Sontak saya ketawa dan hanya "Ooooh, gitu, ya ..."Â
Lain lagi dengan pengalaman seorang teman, yang punya anak usia remaja. Anaknya bilang, malah jangan pakai titik kalau balas WA. Karena, ya itu tadi: kesannya mara. Judes. Jutek. Padahal, kita diajarkan untuk mengakhiri sebuah kalimat dengan tanda titik, bukan?
Sejak saat itu, kalau menjawab teks rekan kerja yang jauh lebih muda dari saya, maka saya berusaha untuk menekan huruf akhir lebih lama, supaya panjang jadinya, dan jawaban tida berasa stakato.
Buat saya, seremeh itu, tapi ternyata tidak buat mereka yang menerima pesan percakapan tertulis.
Sekarang, sebisa mungkin saya membalas pesan teks mereka yang jauh muda belia dengan panjang-panjang, menghilangkan titik, dan menambahkan emoticon ketawa, nyengir, dan bahkan pakai gambar tempel (sticker) yang (mungkin) bisa mewakili rasa dalam pesan tertulis yang dikirimkan. Seperti ini contohnya: Oh, gitu, yaaaa ... wkwkwkwk .... *emotngakak atau: Okeeeehh ...
Kalau hanya dengan menambahkan huruf akhir menjadi lebih banyak, dan itu membuat gap antargenerasi bisa diminimalisir, ya kenapa tidak. Sesimple itu, salah satu usaha kita memahami perbedaan yang ada.Â
Semoga saja, mereka yang belia lagipula dinamis, punya kematangan berpikir untuk mau juga berusaha memahami perbedaan ini, karena, tidak jarang, mereka yang sudah uzur, jangankan mau ngetik panjang-panjang, kadang malah lupa untuk membalas chat.Â
...
*) Tentu saja, tulisan ini bukan tentang "Love language" yang lebih serius itu. Hanya tulisan mengenai rasa dari percakapan tertulis yang sudah jamak menggantikan percakapan langsung, secara lisan, yang mana, menurut saya, termasuk "Love language" juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H