Biasanya, rebung yang sudah dibuang kulitnya, dibersihkan lalu dipotong-potong atau diiris sesuai kebutuhan peruntukannya. Misalnya, untuk bahan isi lumpia, diiris menyerupai batang korek api.
Kemudian rebung saya rebus sampai mendidih. Setelah itu, ganti airnya lalu direbus lagi dan siaplah rebung untuk digunakan sesuai kebutuhan.
Sisa rebung yang sudah direbus ini, bersama air rebusannya, boleh disimpan di lemari pendingin selama berminggu-minggu. Agar rebung ini awet, setiap dua minggu, saya ganti airnya, lalu dipanasin ulang dan setelah dingin dikulkasin lagi.
Karena kelangkaan rebung, Lumpia Makassar yang disebut Popiah, tidak lagi memakai rebung, yang biasanya dipakai menemani bengkuang, taoge dan wortel.
Yang bertahan, adalah Lumpia Semarang, karena isinya memang seratus persen memakai rebung.
Bagaimana jadinya, kalau pohon bambu konsumsi, musnah di Nusantara? Akankah Lumpia Semarang tinggal kenangan? Atau terpaksa memakai rebung impor kalengan? Semoga tidak, ya!
Mau ikutan menanam bambu? Iya, ayo..., tidak perlu lahan yang luas, kok. Rumpun bambu, cukup empat-lima batang sudah sangat oke.
Takut menjadi sarang ular? Tidak bakalan, kan rumpunnya selalu kita bersihkan! Takut ada yang nungguin, alias ada setannya? Aaah..., itu hanya mitos jadul untuk menakut-nakuti anak-anak, supaya tidak bermain jauh dari rumah.
Percayalah, duduk di bawah rumpun bambu sangat asyik, sambil mendengarkan gesekan daun-daunnya, bagai bisikan simfoni yang sungguh menawan..., sambil menikmati lumpia goreng atau lumpia basah. Nyam,nyam,nyam...enak! "Pokoe maknyus," kata Pak Bondan Winarno...
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI