Mohon tunggu...
Irene Cynthia Hadi
Irene Cynthia Hadi Mohon Tunggu... Editor - Editor

Just an ordinary girl from Surakarta, who writes perfect moments at the perfect time...

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Home Sweet Loan, Pahit Getir Kehidupan Sandwich Generation, Si Tumpuan Keluarga

7 Oktober 2024   13:45 Diperbarui: 7 Oktober 2024   13:51 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Home Sweet Loan baru saja tayang di layar lebar Indonesia pada 3 Oktober 2024 lalu.

Meskipun baru saja tayang, film ini sudah menyedot banyak perhatian di lini masa media sosial di Indonesia.

Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Almira Bestari ini mengisahkan seorang pegawai kantoran di Jakarta bernama Kaluna (Yunita Siregar).

Ia harus menjadi sandwich generation lantaran menghidupi keluarganya.

Dengan gaji pas-pasan, Kaluna menabung dan berjuang untuk membeli rumah sendiri.

Apalagi, rumah orang tuanya tak hanya ditinggali dirinya sebagai anak bungsu saja.

Ada kedua kakaknya yang sudah menikah dan akhirnya numpang tinggal bersama anak-anak mereka di sana hingga dirinya tergusur dan harus tidur di kamar ART.

Perjuangan Kaluna mencari rumah dan berusaha tetap ada untuk keluarganya menjadi fokus tersendiri dalam film ini.

Nampak raut wajah lelah Kaluna saat pulang larut malam, seakan mewakili jeritan hati kaum milenial di Indonesia.

Begitu pula dengan rasa frustasi Kaluna yang dipendamnya seorang diri karena menjadi tumpuan keluarga dan harus mati-matian menabung demi membeli rumah.

Home Sweet Loan (sumber: Cinemags)
Home Sweet Loan (sumber: Cinemags)

Pada tahun 2022 lalu, survei dari Indonesia Property Watch atau IPW menunjukkan, hanya milenial yang memiliki penghasilan rata-rata Rp 8,5 juta per bulan dengan usia 27 sampai 39 tahun yang aktif membeli rumah atau properti.

Padahal, penghasilan rata-rata milenial di tahun itu hanyalah Rp 6 sampai 7 juta per bulan.

Sementara itu, survei Rumah123 pada tahun 2018 lalu menunjukkan hanya 5 persen saja dari generasi milenial di Indonesia yang sanggup membeli rumah.

Melansir dari Gramedia.com, ada sederet penyebab mengapa milenial kesulitan memiliki rumah.

Mulai dari adanya ketimpangan gaji dan harga rumah, kenaikan harga rumah, tanah dan properti yang signifikan hingga program pemerintah yang terbatas.

Ketimpangan itulah yang sukses dinarasikan dalam film Home Sweet Loan.

Meskipun premis ceritanya terkesan sederhana, namun Home Sweet Loan mampu mengisahkan pahit getirnya perjuangan milenial di negeri ini demi mendapatkan rumah.

Kaluna yang sudah bekerja lama di satu perusahaan dengan gaji satu digit, mati-matian pulang malam meskipun tak dibayar lembur hingga kelelahan dan mencari pekerjaan tambahan.

Hasil tabungannya pun diambil untuk membayar token listrik di rumahnya yang dihuni seabrek orang yakni kakak-kakaknya yang tak punya cukup uang namun nekat menikah dan punya anak.

Budaya seorang anak yang seakan 'wajib' membantu keluarganya dan menjadi penopang bagi saudara dan kedua orang tuanya, juga digambarkan begitu pas dalam film ini.

Belum lagi ia harus membayar mahal demi kelakuan kakak laki-lakinya yang terlilit pinjol, suatu masalah klise di negeri kita ini yang hingga kini masih dibiarkan begitu saja.

Lelahnya Kaluna dalam Home Sweet Loan (sumber: Visinema Pictures) 
Lelahnya Kaluna dalam Home Sweet Loan (sumber: Visinema Pictures) 

Bagi saya, film ini bukan sekadar film biasa.

Permasalahan Kaluna dan keluarganya ini bukan hanya tentang Kaluna, tapi tentang kita semua.

Kita, kaum muda milenial yang berjuang mati-matian digempur rasa lelah, mengumpulkan pundi-pundi demi membeli rumah yang entah kapan bisa terbeli dengan lunas.

Dengan biaya hidup yang makin membengkak, kenaikan gaji dan UMR yang stagnan, bak mustahil untuk membeli sebuah rumah, atau bahkan menikah dan memiliki anak.

Jika rantai ini tak diputus, entah kenapa saya tak tega jika membiarkan anak cucu kita di masa yang akan datang mengalami hal yang sama.

Apakah mereka harus membayar token listrik untuk satu keluarga hingga membayarkan utang keluarga yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya?

Semoga film ini bukan hanya sekadar menjadi pengingat namun juga memberikan sentilan tajam kepada pemerintah dan pengusaha tentang upah yang tak sebanding dengan kenaikan harga rumah serta properti.

Sejatinya, rumah adalah kebutuhan pokok manusia yang seharusnya menjadi prioritas.

Namun sayangnya, memiliki rumah kini harus didukung dengan sistem upah dan kebijakan yang tepat.

Dalam sistem yang tepat, kaum milenial seharusnya lebih mampu mengakses pekerjaan dengan upah yang jauh lebih layak dan menabung lebih banyak agar bisa membeli rumah untuk masa tua.

(cyn)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun