Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dering Telepon dari Petinggi

23 Oktober 2024   15:30 Diperbarui: 23 Oktober 2024   15:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memang malas menanggapi nomer telepon asing. Mereka banyak yang modus. Ada yang jualan. Ada yang nawarin barang. Bahkan sampai aplikasi game. Bahkan ada yang mau sadap foto profil untuk tujuan yang entah apa. Yang lucu lagi ada yang ajak kenalan. Ujung ujungnya mau pinjam duit. Aku dikirimi nomer rekening. Disuruh transfer. Diajak bertemu tidak mau, hanya butuh transferan saja. Kok enak pikirku. Aku sendiri susah payah kerja sampingan untuk dapat tambahan penghasilan,  itupun hasilnya tak seberapa. Lha kok ada orang tak dikenal tahu tahu minta transferan uang. Katanya untuk beli beras. Sehari ini anaknya belum makan. Itu alasan dia. Dia sok akrab, sok kenal sok dekat. Jika kenal, kenapa nanya nama, kerja dimana. Aneh.

Itu salah satu alasan kenapa aku enggan menerima telepon. Tapi cuek ku ini juga masih penasaran juga dengan orang yang telepon barusan. Siapa mereka gerangan ? Bukannya aku harus telepon balik saja? Hingga pada akhirnya aku harus kembali berbaring karena besok harus kerja lagi. Saatnya istirahat.

Sepuluh menit hampir terlelap. Telepon kembali berdering. Kali ini ada chat masuk. Salah satu dari nomer tadi kirim chat.
"Maaf Dik mengganggu istirahatnya. Tadi Pak Petinggi telepon cari adik pingin ucapin terima kasih untuk liputan UMKM yang sudah ditayangkan. Sekalian mau nanya pena beliau apa katut adik bawa. Itu pena hadiah dari pak Bupati. Mohon adik respon. Terima kasih."

Akupun bangun lagi untuk melihat saku baju yang tadi pagi digunakan bertamu ke balai desa. Bapak kepala Desa di daerahku biasa dipanggil Bapak Petinggi. Para pejabat desa itu dipanggil dengan nama jabatannya. 

Ada sebutan carik. Modin. Kasun. Ternyata pena pak petinggi katut di saku. Tadi waktu bertamu aku diminta isi buku tamu dan karena aku tak bawa pena, aku dipinjami pena oleh pak petinggi. Oalah, karena itu ta aku ditelpon berkali kali. 

Tak pikir aku mau dilantik jadi menteri. Ternyata besok pagi aku diminta mampir ke kantor desa untuk mengembalikan pena yang katut kubawa. Akhirnya chat itu ku balas agar di pihak sana jadi tenang, dan akupun bisa tenang tidur malam ini.

Dering Telepon dari Petinggi. Lha kok aku tak simpan no kontak telepon mereka. Di desaku, atas inisiatif pribadi aku memang meliput inovasi warga kampung. Sebagai warga kampung yang tinggal disana, sumbangsihku minimal apa yang aku bisa, maka aku berikan.  

Yaitu meliput giat kampung tematik yang menurutku menarik untuk diliput. Giat giat seperti itu bersifat lokal dan memang tidak menarik bagi media profesional untuk hadir meliputnya. Jadi apa salahnya bantu bantu.

De Huize Sustaination, 23 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun