Belum lagi ia harus membayar mahal demi kelakuan kakak laki-lakinya yang terlilit pinjol, suatu masalah klise di negeri kita ini yang hingga kini masih dibiarkan begitu saja.
Bagi saya, film ini bukan sekadar film biasa.
Permasalahan Kaluna dan keluarganya ini bukan hanya tentang Kaluna, tapi tentang kita semua.
Kita, kaum muda milenial yang berjuang mati-matian digempur rasa lelah, mengumpulkan pundi-pundi demi membeli rumah yang entah kapan bisa terbeli dengan lunas.
Dengan biaya hidup yang makin membengkak, kenaikan gaji dan UMR yang stagnan, bak mustahil untuk membeli sebuah rumah, atau bahkan menikah dan memiliki anak.
Jika rantai ini tak diputus, entah kenapa saya tak tega jika membiarkan anak cucu kita di masa yang akan datang mengalami hal yang sama.
Apakah mereka harus membayar token listrik untuk satu keluarga hingga membayarkan utang keluarga yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya?
Semoga film ini bukan hanya sekadar menjadi pengingat namun juga memberikan sentilan tajam kepada pemerintah dan pengusaha tentang upah yang tak sebanding dengan kenaikan harga rumah serta properti.
Sejatinya, rumah adalah kebutuhan pokok manusia yang seharusnya menjadi prioritas.
Namun sayangnya, memiliki rumah kini harus didukung dengan sistem upah dan kebijakan yang tepat.