Saya mengambil contoh dari buku Filosofi Teras. Saat berada dalam kemacetan, sebagian besar orang akan menggerutu dan tidak terima dengan keadaan itu, padahal kita sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kemacetan tersebut. Itu sudah ada di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah emosi dan perpektif kita terhadap keadaan tersebut. Tentu keadaan seperti itu sangat menyebalkan, tapi menjadi berapi-api bukan pilihan yang bagus juga. Kita bisa mengendalikannya agar hidup lebih tenteram. Bukankah ketentraman yang paling diidam-idamkan manusia? Pikirkanlah bahwa kemacetan itu tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa mengendalikan pikiran kita dengan berpikir bahwa kemacetan ini tidak seburuk itu.
Para filsuf Stoa ataupun penulis Filosofi Teras yaitu Henry Manampiring tidak mengatatakan bahwa Stoisisme ini sama dengan positif thinking karena tidak berfokus pada ekspektasi-ekspektasi positif, tetapi lebih menekankan pada kendali kita.
Bukan Artinya Pasrah
Banyak yang salah persepsi terhadap Stoisime. Katanya, Stoisisme membuat kita menjadi orang yang pasrahan. Padahal bukan seperti itu.
Baiklah saya akan memberikan sebuah contoh. Sebagian orang mungkin pernah dirundung, anggaplah kita pada akhirnya dirundung oleh seseorang. Dalam Stoisisme, perlakuan perundungan itu ada di luar kendali kita. Pikiran dan perbuatan si perundung terhadap kita ada dalam kendalinya.
Kalau pasrah, artinya kita menerima perlakukan perundungan tersebut seolah kita tidak mempunyai kendali atas apa pun. Namun, kenyataannya kita mempunyai kendali dalam beberapa hal. Kita punya kendali dengan perspektif dan tindakan kita.Â
Sebagai orang yang dirundung tentu ada pikiran dan perasaan rendah diri. Itu adalah sesuatu yang bisa diubah karena dalam kendali kita. Ubahlah perpektif kita bahwa perundungan yang terjadi terhadap kita bukan karena kita lebih buruk dibanding si perundung karena jika meskipun pada faktanya kita lebih baik berkali-kali lipat sekalipun, jika si perundung berpikir bahwa kita lebih rendah dan memiliki sifat perundung, dia akan tetap merundung kita. Dan kita tidak bisa mengendalikan pemikiran di perundung tersebut.
Kedua, ingat, bahwa kita masih punya kendali atas tindakan kita. Apakah saat kita dirundung akan diam saja, melaporkannya, melawan dengan cara yang sama? Itu sepenuhnya ada di dalam kendali kita. Pilihlah mana yang paling rasional.
Antara rasional dan irasional seharusnya sebagai manusia dewasa kita sudah tahu mana batasannya. Dalam Stoisisme sendiri ada satu tujuan lagi yaitu mencapai suatu kebajikan, jangan sampai pada akhirnya kita menjadi orang yang tidak bajik karena pilihan tindakan kita yang irasional.
Dari contoh tadi kita bisa simpulkan bahwa Stoisisme bukan berarti pasrah karena kita masih punya kendali terhadap beberapa hal.
Kesejahteraan Universal
Jika dilihat lebih dalam, nilai-nilai dalam Stoisisme ini ada dalam hampir setiap peradaban dan kebudayaan. Penulis buku Filosofi Teras, Henry Manampiring pun mengatakan demikian.Â
Bagi umat Islam kita pasti sangat mengenal istilah sabar, ikhlas, takdir, dan husnuzon. Nilai-nilai tersebut juga sebenarnya mirip dengan yang ada dalam Stoisisme. Tentu ada juga istilah-istilah lain di berbagai peradaban dan kebudayan yang maknanya hampir sama, hanya saja narasinya mungkin berbeda.