Ada beberapa hal dari masa kecil  yang saya ingat setiap memperingati Natal.
Di antaranya adalah : sebagai anak Sekolah Minggu yang membaca ayat hafalan di depan jemaat, ayam pedas Mama, taksi, dan hujan.
Tradisi anak Sekolah Minggu membaca ayat hafalan sepertinya sudah tidak ada lagi. Barangkali. Saya tidak tahu persis, karena paling tidak setelah saya remaja sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat ritual itu setiap kali perayaan Natal. Sekarang serangkaian kegiatan perayaan Natal diselenggarakan dengan cara lebih meriah dan kreatif.
Ayam pedas Mama rasanya sih, masih hadir tiap perayaan Natal dan tahun baru, hanya saja, sayangnya saya jarang sekali pulang saat Natal, karena satu hal lain dan sebagainya yang sangat saya sesalkan.
Taksi
Hal lain yang saya  ingat ketika malam Natal adalah taksi. Iya, Taksi. Dalam pasang surut hidup kami, ada masa di mana kami tidak punya kendaraan... dan saya ingat bagaimana kami harus menunggu taksi seusai ibadah malam Natal. Ramainya umat yang menunggu taksi membuat kami harus gercep alias gerak cepat untuk mendapatkan taksi. Saya sering curi-curi pandang melihat ke arah Mama. Ada perasaan nggak tega dalam hati melihat Mama yang sangat perempuan harus agak sedikit berlari-lari mengejar taksi bersama kami. Apalagi Mama agak berat badannya (menghindari kata gemuk yang dibenci oleh perempuan berapa pun usianya). Kenangan romantis yang melankolis.
Hujan.
Nah, untuk yang satu ini, memang selalu melekat dalam benak saya, karena biasanya seingat saya, ibadat malam Natal hampir bisa dipastikan diguyur hujan (tapi belakangan malah kering kerontang cenderung hareudang.. perubahan cuaca yang aneh).
Dan ingatan yang muncul setiap kali saya pergi untuk mengikuti ibadat malam Natal adalah gambaran anak perempuan kecil pakai rok putih berkaus kaki digendong di punggung Bapaknya, supaya baju dan sepatunya tidak kotor kena tanah yang becek karena hujan. Sungguh sebuah ingatan yang manis dan melankolis setiap malam tanggal 24 Desember.
Hubungan saya dan Bapak saya terbilang tidak terlalu dekat dalam artian bahwa Bapak bukanlah bapak yang ekspresif yang lugas mengekspresikan kasih sayangnya dalam kedekatan dengan anak-anaknya. Entah kenapa. Mungkin karena wibawa Bataknya .. atau ya, barangkali karakter Bapak yang kaku. Namun demikian, saya tahu, bapak punya kepedulian dan sayang tersendiri terhadap anak-anaknya yang tidak diungkapkan secara ekspresif seperti bapak-bapak muda jaman sekarang yang hangat dan akrab dengan anak-anaknya. Bapak tidak begitu.
Dan sepertinya, itu adalah terakhir kalinya Bapak menggendong saya.
Sekarang, di usia  40 tahun ini mengingat kenangan sederhana itu memberi arti tersendiri bagi hidup saya. Terlebih karena hidup jauh dari keluarga. Di mana semuanya saya tanggung sendirian. Mandiri, tidak bergantung kepada siapapun. Teorinya gampang, tapi kenyataannya sering membuat saya nangis bombay.
Sekarang, di kala hidup begitu menekan, keluarga, sahabat, guru dan  handai taulan jauh di mata dan hanya bisa dijangkau di hape, maka kenangan digendong Bapak selalu terbersit dalam pikiran saya. Ada rasa tenteram tersendiri membayangkan ada sepasang tangan yang menggendong kita ketika hidup terlihat abu-abu. Tidak bisa dibilang hitam,  putih juga tidak. Alias butek.
Sekarang saya memang bukan anak perempuan kecil yang digendong di punggung bapak supaya roknya tidak kotor karena becek.. Namun tetap ada sepasang tangan yang menopang saya ketika beban hidup begitu berat, bahkan Dia berjanji menggendong saya sekalipun rambut di kepala ini sudah memutih ..dan saya  tetap memanggilNya .. Bapa..
Selamat Natal semuanya....!!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H