Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pasarku, Pasar Santa

1 Juni 2014   23:23 Diperbarui: 21 September 2015   17:36 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai bermukim di Kebayoran Baru sejak 14 Juli 1974, suatu jangka waktu yang lumayan...

Sebagai ibu rumah tangga aktifitas saya sehari-hari tentu tidak terlepas dari keberadaan pasar.

 

Pasar blok M adalah salah satu daya tarik dalam penentuan lokasi pemukiman yang akan kami tempati. Kelak ternyata ada pasar yang lebih dekat lagi yaitu pasar Santa.

[caption id="attachment_357956" align="aligncenter" width="300" caption="Pasar Santa setelah modernisasi (koleksi pribadi)"][/caption]

 

Kami sungguh beruntung mendapatkan lokasi rumah yang berdekatan dengan pasar.

 

Dulu Kebayoran Baru belum seramai sekarang, saya ke pasar selalu hanya berjalan kaki, tanpa perlu was-was tertabrak kendaraan bermotor dan bila perlu dapat naik becak; karena itu saya tetap rajin ke pasar walau penjual keliling kebutuhan dapur cukup ramai pada masa itu.

 

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 26 Mei 2014, Harian Kompas menulis berita "Pasar Tradisional Masih Menarik". Pasar Santa adalah salah satu pasar tradisional yang sudah di renovasi total, alias dibangun baru.

 

Pasar Santa yang sudah berubah wajah, apakah membawa peningkatan kesejahteraan para pedagangnya? Yang saya ketahui banyak dari pedagang lama yang sudah tidak saya jumpai setelah pasar yang baru, mulai beroperasi beberapa tahun yang lalu.

 

Pasar Santa dengan "kemegahan" bangunannya tidak berhasil mendongkrak jumlah pengunjung pasar.

 

Pedagang lama yang tadinya masih eksis sekarangpun ada yang sudah pergi. Saya kehilangan penjual langganan yang sudah cukup lama.

 

Berkurangnya pengunjung pasar, mungkin karena banyak bangunan perumahan yang berubah fungsi, atau penghuni rumah yang terpaksa pindah ke pinggiran karena tidak kuat lagi membiayai perawatan rumahnya.

 

Di samping itu, ibu-ibu rumah tangga sekarang kebanyakan merangkap sebagai wanita karier, sehingga mereka tidak akan berbelanja pada pagi dan siang hari, mereka lebih suka berbelanja di supermarket atau hypermarket. Disamping variasi barang yang banyak, dengan pendingin udara yang sejuk, harga sebagian barangnya lebih murah dari harga dipasar-pasar eks pasar tradisional.

 

Mengapa bisa begitu? Kata seorang penjual langganan saya di pasar Santa, harga pembelian mereka memang lebih tinggi. Sebagai contoh harga minyak goreng kemasan di pasar Santa sekarang tidak pernah ada yang di bawah dua puluh lima ribu per dua liter.

 

Saya berharap, mungkin Koperasi Pasar Jaya bisa memborong barang untuk disalurkan ke para pedagang pasar di seluruh Jakarta, maka mereka pasti bisa bersaing, menjual dengan harga yang lebih murah dari market-market itu. Sebab biaya operasional mereka kan pasti jauh lebih kecil dibandingkan dengan market-market itu.

 

Ini ada yang unik, upaya seorang pedagang pasar Santa untuk mendongkrak penjualan. Dia melayani penjualan online. Hebat, semoga usahanya berhasil.

[caption id="attachment_357958" align="aligncenter" width="300" caption="Bisa pesan antar (koleksi pribadi)"]

14101699711643185673
14101699711643185673
[/caption]

 

Dulu harga-harga di pasar Santa selalu lebih murah dari pasar manapun, apalagi dengan harga supermarket.

 

Meskipun sekarang harga sebagian barang di Pasar Santa lebih mahal, saya tetap berbelanja di sana. Jangan salah, yang harganya lebih mahal hanya sebagian barang ya...

 

Berbelanja di Pasar Santa cukup menyenangkan dengan suasana kekeluargaan, ada semacam sentuhan pribadi yang saya rasakan antara pedagang dengan kami sebagai pelanggannya.

[caption id="attachment_357959" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana kekeluargaan dalam berbelanja (dokumen pribadi)"]

14101700342077970303
14101700342077970303
[/caption]

Sekarang setelah lansia, saya dan suami biasanya berbelanja ke pasar berdua. Apabila salah satu dari kami absen, mereka pasti menanyakan, "Mana ibu?" atau "Mana bapak?", demikian juga sebaliknya saya akan mencari bila mereka tidak terlihat, "Mana mas Itok, pak Jumadi atau pak Tambunan?"

 

Mereka tidak akan menjual barang yang kurang okay kepada kami. Itulah artinya langganan. Merekapun akan memanggil kami, apabila ada jualannya yang biasanya, sering kami cari, misalnya sukun atau kacang tanah segar berkulit. Haha ketahuan kesukaan kami, ya?!

 

Suami saya pernah diberi kemeja batik oleh tukang sayur langganan. Ketika ditanya alasannya, jawabnya, "Ketika melihat baju ini saya teringat Bapak, jadi saya beli untuk oleh-oleh." Baju itu sangat pas ukurannya. Saat itu suami saya menjelang akan menjalani operasi besar, saya membatin apa artinya ini. Itu terjadi lima setengah tahun yang lalu.


Dulu banget, sewaktu masih pasar lama, pernah saya membeli ikan dan sudah dipotong-potong pula, ketika saya menyadari tidak membawa dompet, ikan boleh dibawa, malah mereka menawari saya pinjaman uang.

 

Itulah uniknya hubungan kami, karena itulah kami tetap menjadi pelanggan pasar Santa, sambil berharap manajemen pasar melakukan terobosan dengan  inovasi-inovasi kreatif demi kemajuan para pedagang dan kepuasan para pembeli.

 

Los-los lantai atas memang benar sepi pengunjung, sehingga sebagian terpaksa tutup. Saya rasa bukan terutama masalah eskalator tapi terlebih pada penyediaan barang dangangan yang terbatas alias tidak komplit, sehingga pengunjung malas ke atas. Sebaliknya pedagang juga tidak berani atau mungkin kurang modal untuk menyediakan aneka macam produk seperti yang ada di market-market itu, karena berpikir siapa yang akan membelinya. Memang cukup rumit.

 

Macetnya jalan di sekitar daerah Santa, mungkin menjadi faktor penambah keengganan berbelanja di Pasar Santa. Di jalan Cipaku yang hanya boleh dilalui kendaraan secara searah pada jam tertentu sepertinya peraturan itu tidak selalu ditaati. Diperlukan usaha yang serius dan kerja sama semua pihak terkait, kalau mau meningkatkan pengunjung pasar Santa. Umpama meningkatkan kontrol mutu, menjamin tidak ada pemakaian formalin, boraks dan zat pewarna tekstil pada bahan makanan yang dijual.

 

Lalu promosikan dagangan sehat sebagai Trade Mark pasar Santa. Adakan festival, temanya bisa apa saja, misalnya kuliner Nusantara.

 

Pengelola perlu juga menyediakan ATM bank-bank yang banyak pelanggannya. Maksudnya mungkin orang hanya perlu mengambil uang, akhirnya sekalian belanja. Hal ini juga bisa mempermudah untuk berbelanja di pasar yang masih menggunakan pembayaran tunai.


Menyediakan eskalator memang akan sangat mendukung, namun siapa yang akan menanggung beban biaya operasionalnya? Jadi perlu atau tidaknya eskalator masih patut mempertimbangkan biaya operasionalnya.

Sebagai penutup, ada satu hal yang sangat mengusik, yaitu kebiasaan merokok para pedagang di depan para pembelinya. Akan sanggupkah kita menghentikan kebiasaan ini? Wallahualam, tetapi berharap itu selalu positif kan?!


Semoga Pasar Santa bisa berkembang menjadi pasar kebanggaan di wilayah Jakarta Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun