas tampah. Iih… padahal itu sudah kotor karena sudah saya letakkan di lantai.

Saya pun pernah tertidur, lalu saya kecolongan sepotong besar dendeng. Akibatnya, saya dimarahi ibu.

Oh, iya mereka pernah juga menyambar anak ayam kami. Saya menangis karena sedih…

Itulah pengalaman saya dengan elang-elang si pemakan daging.

Sore itu, daerah Puncak diguyur hujan yang lumayan deras. Sambil bermain kartu, saya mengisahkan cerita elang itu kepada suami saya. Rasanya saya sangat merindukan masa-masa itu…, saya kehilangan burung-burung elang itu.

Pagi harinya udara sangat sejuk dan segar. Matahari bersinar terang, namun titik-titik air bekas hujan semalam belum sepenuhnya kering.

Pada pagi menjelang siang, ketika kami bersantai di teras, saya kembali berkata, “Kemana ya perginya burung-burung itu…?”

Tiba-tiba kami mendengar bunyi kepak sayap, dan melihat seekor elang menukik ke bawah, persis sama gerakannya ketika dulu si elang akan menyambar dendeng ibu.

Hanya sekejap, lalu kembali terbang tinggi dan menghilang di angkasa raya.

Kami berdua terpana dan merasa sangat surprised. Burung elang itu, kembali…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun