Mohon tunggu...
Ira Wulandari
Ira Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Karena sudah muak memendam pikiran-pikiran ini, jadi saya putuskan menyebarkannya di sini. Selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memang Bukan Untukku, Takdir Itu

20 Agustus 2024   10:52 Diperbarui: 20 Agustus 2024   10:54 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Shay Wood: https://www.pexels.com

Itu adalah satu dari hal-hal yang terus aku sesali karena tidak menjadi bagian di hidupku. Belum lagi hal-hal yang memang tidak pernah dekat denganku, yang aku sadar bahwa hal itu bukan untukku, tetapi aku terus memaksakan diri agar hal itu ada dalam hidupku.

Takdirlah yang akhirnya aku salahkan.

Dampak Buruk Pada Diriku

Seperti yang kubilang sebelumnya bahwa menyenangkan rasanya menyalahkan orang lain untuk menyuapi ego dan ras kecewaku. Lagipula memang hal itu salah orang lain. Namun, perasaan itu hanya sesaat. Selebihnya menjadi bencana untuk diriku.

Rasa penyesalahan dan ketidakterimaanku terhadap sesuatu yang bukan milikku membuatku menjadi orang yang negatif. Seringkali sebelum melakukan sesuatu, aku sudah memikirkan hal-hal buruk yang kupikir ditakdirkan untukku.

"Tidak mungkin ini berjalan dengan lancar, pasti ujung-ujungnya gagal. Memang selalu seperti itu," kataku selalu seperti itu.

Tanpa sadar pemikiran seperti itulah yang justru berdampak pada hasil dari setiap hal yang kukerjakan. Akhirnya, aku akan lebih menyalahkan takdir.

Tidak mudah menyadari respons burukku terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam hidupku. Terlebih lagi sebenarnya aku tidak menceritakan permasalahanku pada orang-orang terdekatku.

Aku memang suka membaca, tetapi sering menghindari buku-buku yang bertemakan penerimaan karena aku tidak terima dengan konsep itu. Aku juga merasa bahwa mereka tidak tahu apa-apa, tidak tahu yang aku rasakan, yang mereka lakukan hanya menggurui.

Sadar Hal Itu Buruk

Sejak dahulu aku ingin sekali hidup tenang. Sekarang ada namanya konsep slow living, yaitu sebuah gaya hidup yang memerhatikan setiap aspek kehidupan secara perlahan-lahan. Sepertinya enak hidup seperti itu.

Di awal-awal aku pikir konsep hidup seperti itu adalah tinggal di pedesaan, tidak menggunakan ponsel pintar, dan kembali ke alam. Ternyata tidak seperti itu.

Lalu aku tahu bahwa pandangan-pandanganku terhadap dunia bertolak belakang dengan konsep slow living yang menyuguhkan ketenangan batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun