Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mengeja Kemungkinan (Seri Bicara Dengan Lukisan #2)

18 Mei 2024   08:30 Diperbarui: 18 Mei 2024   08:33 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri Eko Irawan untuk Seri bicara dengan puisi #2 foto diolah dng Sketch Camera lumii dan snapsheed

Puisi : Mengeja Kemungkinan
(Seri Bicara Dengan Lukisan #2)
Ditulis oleh : eko irawan

Apa kau tahu aku lesu. Andai bilik kaca itu bisa bicara. Tentang saldo nol. Iya jika tentang nol kilometer, ini tentang dompet kosong yang benar benar kosong.

Jujur memang pahit. Tapi kopi tanpa gula, jelas lebih pahit. Dan bukannya aku janji janji. Jika keadaan menjawab, bisa apa sang waktu.

Aku tak akan tega melihatmu jadi buruh setrika. Berdiri, mandi keringat dan dibayar murah. Seharusnya kau jadi ratuku. Yang mulia dipuja cinta.

Tapi ku salut semangatmu. Kau bisa menerima apapun keadaanku. Walau kisah ini tak seindah sinetron. Tapi kau tak tuntut aku, kau rela menunggu aku.

Kemungkinan itu tetap kemungkinan. Tak bisa bayar tanggungan dengan kemungkinan. Mari saling mendekat agar kau paham. Karena kini saatnya menaklukan kemungkinan.

Jika kau tahu aku, kau akan menangis. Tapi aku ingin kau lihat aku, baik baik saja. Lepaskan beban, agar nafas, isi dada ini jadi longgar. Kau tak perlu tahu rumitnya.

Mengeja kemungkinan. Buang jauh prasangka, buang jauh kata orang. Toh ini hidup kita, engkau dan aku. Mari bahagia, karena itu jawabannya.

Mari lukis saja kegundahan ini. Bersama mendekat pada yang kuasa. Mengeja kemungkinan adalah kenyataan. Mau tak mau harus mau, tidak pasti belum tentu tidak.

Bukan abjad huruf huruf. Bukan kode angka angka. Pingin pergi saja, tinggalkan galau penuh kemungkinan. Tapi cap pengecut, cambuk orang orang berpangku tangan.

Mengeja kemungkinan itu, seperti paduan gula kopi. Jaga, jangan sesal penuh prasangka. Nikmatilah putaran jam berdetak. Karena syukur itu, mahal jawabnya mudah pengucapannya.

Kemungkinan dijawab kemarin. Sejam lagi apa, dijawab syukur. Niatkan ini ibadah mulia. Karena sukses, bukan milik orang orang malas.

Berjuanglah wahai kesatria. Sekarang tetap sekarang. Mau tidurpun, lupa ini apa. Jadi nikmati saja, setiap detik bicara.

Sungguh cara mudah nolak rejeki adalah tolak semua kemungkinan. Biarkan kemungkinan jadi kembang merekah. Merayu siang malam untuk cuan. Mengeja kemungkinan, agar paham apa isi jawaban.

De Huize Sustaination, 18 Mei 2024
Ditulis untuk Seri Bicara dengan Lukisan 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun