Ini adalah cerita dari sebuah keluarga yang lucu yang pernah saya kenal. Sebut saja mereka adalah Pak Itung dan Bu Galau, atau mari kita singkat dengan Pak i dan Bu Ge.
Pak i dan Bu Ge memiliki dua anak yang lucu, pintar, sehat dan ceria. Namun sayang, belakangan kehidupan keluarga mereka yang ceria dan penuh warna, pelan tapi pasti berubah bak lakon sinetron kodian. Apa para pembaca yang budiman bisa menebak penyebab dipentaskannya lakon sinetron di keluarga Pak i dan Bu Ge? Yaaah.. apalagi kalau bukan karena perselingkuhan? Itu tema sinetron sepanjang segala abad bukan?
Awalnya adalah kebohongan Pak i kepada Bu Ge soal foto perempuan berkaus singlet di gadgetnya, yang mulanya dipungkiri oleh Pak i, namun kemudian, diakui sebagai foto sekretarisnya. Dan rasanya, ini jamak terjadi : pengingkaran seseorang yang gelagapan ketika kebusukannya tercium.
Makin hari, Bu Ge makin terasah insting keperempuanannya.. (selama ini Bu Ge dibutakan oleh cinta matinya kepada Pak i, sehingga tidak merasakan, tidak melihat banyak kejanggalan yang terjadi dalam diri suaminya itu).
Maka, satu demi satu terungkaplah kisah yang disembunyikan Pak i,  yaitu "pertemanan yang berkedok hubungan  jabatan bos dan sekretaris" ini.
Kisah klask klodian.
Kisah pertemanan Pak i sebagai pemimpin sebuah perusahaan dengan mantan sekretarisnya itu bukan cerita yang menarik. Karena terlalu receh. Lupakan.
Itu sebagai latar belakang cerita ini ditulis saja..
Inti cerita ini adalah begini :
Suatu hari, ada pertunjukkan musik jazz. Pak i mengajak Bu Ge dan anak-anaknya untuk nonton.
Pertunjukan musik jazz itu berlangsung dua hari berturut-turut.
Pada hari pertama pertunjukan, semua sepertinya lancar jaya. Terjadi kebetulan yang manis sekali, yaitu ketika Bu Ge sedang antri di loket tiket masuk, ada dua orang pemuda yang konon kabarnya mahasiswa, mendekat dan menawarkan 2 tiket dengan harga pelajar. Tentu saja Bu Ge mau. Dengan demikian jadi lumayan hemat, anak-anak Pak i dan Bu Ge dapat harga pelajar meskipun hari itu anak-anak mereka tidak membawa kartu pelajar.
Kelucuan yang miris terjadi di hari ke-dua pertunjukkan. Di rumah, sebelum pergi nonton, Pak i mengingatkan  kepada si Sulung untuk membawa kartu pelajarnya supaya dapat harga pelajar.
Si Sulung yang memang rapi jali langsung membawa kartu pelajarnya. Tapi tidak demikian dengan si Adik. Si Adik rada slebor. Kartu pelajarnya nyelip entah di mana.
Mengetahui hal ini, Pak Itung kemudian menginstruksikan si Sulung untuk memindai (scan) kartu pelajarnya. Si Sulung meng-iyakan. Maklum titah Pak Itung tak bisa dibantah.
Sementara Bu Galau mulai kumat Galaunya.Peperangan batin berkecamuk di dalam hatinya. Tapi Bu Ge pun hanya bisa nge-Ge saja alias Galau. Maklum, titah Pak Itung tak bisa dibantah.
Setelah Si Sulung memindai kartu pelajarnya, giliran titah Pak Itung kepada Bu Galau. Bu Galau diminta untuk mencari foto Si Adik memakai seragam sekolah. Tahu dong arahnya ke mana? Apalagi kalau bukan manipulasi data. Rencananya, kartu si Kakak akan ditempel foto si Adik. Demi tiket yang lebih murah. Harga pelajar.
Bu Galau hanya ngeGe aja bisanya. Maklum, titah Pak Itung tak bisa dibantah.
Pak Itung yang berkuasa di kantor menunjukkan kekuasaannya pula di rumah, sehingga titahnya tak terbantahkan.
Untungnya, Bu Galau tidak menemukan foto Si Adik memakai seragam sekolah. Diam-diam Bu Galau lega, karena Bu Galau sangata amat tidak setuju dengan niat Pak Itung yang demi menghemat lima puluh ribu rupiah mengorbankan nilai luhur soal integritas di depan mata anak-anak yang polos ini.
Pak Itung kemudian mengambil alih komputer. Sibuk sendiri. Bu Galau wara-wiri salah tingkah, karena mau protes tapi tiada daya. Maklum titah Pak i haram untuk dibantah.
Kesal karena tidak menemukan foto si Adik pakai seragam, akhirnya untuk menumpahkan kekesalannya, Pak Itung berkata dengan jengkelnya kepada si Adik : gara-gara kamu, kita bayar lebih mahal..!! Kamu enggak akan dikasih uang..!!!
Mendengar bentakan seperti itu, tak ayal si Adik lari menghambur ke pelukan Bu Galau yang lagi nge-Ge di dapur.
Si adik sedih dan menangis dalam pelukan ibunya yang cuma bisa nge-Ge alias nge-Galau. Air mata Si adik mengalir di pipinya, sambil merasa sedih, Si Adik berkata begini : "Bapak itung-itungan..aku sedih .."
Dan Bu Galau hanya bisa nge-Ge aje.
Sementara Si Kakak dengan bijak berkata : "Ya sudah, kita bayar harga normal aja, Pak."
Pak Itung hanya diam sedikit manyun.
Dan pergilah keluarga kodian itu ke pertunjukkan musik jazz.
Sesampai di loket pembelian tiket, Bu Galau langsung membeli tiket dengan harga pelajar dengan hanya 1 kartu pelajar saja, yaitu kartu pelajar si Kakak. Mbak penjual tiket hanya bertanya, yang mana saja yang pelajar dan Bu Galau tunjukkan Si Kakak dan Si Adik. Tanpa banyak syarat, dua tiket dengan harga pelajar sudah di tangan Bu Galau.
Pak Itung, si Kakak, dan si Adik menyaksikan itu semua. Menyaksikan bagaimana Bu Galau membeli tiket tanpa harus manipulasi data demi mendapatkan harga pelajar yang lebih murah.
Sambil masuk ke lokasi pertunjukkan, Bu Ge berbisik ke Si Kakak dan Si Adik : "Enggak perlu pakai bohong kan? Orang jujur disayang Tuhan.. "
Diam-diam Bu Ge mengucap syukur kepada Tuhan, karena tetap bisa mengajarkan nilai integritas kepada anak-anaknya.
Sebenarnya masih ada lagi kelucuan miris lainnya..tapi biarlah itu tersimpan dalam jurnal keluarga Pak Itung dan Bu Galau saja.
Saya hanya menceritakan bagian upaya Pak Itung memanipulasi data kartu pelajar demi mendapat harga yang lebih murah, karena hal ini sangat memprihatinkan.
Mengapa?
Karena, demi sekian puluh ribu rupiah sang kepala keluarga tega mengorbankan nilai luhur yang semestinya dia wariskan kepada anak-anaknya.
Pertanyaannya adalah : kenapa dia melakukan itu? Hanya sifat perhitungan sematakah? Â Atau karena pola pikirnya yang selalu berstrategi dalam pemasaran untuk mendapat keuntungan dengan cara apa pun? Atau sifat hemat luar biasanya? Atau. ..Ini kemungkinan 'atau' yang paling konyol tapi bisa saja dalam kehidupan yang serba mungkin ini.. yaitu..Pak Itung perhitungan dan hemat luar dalam demi punya simpanan untuk traktir si cem-ceman yang bersinglet itu??
Hanya Pak i dan hatinya yang tahu..
Kita tinggalkan Pak i dan konflik batinnya yang ruwet itu.
Saya teringat akan perkataan seseorang yang entah siapa..yang tertulis di dinding sekolah tempat saya mengajar, begini bunyinya : Do not educate your child to be rich. Educate him to be happy. So when he grows up, He will know the value of things not the price ..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H