Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Penyair (Seri Diksi Bicara #9)

7 September 2024   10:22 Diperbarui: 7 September 2024   10:27 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi : Penyair
(Seri Diksi Bicara #9)
Ditulis oleh : eko irawan

Berkaca, jadi apa diri ini. Untuk temukan jati diri. Berjuang, terus mencari. Untuk tunjukan inilah aku sejati.

Seribu puisi apa kurang. Diakui atau tidak, bukan penghalang. Orang biasa apa dilarang. Jadi diri sendiri, ini karya nyata, bukan orang hilang.

Tantangan tulis, berani ungkapkan. Susun rasa, susun nada, ukir keindahan. Disanjung atau tidak bukan urusan.  Ini aku, bukan foto copy-an.

Penyair mengalir seperti air. Bijak terjemahkan makna berpikir. Tetap berlatih, sampai mahir. Berani tampil dirimu adalah Penyair.

De Huize Sustaination, 7 September 2024
Ditulis untuk Seri Diksi Bicara 9

Catatan Kaki

Seperti yang sudah kita pahami secara umum, seseorang yang menulis dan mempublikasikan karya sastra puisi disebut dengan penyair. Melalui karya sastra puisi, para penyair akan menyampaikan perasaan, ide, emosi, dan juga imajinasi yang tertulis dan disampaikan dengan tulisan.

Penyair termasuk seniman kreatif dengan kemampuan imajinatif dan kepekaan yang ekspresif, sehingga punya kemampuan menterjemahkan segala sesuatu melalui bahasa tertulis.

Tidak semua orang mampu menyampaikan ide dalam wujud tertulis, apalagi dalam bahasa yang dianggap indah, memiliki nada dan kepekaan rasa. Menulis tak harus menunggu punya nama terkenal terlebih dahulu, jika  menunggu populer terus kapan mampu menulis walau hanya satu judul? 

Tulis, tulis dan tulislah adalah kunci memotivasi. Tentu tidak semua orang suka, adapula yang menganggap penyair hanya pekerjaan anak anak sekelas SD atau menganggap karya sampah tak berguna dan tidak berkualitas. 

Suka atau tidak memang hak setiap orang untuk menilai, tapi sindiran yang bersifat hinaan subyektif tersebut, diucapkan hanya karena iri dengki semata. Coba tengok karya apa yang sudah dia hasilkan. 

Jika kapasitas dia lebih besar dengan kualitas karya lebih mumpuni serta karya yang inovatif, sindiran dimaksud adalah motivasi positif yang mendorong kita agar lebih baik dalam karya karya selanjutnya di masa mendatang. 

Namun jika diucapkan orang yang tidak punya kapasitas karya yang lebih hebat, lebih baik diabaikan. Untuk apa menanggapi kritikan tidak bermutu, hanya mengganggu suasana batin sang penyair sendiri. 

Kejadian ini saya alami sendiri dan ternyata seorang penyair memang harus tangguh, tetap konsisten dan terus berani mengekspresikan diri secara kreatif dan bertanggungjawab.

Tetaplah punya semangat untuk berkarya karena itu proses menemukan jati diri. Titik temu ini harus diejawantahkan tidak hanya jadi karya, tapi harus memiliki kemampuan menginspirasi orang lain. 

Bukan hendak sok pintar yang menggurui, tapi untuk apa punya ilmu disimpan sendiri. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berguna dan dibagi untuk kesejahteraan kemanusiaan. 

Bukan sok baik dan populer semata, namun penulis harus tetap yakin rejeki tak bakalan salah alamat. Tetaplah berkarya dan bangun sinergi satu frekuensi dengan orang orang yang memberi ruang waktu yang berkualitas untuk tumbuh bersama secara kreatif dan berkesinambungan.

Menulis itu tak harus disuruh atau ditugaskan. Menulis itu sudah jadi jiwa yang terus mengalir seperti air. Selamat mengeksplore diri agar menemukan aku yang sejati, bukan aku foto copy-an yang hanya ngikuti trend. 

Menulis memang tidak bisa dipaksa. Menulis, khususnya penyair adalah pekerjaan seni yang memanusiakan manusia, peka terhadap hidup yang lebih bermakna.

Sedang apa sekarang ? Tulislah. Tak perlu repot jika orang lain juga tertarik untuk lebih maju. Tradisi menulis tetap relevan disegala jaman, justru tidak tertulis akan hilang dari peradaban.

Baca Puisi Seri Diksi Bicara lainnya di :

https://www.kompasiana.com/tag/diksi-bicara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun