Hidup ini adalah sebuah kompetisi. Kalimat itu mungkin sering kita dengar dalam hidup sehari-hari.Â
Bukan hanya lewat dunia nyata, namun juga melalui media sosial, kita sering merasa bahwa orang lain mampu meraih kesuksesan di atas kita. Media sosial juga memburamkan dan menyempitkan pandangan kita akan kehidupan.Â
Oh, si itu sudah menikah, oh si itu sudah bisa punya mobil dan rumah, sementara aku belum punya apa-apa. Mungkin itu yang sering terlintas di benak kita ketika melihat pencapaian orang lain yang terpampang nyata di media sosial.
Dulu, saya pun sempat mengalami itu semua. Larut dalam kekecewaan diri karena merasa diri tidak bisa memenuhi sesuatu yang disebut sebagai standar kehidupan dalam masyarakat.Â
Namun, lama-kelamaan, ada sesuatu yang mengganjal dalam diri.Â
Kenapa saya tidak pernah merasa cukup? Haruskah saya hidup sesuai dengan apa yang menjadi standar kebahagiaan dan pencapaian orang lain?
Belajar merasa cukup, itulah metode yang saya gunakan.Â
Jika kita sering mendengar orang lain menyuruh kita untuk terus berusaha tanpa lelah, maka kali ini saya justru ingin memberikan pandangan lain yakni belajarlah untuk merasa cukup.Â
Cukup berarti belajar mensyukuri apa yang kita miliki, mulai dari hal yang kita temui sehari-hari.Â
Napas yang kita hirup, makanan dan minuman yang kita santap, udara yang kita nikmati, hingga rumah yang menjadi tempat kita bernaung serta keluarga yang menunggu di rumah, itu semua adalah berkat yang tidak akan terganti.Â