Mohon tunggu...
Ira Wulandari
Ira Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Karena sudah muak memendam pikiran-pikiran ini, jadi saya putuskan menyebarkannya di sini. Selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memang Bukan Untukku, Takdir Itu

20 Agustus 2024   10:52 Diperbarui: 20 Agustus 2024   10:54 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Shay Wood: https://www.pexels.com

Tidak semua hal-hal yang kita inginkan berakhir menjadi milik kita. Banyak hal yang ternyata itu hanya akan sekadar keinginan saja. Sangat menyebalkan, bukan?

Penerimana akan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kita adalah suatu hal yang hampir mustahil aku lakukan. Untungnya, dengana perjalanan yang panjang, aku bisa mencapai kebijaksanaan yang dinikmati orang-orang.

Terus Kuungkit Hal Itu

Mengikuti ekstrakulikulir Paskibra dan menjadi Calon Paskibra adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat pada saat SMA. Meskipun keras, aku merasakan pembentukan karakter menjadi seorang pemimpin dan seorang disipliner. 

Dari awal aku sudah yakin bahwa aku tidak akan lolos untuk mengibarkan bendera di tingkat kota karena tinggi badanku. Tidak masalah. Itu bukan tujuanku. Aku hanya ingin tergabung dalam kelompok ini dan mengikuti semua prinsip juga pelajarannya.

Sayangnya, kegiatan yang keras ini membuat Bapakku tidak menyetujui lagi aku mengikuti kegiatan ini. Beberapa kali aku menentang, tetapi kalah juga akhirnya. Aku masih bisa mendengar tangisku yang kencang.

Perjuanganku selama beberapa bulan ini kandas begitu saja, tepat di masa seleksi menjadi paskibra. Pesiapan sudah aku lakukan, aku hanya tinggal pergi menuju tempat pelatihan dan seleksi. 

Rekan-rekan dan seniorku mencoba membujuk Bapakku, tetapi tidak berhasil. Lalu, mereka meminta aku untuk aktif hanya di satuan (sekolah), tetapi aku terlalu takut ketahuan Bapak.

Seperti itulah berakhirnya hal yang sudah aku perjuangkan karena faktor orang lain. Padahal, dalam diriku tidak pernah ada kata menyerah, mengundurkan diri, berhenti, dan lain sebagainya untuk hal ini meskipun berat dijalani.

Tahun-tahun berlalu dan aku masih menyesalkan hal itu. Amarahku terkadang memuncak dan bisa secara langsung menyalahkan Bapakku. 

Hal yang tidak ditakdirkan untukku itu terus aku ungkit-ungkit meskipun api dan asapnya sudah tidak ada. Aku tidak bohong bahwa menyalahkan orang lain adalah perbuatan yang menyenangkan untuk menyuapi ego dan rasa kecewaku.

Itu adalah satu dari hal-hal yang terus aku sesali karena tidak menjadi bagian di hidupku. Belum lagi hal-hal yang memang tidak pernah dekat denganku, yang aku sadar bahwa hal itu bukan untukku, tetapi aku terus memaksakan diri agar hal itu ada dalam hidupku.

Takdirlah yang akhirnya aku salahkan.

Dampak Buruk Pada Diriku

Seperti yang kubilang sebelumnya bahwa menyenangkan rasanya menyalahkan orang lain untuk menyuapi ego dan ras kecewaku. Lagipula memang hal itu salah orang lain. Namun, perasaan itu hanya sesaat. Selebihnya menjadi bencana untuk diriku.

Rasa penyesalahan dan ketidakterimaanku terhadap sesuatu yang bukan milikku membuatku menjadi orang yang negatif. Seringkali sebelum melakukan sesuatu, aku sudah memikirkan hal-hal buruk yang kupikir ditakdirkan untukku.

"Tidak mungkin ini berjalan dengan lancar, pasti ujung-ujungnya gagal. Memang selalu seperti itu," kataku selalu seperti itu.

Tanpa sadar pemikiran seperti itulah yang justru berdampak pada hasil dari setiap hal yang kukerjakan. Akhirnya, aku akan lebih menyalahkan takdir.

Tidak mudah menyadari respons burukku terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupku. Terlebih lagi sebenarnya aku tidak menceritakan permasalahanku pada orang-orang terdekatku.

Aku memang suka membaca, tetapi sering menghindari buku-buku yang bertemakan penerimaan karena aku tidak terima dengan konsep itu. Aku juga merasa bahwa mereka tidak tahu apa-apa, tidak tahu yang aku rasakan, yang mereka lakukan hanya menggurui.

Sadar Hal Itu Buruk

Sejak dahulu aku ingin sekali hidup tenang. Sekarang ada namanya konsep slow living, yaitu sebuah gaya hidup yang memerhatikan setiap aspek kehidupan secara perlahan-lahan. Sepertinya enak hidup seperti itu.

Di awal-awal aku pikir konsep hidup seperti itu adalah tinggal di pedesaan, tidak menggunakan ponsel pintar, dan kembali ke alam. Ternyata tidak seperti itu.

Lalu aku tahu bahwa pandangan-pandanganku terhadap dunia bertolak belakang dengan konsep slow living yang menyuguhkan ketenangan batin.

Jadi, bagaimana aku bisa tenang jika aku masih mempermasalahkan hal-hal yang tidak ditakdirkan untukku?

Semakin jauh, aku memaksa diriku untuk mendegarkan siniar, membaca buku, melihat lingkungan sekitar, mendalami agamaku. Semuanya mengatakan bahwa terimalah hal yang tidak ditakddirkan untukmu. 

Aku tidak akan bilang aku langsung berubah setelah melakukan itu semua. Tetap memerlukan waktu yang lama hingga aku sadar bahwa aku tidak boleh seperti itu lagi. 

Titik Penerimaan

Apa sih yang membuat orang sadar bahwa takdir yang bukan untuknya ternyata memang bukan yang terbaik untuknya? Ya, takdir lain yang disukainya menjadi takdirnya. Aku mengalami itu. 

Malu rasanya ternyata selama ini aku salah dan Tuhan benar. Tetapi, memang seperti itulah manusia diciptakan.

Setelah mendengar dan membaca banyak nasehat tentang penerimaan, akhirnya aku bisa menerima semua itu setelah ada satu takdir yang aku sukai sehingga aku berpikir memang inilah jalan yang terbaik. Malu rasanya ternyata selama ini aku salah dan Tuhan benar. Tetapi, memang seperti itulah manusia diciptakan.

Pandanganku terhadap dunia berubah. Lucu, rasanya dunia menjadi lebih hangat dan terang setelah kubisa menerima takdirku.

Kini aku tidak lagi dan tidak ingin lagi menyalahkan takdir. Hal-hal yang bukan untukku memang tidak aku butuhkan. Keinginanku akan takdir yang bukan untukku hanyalah egoku saja.

Meskipun begitu, aku tetap memvalidasi perasaan ketidakterimaanku terhadap hal-hal itu. Wajar saja bagi seseorang merasa kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi. Namun, sikap selanjutnya tidak membuatku menjadi orang yang menghancurkan diriku sendiri.

Sekarang aku masih terus berlajar mengenai kehidupan ini. Aku masih manusia biasa yang penuh dengan kesalahan. Aku juga bukankah orang bijak yang bisa memaknai hidup ini dengan mudah. 

Namun, justru itulah serunya hidup menjadi manusia biasa, kita terus berusaha mempertanyakan sesuatu dan mencari jawaban.

Inilah perjalananku dalam memahami takdir yang bukan untukku. Namun, tentu tidak akan selesai di sini saja. Aku masih manusia biasa, banyak hal yang akan terjadi yang mungkin membuatku menjadi buruk lagi. Aku harus terus selamanya belajar mengenai bagiamana hidup.

Manusia pada dasarnya memang selalu berpikir tentang hidup ini. Aku yakin semua orang juga melakukan hal yang sama. Akan menyenangkan bila semua orang menceritakan perjalanannya dalam memahami tadirnya, dan aku bersedia mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun