Mohon tunggu...
Irawaty Silalahi
Irawaty Silalahi Mohon Tunggu... Lainnya - Cerita yang semoga menginspirasi mereka yang membaca.

Suka bercerita dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Generasi, Beda Love Language-nya

11 Maret 2023   09:38 Diperbarui: 11 Maret 2023   12:41 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Gen Z, Mama Gen X/Dok pribadi

Kesenjangan antargenerasi kerap menimbulkan masalah dalam berkomunikasi. Biasanya, mereka yang lebih tua menganggap generasi di bawahnya, kurang sopan, tidak tahu aturan, tidak beretika, sok tahu, dan keanehan lainnya. Di sisi lain, mereka yang lebih belia, menganggap orang-orang yang lebih tua sebagai generasi kuno, ketinggalan zaman, nggak nyambung, kaku, kolot, banyak aturan, dan suka mengatur. Tentu saja, kesenjangan ini menciptakan ketegangan antargenerasi.

Ini bisa berlaku antara baby boomers (kelahiran 1946-1964), yang kebanyakan telah menjadi kakek-nenek, atau kakek-nenek wannabe, kepada gen X (kelahiran 1965-1976), selanjutnya antara gen X kepada gen Y (kelahiran 1977-1994), yang lebih fasih dengan kecanggihan teknologi, juga terhadap gen Z (kelahiran 1995-2010), dua generasi ini, Y dan Z, bahkan begitu meletek di dunia, jangankan telepon umum koin, telepon umum pakai kartu magnetik pun, sudah hilang dari peredaran (entah kenapa, saya membandingkannya dengan telepon umum).

Ketika menuliskan ini, pikiran saya menerawang ke masa lalu. Masa di mana, sewaktu sekolah, harus antri untuk pakai telepon umum koin, lalu agak jengkel ketika koinnya molos terus, tidak nyangkut di mesin telepon, sehingga tidak dapat membuat panggilan. Kesal, kalau ada yang berlama-lama di telepon umum, cekikikan, sementara yang antri banyak. 

Kemudian, telepon umum koin digantikan dengan telepon umum kartu magnetic. Lebih canggih. Lupakan koin yang molos. Kartu telepon umum ini bahkan setelah habis jatah pemakaiannya, layak disimpan, dijadikan barang koleksi.

Sampai akhirnya, lahirlah telepon genggam, yang awalnya segede batu bata, sampai seramping genggaman tangan. Inilah awal segalanya. 

Telepon pintar, dengan cepat merangsek ke dalam segala lini kehidupan. Mengubah keluarga, mengubah gaya hidup. Cara kita berkomunikasi berubah. Kita semua tenggelam dalam euphoria "menggenggam dunia".  Semua informasi dapat dengan mudah diakses. Kita asyik dengan telepon di tangan. Kalau bisa dikaretin, dikaretin, tuh telepon, supaya nempel terus. Begitu kira-kira, kalau mau dikomentarin judes dan sinis.

Percakapan lisan diganti tulisan, yang tentu saja, minim rasa. Intonasi lawan bicara dalam percakapan lisan, tidak terwakili dengan baik dalam percakapan tulisan. Sebaliknya, salah menterjemahkan rasa bahasa tulisan, kerap terjadi dalam percakapan melalui aplikasi yang ada.

Suatu kali, seorang rekan kerja dari gen Z sedikit protes kepada saya, yang termasuk bilangan gen X. Begini kira-kira katanya: "Mbak, kalau bales WA, dipanjangin, dong. Jangan pendek-pendek. Karena, kesannya, marah, jutek gitu ... "

Maksudnya seperti ini: kadang, saya menjawab teks dengan: OK, saja.  Atau: Iya. Ternyata, jawaban singkat seperti itu, dirasa judes. Sementara saya merasa tidak ada sesuatu yang salah, dan tidak bermaksud jutek atau judes. Merespons teks yang dikirim, dan menyetujuinya saja. 

"Lalu, jawaban seperti apa harusnya," saya balik tanya. Dia kasih pencerahan: "Dipanjangin, Mbak, kayak gini: Okeeeee ... atau iyaaaa ...."

Sontak saya ketawa dan hanya "Ooooh, gitu, ya ..." 

Lain lagi dengan pengalaman seorang teman, yang punya anak usia remaja. Anaknya bilang, malah jangan pakai titik kalau balas WA. Karena, ya itu tadi: kesannya mara. Judes. Jutek. Padahal, kita diajarkan untuk mengakhiri sebuah kalimat dengan tanda titik, bukan?

Sejak saat itu, kalau menjawab teks rekan kerja yang jauh lebih muda dari saya, maka saya berusaha untuk menekan huruf akhir lebih lama, supaya panjang jadinya, dan jawaban tida berasa stakato.

Buat saya, seremeh itu, tapi ternyata tidak buat mereka yang menerima pesan percakapan tertulis.

Sekarang, sebisa mungkin saya membalas pesan teks mereka yang jauh muda belia dengan panjang-panjang, menghilangkan titik, dan menambahkan emoticon ketawa, nyengir, dan bahkan pakai gambar tempel (sticker) yang (mungkin) bisa mewakili rasa dalam pesan tertulis yang dikirimkan. Seperti ini contohnya: Oh, gitu, yaaaa ... wkwkwkwk ....  *emotngakak atau: Okeeeehh ...

Kalau hanya dengan menambahkan huruf akhir menjadi lebih banyak, dan itu membuat gap antargenerasi bisa diminimalisir, ya kenapa tidak. Sesimple itu, salah satu usaha kita memahami perbedaan yang ada. 

Semoga saja, mereka yang belia lagipula dinamis, punya kematangan berpikir untuk mau juga berusaha memahami perbedaan ini, karena, tidak jarang, mereka yang sudah uzur, jangankan mau ngetik panjang-panjang, kadang malah lupa untuk membalas chat. 

...

*) Tentu saja, tulisan ini bukan tentang "Love language" yang lebih serius itu. Hanya tulisan mengenai rasa dari percakapan tertulis yang sudah jamak menggantikan percakapan langsung, secara lisan, yang mana, menurut saya, termasuk "Love language" juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun