Los-los lantai atas memang benar sepi pengunjung, sehingga sebagian terpaksa tutup. Saya rasa bukan terutama masalah eskalator tapi terlebih pada penyediaan barang dangangan yang terbatas alias tidak komplit, sehingga pengunjung malas ke atas. Sebaliknya pedagang juga tidak berani atau mungkin kurang modal untuk menyediakan aneka macam produk seperti yang ada di market-market itu, karena berpikir siapa yang akan membelinya. Memang cukup rumit.
Â
Macetnya jalan di sekitar daerah Santa, mungkin menjadi faktor penambah keengganan berbelanja di Pasar Santa. Di jalan Cipaku yang hanya boleh dilalui kendaraan secara searah pada jam tertentu sepertinya peraturan itu tidak selalu ditaati. Diperlukan usaha yang serius dan kerja sama semua pihak terkait, kalau mau meningkatkan pengunjung pasar Santa. Umpama meningkatkan kontrol mutu, menjamin tidak ada pemakaian formalin, boraks dan zat pewarna tekstil pada bahan makanan yang dijual.
Â
Lalu promosikan dagangan sehat sebagai Trade Mark pasar Santa. Adakan festival, temanya bisa apa saja, misalnya kuliner Nusantara.
Â
Pengelola perlu juga menyediakan ATM bank-bank yang banyak pelanggannya. Maksudnya mungkin orang hanya perlu mengambil uang, akhirnya sekalian belanja. Hal ini juga bisa mempermudah untuk berbelanja di pasar yang masih menggunakan pembayaran tunai.
Menyediakan eskalator memang akan sangat mendukung, namun siapa yang akan menanggung beban biaya operasionalnya? Jadi perlu atau tidaknya eskalator masih patut mempertimbangkan biaya operasionalnya.
Sebagai penutup, ada satu hal yang sangat mengusik, yaitu kebiasaan merokok para pedagang di depan para pembelinya. Akan sanggupkah kita menghentikan kebiasaan ini? Wallahualam, tetapi berharap itu selalu positif kan?!
Semoga Pasar Santa bisa berkembang menjadi pasar kebanggaan di wilayah Jakarta Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H