Mohon tunggu...
Irene Cynthia Hadi
Irene Cynthia Hadi Mohon Tunggu... Editor - Editor

Just an ordinary girl from Surakarta, who writes perfect moments at the perfect time...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

A Short Trip to Bali: Vitamin Sea (Part 1)

4 Mei 2016   10:48 Diperbarui: 26 Agustus 2016   16:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo! Kembali lagi dalam rangkaian perjalanan ‘A Short Trip to Bali’! Setelah melewati hari Nyepi (yang tentunya kami habiskan di penginapan saja sambil makan-tidur makan-tidur), kami kembali melanjutkan petualangan kami di Pulau Dewata. Nah, sebelum mengikuti kisah kami, ada beberapa tips bagi Anda yang mau melewatkan liburan di Bali pada saat perayaan Nyepi. Pertama, siapkan lauk satu hari sebelum Nyepi. Kedua, masaklah nasi sebelum pukul 06.00 WITA karena the day without light and fire akan dimulai pada pukul 06.00. Mandilah sebelum hari gelap (pk 06.30 WITA) dan jangan menyalakan TV dan lampu, karena pasti cahayanya akan terlihat dari luar, kecuali jika Anda menghabiskan waktu di hotel. Well, sebenarnya kami sempat kena sorot senter dari luar gara-gara lampu kamar mandi lupa kami matikan. Oke, lanjut ke perjalanan kami di hari keempat ya! 

Kamis, 10 Maret 2016. Tik tok tik tok. Jam menunjukkan pukul 07.00 WITA saat kami membuka mata. Kami cepat-cepat beranjak dan pergi dari penginapan untuk mencari sarapan. Jalanan masih sepi, beberapa orang sibuk mempersiapkan tokonya. Kami mandheg di sebuah warung soto di pinggir jalan. Sayangnya, warung itu belum siap. Kami kembali melaju dan menuju ke sebuah minimarket......(mereknya disensor ya hehehehe) tapi minimarket itu juga masih tutup. Kami muter-muter nggak jelas karena semua warung makan masih tutup dan kami harus cepat-cepat ke pantai supaya tidak gosong.

Setelah muter-muter cukup lama (dan desperate karena restoran cepat saji pun juga tutup), akhirnya kami menemukan sebuah minimarket yang sudah siap sedia di kawasan Universitas Udayana. Bak melihat harta karun dengan mata cemerlang (lebay ah) kami masuk, menyeduh mi cup, bubur instan dan membeli roti, lalu makan di depan minimarket tersebut. Baru kali ini rasanya cari makan susahnya minta ampun...

Setelah perut kenyang, kami segera menuju ke.....Pantai Pandawa! Yey! Yup, destinasi pertama kami adalah Pantai Pandawa yang terletak di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Perjalanan ke Pantai Pandawa berlangsung selama kurang lebih satu jam dari Kuta. Dalam perjalanan, kami sempat memasuki kawasan wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang tentu saja belum buka. Kami sempatkan foto (lagi) di depan logo GWK yang terpampang di pinggir jalan.

Memasuki kawasan wisata Pantai Pandawa, kami disambut loket-loket kecil yang menagih para wisatawan untuk berwisata ke pantai. Kami harus membayar Rp 36.000,00 untuk dua motor. Hmmm..mahal juga ya, batin saya. Kami kembali melaju sembari mengamati dinding tinggi berwarna keabu-abuan yang membentang tinggi di kanan dan kiri jalan. Memang inilah yang menjadi ciri khas Pantai Pandawa. Ya, dinding-dinding kapur yang dibelah, hasil pekerjaan manusia demi membuat jalan menuju Pantai Pandawa.

Jalan yang kami lalui semakin menurun dan kami akhirnya bertemu patung Pandawa pertama di kiri jalan. Banyak orang berhenti di depan patung raksasa tersebut, sambil berfoto dan mengabadikan momen bersama keluarga dan teman. Dua patung, tiga, empat dan lima patung kami lalui sebelum akhirnya kami parkir di depan warung-warung yang menjual berbagai makanan dan minuman dingin. Saya agak bingung karena nampaknya ada yang berbeda dengan pantai yang sempat saya kunjungi tiga tahun yang lalu ini.

Kami turun dan berjalan menuju pantai. Nampak ada bebatuan harus kami lewati untuk menuju ke pantai berpasir putih itu. Kami meletakkan semua barang kami di atas kursi berpayung dan mulai bermain air. Saya memandang ke sekeliling pantai yang ternyata memang sudah berubah. Warung-warung di atas tadi dulunya tidak ada. Bebatuan di samping pantai membuat pantai ini nampak sempit, tidak seperti dulu lagi. Bahkan menurut saya, justru lebih bagus Pandawa yang dulu. Pandawa yang sekarang lebih sepi, semakin panas dan sempit karena adanya pembangunan warung di pinggir pantai.

Pantai Pandawa yang kini sepi pengunjung (Sumber: dokumentasi pribadi)

p2-57296c0ae5afbd3505b20b0b.jpg
p2-57296c0ae5afbd3505b20b0b.jpg
Pembangunan warung di belakang bebatuan di atas membuat Pantai Pandawa semakin sempit (Sumber: dokumentasi pribadi)

Karena sudah terlanjur sampai ke sini, kami pun tetap menikmati kondisi yang ada. Cukup puas rasanya bisa melihat pantai lagi setelah lama tidak mantai. Sayangnya, kesenangan kami tidak bertahan lama. Salah satu teman saya nampaknya didatangi seseorang saat ia berteduh di bawah kursi berpayung kami. Eww...ternyata kabar buruknya benar-benar terjadi. Sama seperti di Pantai Kuta, kami harus membayar supaya bisa berteduh di sana. Uang Rp 50.000,00 kami pun melayang dengan cepat. Ckckckckck...

Sekitar 30 menit kemudian, kami memutuskan untuk menyudahi kunjungan kami di Pandawa. Kami beranjak, membersihkan diri di toilet berbayar dan berhenti sejenak di salah satu patung Pandawa terdekat untuk berfoto. Lumayan sekalian berteduh dari teriknya matahari pagi. Kami juga berfoto di tulisan Pantai Pandawa yang juga menjadi spot favorit para wisatawan. Nah, selesai sudah kunjungan singkat kami. Next spot, Pantai Blue Point!

Suluban atau Blue Point?

Pukul 11.00 WITA. Setelah melalui satu jam perjalanan berbekal aplikasi dan GPS, akhirnya kami berhasil sampai ke Pantai Blue Point. Atau sebenarnya, itulah yang kami kira. Kami masuk ke sebuah jalan kecil. Di ujung jalan kecil itu nampak sebuah pintu yang tertutup. Motor-motor diparkir di kiri kanan jalan itu dan sebuah gubug kecil dibangun di ujung jalan, tepat di depan tangga yang entah menuju ke mana. Beberapa ibu-ibu duduk di dalam gubug sambil menjajakan kaos dan topi. Sebuah tulisan terpampang di tengah jalan, bunyinya ‘Pantai Suluban, parkir motor Rp 3.000,00’.

Kami mengernyitkan dahi lalu saling bertanya satu sama lain, “Beneran nih petanya? Ini pantai Suluban bukan Blue Point.” Kami pun turun dan bertanya ke ibu-ibu yang duduk di gubug. Ya, setelah melalui percakapan singkat, kami akhirnya tahu bahwa Pantai Suluban adalah pantai Blue Point itu sendiri (wealah.). Nah, ternyata Blue Point adalah nama resort yang berada di atas pantai Suluban sehingga pantai ini akhirnya juga disebut Pantai Blue Point.

Kami segera parkir dan turun ke bawah, melalui tangga yang sangat banyak dan lumutan. Di samping kanan dan kiri terdapat pohon-pohon hijau yang lebat dan menjulang tinggi. Wew...kelihatannya keberadaan pohon-pohon inilah yang membuat kami digigitin nyamuk selama perjalanan. Jadi ada baiknya Anda pakai lotion anti nyamuk kalau berkunjung ke sini. Semakin menurun dan semakin menurun. Kami berpapasan dengan beberapa wisatawan asing yang membawa papan surf mereka. Di bawah, kami menemukan banyak restoran dan toko-toko yang menawarkan berbagai aksesoris, peralatan surfing serta oleh-oleh khas Bali.

Setelah tanya-tanya sejenak (karena kami nggak tahu kemana arah pantainya), kami pun akhirnya menemukan tangga yang lebih curam, menuju ke sebuah gua kecil. Kami turun (dengan perasaan deg-degan) dan berhenti tepat di tengah-tengah tangga. Di sanalah kami akhirnya melihat Pantai Suluban yang terletak nun jauh nan curam di bawah sana. Kesan pertama saya adalah.......oh my God! Masih ada satu tangga curam (yang ini bener-bener curam banget!) nan sempit yang begitu mengerikan harus kami lalui untuk menjangkau pantai itu.

Hadeuh...saya menyerah. Melihat tangga itu rasanya sudah hayub-hayuben saking takutnya. Okey, saya akhirnya cuma liat-liat dari atas, dari antara dua tebing batu yang ada di samping kanan kiri tangga, bersama dengan satu teman saya. Kami berdiri di pinggir sambil melihat ke bawah. Nampak Pantai Suluban diapit tebing-tebing besar. Ombak yang datang berdebur-debur menghantam tebing-tebing itu. Beberapa wisatawan menyeberang lewat bebatuan di bawah tebing gua. Di sana saya melihat sebuah tangga yang membawa para wisatawan menuju ke atas tebing.

20160310-110455-57296cbfb27e6121053e8e4d.jpg
20160310-110455-57296cbfb27e6121053e8e4d.jpg
Pantai Suluban yang dikelilingi tebing curam (Sumber: dokumentasi pribadi)

Dua teman saya memberanikan diri turun ke bawah. Sembari melihat-lihat dari atas, kami juga mengamati wisatawan-wisatawan yang melewati kami dari tangga atas. Wow...tiba-tiba ada pasangan Korea yang lewat bersama seorang guide Indonesia.  Setelah berhenti sejenak di samping kami dan melongok ke bawah, si cewek Korea akhirnya mengurungkan niat untuk turun dan mereka pun kembali naik. Hehehehe... Tak lama setelah kedua teman kami naik, kami kembali naik untuk mencari restoran di atas pantai demi mengisi perut yang keroncongan gara-gara cuma sarapan mi cup pagi tadi.

Kami duduk di bawah meja kayu berpayung dengan pemandangan langsung ke arah laut. Indah sekali! Hamparan laut biru yang begitu luas dihiasi ombak putih terpampang di hadapan kami. Kami segera memesan makanan, tepatnya satu porsi nasi putih dengan sate ayam seharga Rp 28.000,00. Hohoho..agak lama kami menunggu sembari mengamati bule-bule yang asyik mengurus papan surf mereka. Singkat cerita, kami makan dengan lahap, beranjak, naik tangga lagi -_- (lemes dan laper lagi pas sampai ke atas) dan cao ke Pantai Padang-Padang.

Padang-Padang, pantai legendaris yang sempet nongol di film Eat, Pray, Love

Asyiknya mbonceng motor adalah bisa mengamati apa aja yang ada di kanan dan kiri jalan sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Hmm..bikin ngantuk deh pokoknya. Eh..kok ceritanya jadi begini sih?

Ok, balik lagi ke cerita awal. Lupakan sejenak kesenangan yang terlewat di Blue Point tadi. Kini kami kembali berkendara di jalan berkelok-kelok, menuju ke Pantai Padang-Padang. Kedua teman saya di depan sibuk mengikuti arahan aplikasi ponsel sementara jalan tiba-tiba semakin menanjak. Kami melewati jembatan besar, di mana tepat di bawah jembatan itu, kami melihat sebuah pantai yang begitu ramai. Jembatan terlewati dan di kiri jalan kami melewati gapura besar berbentuk pura bertuliskan ‘Labuan Sait.’ Kami melewatinya dan terus naik ke atas. Baru setelah naik terlalu lama dan bertanya pada orang, kami tahu ternyata kami sudah melewati Pantai Padang-Padang.

Fiuhhh...setelah bingung dengan Pantai Suluban yang namanya juga Blue Point, kini kami kembali kecele dengan Labuan Sait, nama lain dari Pantai Padang-Padang (ni pantai kok namanya beda-beda semua sih?). Sedikit gemes, kami pun segera parkir dan memasuki kawasan wisata Labuan Sait dengan membeli tiket masuk seharga Rp 5.000,00 per orang.

Masuk ke kawasan wisata Labuan Sait, kami kembali harus berolahraga menuruni tangga (wah....kurus nih sampai Jogja :P). Hanya saja tangga di sini tidak sebanyak di Blue Point tadi. Tangga di kawasan pantai ini cukup unik karena dibangun diantara dua tebing sempit, sehingga rasanya kami seperti masuk ke mulut gua. Ketika njedhul dari mulut gua, kami disambut hamparan pemandangan pantai dan laut yang begitu mempesona.

Wow..betapa indahnya pantai yang satu ini! Memang nggak salah kalo pantai ini menjadi primadona dan menjadi salah satu lokasi syuting film Eat, Pray, Lovenya Julia Roberts. Karang-karang dengan berbagai ukuran turut menghiasi dan menambah keindahan pantai. Hamparan laut yang biru membentang dan sesekali, deburan ombak berwarna putih yang cukup besar menghempas ke arah pengunjung pantai. Bahkan tas saya sempat basah karena terhempas ombak yang menghantam karang-karang di samping saya berdiri.

img-1021-jpg-57296d8c24afbd0505b710bd.jpg
img-1021-jpg-57296d8c24afbd0505b710bd.jpg
Pantai Padang-Padang yang dihiasi karang-karang (Sumber: dokumentasi pribadi)

Sungguh mempesona menghabiskan waktu di pantai ini meskipun kami mengurungkan niat untuk berenang seperti layaknya pengunjung lain. Panasnya pantai dan ombak yang besar tidak menahan kami untuk tinggal di pinggir pantai. Kami asyik mengabadikan memori dan bermain air sambil merasakan setiap butir pasir dan hempasan ombak di kaki. Ya, suatu momen yang begitu langka, melihat dan menikmati pantai seindah Pantai Padang-Padang. Bahkan saking keasyikannya, salah seorang di antara kami harus rela mengejar sandal jepitnya yang ‘lari’ dibawa ombak. Wkwkwkwkwk... Syukurlah sandal jepit itu akhirnya terselamatkan. Hehehehe...

Puas menikmati pemandangan dan main ombak, kami pun beranjak meskipun sebenarnya masih kepengen main air bahkan berenang di pantai ini. Well, kami harus menahan diri karena nanti sore kami akan berwisata air di Tanjung Benoa. Okay, sekian dulu cerita saya di ‘A Short Trip to Bali: Vitamin Sea (Part 1)’. Hei, perjalanan kami hari ini belum selesai lhoh, masih ada Vitamin Sea (Part 2), lanjutan kisah perjalanan kami di Pura Uluwatu, Tanjung Benoa dan Jimbaran yang nggak kalah seru karena kami harus berhadapan dengan monyet dan tragedi ban kempes! See u!

Rangkaian perjalanan:

  • Minimarket
  • Pantai Pandawa
  • Pantai Suluban/ Pantai Blue Point (makan siang)
  • Pantai Padang-Padang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun