Mohon tunggu...
Irawaty Silalahi
Irawaty Silalahi Mohon Tunggu... Lainnya - Cerita yang semoga menginspirasi mereka yang membaca.

Suka bercerita dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku, Ibumu, dan Ibu Mereka

26 November 2020   21:55 Diperbarui: 26 November 2020   22:16 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika orang beramai-ramai menuliskan kisah hebat mengenai sosok ibu, saya berpikir keras mengingat apa yang bisa saya tuliskan mengenai Mamah, demikian saya memanggil ibu saya.

Saya menggambarkan Mamah sebagai seorang perempuan biasa, yang karenanya saya mencari hal-hal luar biasa dalam dirinya. Pasti ada, dan saya bertekad menemukannya.

Namun sebelum menemukan hal-hal menakjubkan yang patut diceritakan, terlintas dalam pikiran saya, kisah beberapa anak dengan berbagai latar keadaan yang tiba di sebuah panti asuhan. Tempat yang secara khusus menerima bayi-bayi yang tidak direncanakan, tidak diinginkan keberadaannya. Sebagian besar dari mereka tahu, keberadaan mereka tidak diinginkan. Mereka ditolak oleh ibu apalagi ayah mereka.

Mereka ada di sana,  demi menjaga nama baik keluarga, yang bahkan menolak mereka. Mereka ada di sana demi mengubur kisah masa lalu orangtua mereka. Bagi keluarga mereka, mereka adalah bagian masa lalu, bukan masa depan. Mereka tidak kuasa untuk menentukan hidup mereka. Sepenuhnya bergantung pada orang-orang dewasa yang ada dalam kehidupan mereka selagi bakal janin sampai lahir sebagai bayi yang tidak tahu-menahu kisah di balik kehadirannya di dunia.

Sebagian besar dari anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang matang, didampingi dengan begitu rupa oleh sosok Ibu Pengasuh yang luar biasa, yang bukan saja menaungi mereka dengan kasih sayang seorang ibu, tapi memastikan mereka menyadari keberadaan diri sebagai manusia utuh yang memiliki masa depan.

Ibu kandung dalam pikiran anak-anak ini bagaikan sebuah sosok legenda yang ada tapi tiada. Pastilah para ibu yang melahirkan mereka adalah manusia yang berpijak menjejak bumi, tapi kemudian pergi dari sisi mereka entah ke mana.

Saya bisa memahami kesulitan sebagian anak-anak yang bingung menuliskan kisah hebat sosok Ibu mereka. Karena, tidak semua anak diinginkan ibunya. Apakah salah mereka, ketika sulit mendeskripsikan sosok ibu yang katanya adalah pahlawan bagi anaknya? 

Apakah salah mereka, ketika dengan polos dan jujur mereka katakan bahwa Ibu mereka bukan panutan mereka? Bukan pahlawan buat mereka? Mungkin banyak penghakiman yang serta merta akan mereka terima. Jamak, karena kebanyakan orang suka menggeneralisir kisah tanpa mau tahu kejadian di balik itu semua.

Bagaimanapun pilu dan ngilunya sebuah kisah kehidupan, selalu ada sisi baik yang bisa dilihat oleh mereka yang berani mengubah nasib. Saya hanya mencoba melihat sebelum dan sesudah kita dilahirkan. Kita? Oh, bukan, tidak semua kita punya kisah yang sama. Hanya sebagian kita saja yang memiliki kisah mirip-mirip.

EMBRIO SEBESAR BIJI KACANG HIJAU

Pengalaman mengandung sampai melahirkan anak, membuat saya merasakan perjalanan seorang perempuan hamil sampai melahirkan bayi. 

Diawali dengan perasaan takjub, bahwa dalam tubuh saya ada kehidupan seseorang yang sedang dimulai. Ia begitu tergantung pada saya seutuhnya. Apa yang saya makan, akan menjadi gizi untuk perkembangannya. Bahkan, menurut banyak penelitian dari para ahli, apa yang saya dengar, baca, dan rasakan, juga dirasakan oleh dia yang berada dalam rahim saya.

Tentunya perjalanan mengandung selama kurang lebih sembilan bulan berjuta rasanya, dan berbeda untuk tiap perempuan, pada tiap kehamilan.  Saya sendiri mengalami proses kehamilan yang berbeda ketika mengandung anak pertama dan kedua.

Pada kehamilan pertama, dengan penambahan berat badan satu kilo setiap bulan, semua terasa lancar dan menyenangkan, meskipun awal kehamilan saya mengalami sedikit perdarahan, namun dapat ditangani dengan baik, oleh perawat dan dokter yang segera menangani kami, saya dan bayi pertama saya.  

Kehamilan kedua, saya begitu payah, dengan penambahan berat badan sekitar 20 kg. Mual dan muntah yang begitu masif, membuat saya kewalahan menjalani hari-hari kehamilan kedua. Namun demikian, pikiran bahwa saya diberikan tanggung jawab untuk memelihara dia yang ada dalam rahim, membuat saya kuat dan selalu mengupayakan asupan gizi terbaik demi pertumbuhannya yang optimal.

Ibu dan bayi terkoneksi selama 24 jam tidak putus selama berbulan-bulan, sampai tiba waktu yang entah pas, terlalu cepat, atau harus 'diinduksi' untuk proses persalinan.

Untuk beberapa ibu (termasuk saya di dalamnya) pengalaman mengandung sampai melahirkan adalah suatu proses luar biasa. Terjadi pendewasaan di dalamnya, karena menyadari ketergantungan seseorang di dalam sana kepada kami, para ibu yang mengandung ini. Kami mengamati proses perkembangannya dari sebesar biji kacang hijau, sampai kepada janin yang kemudian siap lahir pada waktunya.

Mungkin tidak demikian dengan sebagian perempuan yang tidak merencanakan atau mengharapkan kehamilannya. Dari pengalaman berbincang dengan beberapa perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, perasaan mereka begitu campur aduk, ketika menyadari diri mereka berbadan dua. 

Tidak ada perasaan takjub, maupun gembira yang amat sangat, yang ada perasaan panik, cemas, takut, sedih, kecewa, sampai perasaan bersalah, dan segudang kegalauan lainnya.  Tentu saja banyak kasus yang berbeda dengan rasa yang berbeda pula. Saya tidak ingin menggeneralisirnya.

KEHIDUPAN DI LUAR RAHIM

Ketika tiba waktunya, hari yang paling menegangkan adalah ketika proses persalinan itu terjadi. Ini pun masih terbagi menjadi persalinan normal dan persalinan melalui operasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi suatu proses persalinan.

Masing-masing jenis persalinan mengandung risiko dan rasa sakitnya sendiri. Pada persalinan normal, saya merasakan mules yang amat sangat dan semakin menjadi ketika mendekati bukaan sepuluh. Sakitnya benar-benar tak tertahankan. Klimaks kesakitan itu adalah ketika proses mengeluarkan bayi dari jalan lahir. Remuk rasanya. Sakit yang luar biasa. Tapi semua seolah sirna, begitu saya mendengar suara tangisan dia yang sudah siap menjalani petualangannya di dunia.

Pada pengalaman persalinan kedua, melalui operasi, rasanya lain lagi. Memasuki kamar operasi, meringkuk di meja operasi untuk menerima suntikan bius epidural, dan seperti setengah sadar menanti dokter dan team-nya melakukan proses persalinan. Lega dan bahagia ketika dokter mendekatkan bayi kedua saya ke wajah saya. Setelah itu, saya sesak. Diperlukan beberapa saat untuk kembali normal dan pulih kembali.

Sekitar sembilan bulan bersama selama dua puluh empat jam tanpa jeda, tanpa jarak, tak terpisahkan, tidak akan pernah terulang dalam kehidupan ibu dan anak. Setelah lahir, tentu saja bayi masih sangat tergantung dengan ibunya. Untuk perawatan secara menyeluruh. Sampai tiba waktunya, perlahan tapi pasti, seorang bayi akan bertumbuh menjadi anak yang kemudian memiliki kemandirian secara bertahap. Diperlukan kesabaran luar biasa bagi seorang ibu untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anaknya.

Kisah perjalanan seseorang tidak ada yang persis sama. Beberapa menjalani hari-hari seperti anak lainnya, dibesarkan dan diasuh dengan penuh kasih oleh ibu yang melahirkannya, sebagian ada yang diurus ala kadarnya dengan berbagai latar sebab, sebagian berakhir di keluarga lain, sebagian di sebuah panti asuhan, dan dalam kasus yang sangat miris, sebagian berakhir tragis, dibuang dalam keadaan menjadi jasad.

BENARKAH SEMUA IBU MEMILIKI TELADAN BAIK?

Agaknya sedikit kurang ajar kalau ada yang mengatakan bahwa tidak semua ibu baik. Selalu ada pro dan kontra, sekalipun banyak kasus membuktikan memang tidak semua perempuan yang mengandung bahkan melahirkan adalah seorang ibu yang baik.

Tapi kemudian, saya merefleksikan semua yang saya alami sebagai anak, juga meresapi pengalaman anak-anak di panti, mengenai ibu. Benar, tidak ada ibu yang sempurna, saya pun tidak sempurna sebagai ibu. 

Tapi kenyataan bahwa kita ada sampai hari ini, sedikit banyak karena kerelaan seorang perempuan yang memberi dirinya bersama kita tanpa jeda, tanpa jarak selama dua puluh empat jam penuh selama sembilan bulan, sudah cukup memberikan bukti, bahwa dalam ketidaksempurnaan mereka sebagai ibu, mereka memiliki kesabaran untuk membiarkan rahimnya menjadi tempat yang paling aman untuk kita semua bertumbuh. 

Mereka bisa saja mengintervensi bahkan menghentikan pertumbuhan kita di dalam rahimnya, namun, kenyataan bahwa kita ada sampai saat ini, membuktikan semua ibu yang melahirkan kita, memiliki kelapangan hati, dan itu alasan yang baik sekali untuk bersyukur karenanya.

Teringat akan pembicaraan saya dengan seorang teman baik, yang mengatakan "Ketika kamu menyebutnya Ibu, kamu menempatkan mereka di atas, memiliki otoritas."

Ya, memang sudah selayaknya kita mengucap syukur akan pemeliharaan seorang ibu ketika kita masih sebesar biji kacang hijau, karena memiliki ceritanya sendiri. Namun yang jelas, keberadaan kita sekarang ini bukti, bahwa DIA yang memiliki kuasa mengubahkan hati manusia, DIA juga yang memberi hikmat dan kebijaksanaan pada perempuan yang mengandung kita, untuk memelihara kita.

Terima kasih, Ibu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun