Belanda, Kidal dan Pararaton
(Seri Bedah Koleksi Bukuku #2)
Ditulis oleh : eko irawan
Sabtu Sore, 26 Agustus 2023 tibalah di pelataran candi Kidal, di desa Rejo Kidal, kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Sore itu Bapak Dwi Cahyono, Seorang Arkeolog dan Sejarawan dari Universitas Negeri Malang tengah membahas, "RELASI HARMONIS ANTARA CANDI KIDAL DENGAN MANUSIA, ALAM DAN Â DEWATA PADA ZAMANNYA. " Acara ini merupakan bagian dari rangkaian acara Indonesia bertutur #2 yang sore itu digelar di pelataran Candi Kidal.
Sambil duduk dipojokan menikmati penuturan pak Dwi Cahyono yang sangat berapi api, saya ngecek grup wa dan FB di HP. Benda teknologi android itu saya simpan di dalam tas, jadi satu dengan buku Pararaton karya Mpu Heri Purwanto. Saya belum bisa move on dari dua item ini. Satu untuk komunikasi dan menulis, satu jadi sumber untuk menulis.
Kenapa aku terpesona dengan Pararaton, padahal bersama Reenactor seharusnya fokus pada bahasan masa revolusi Kemerdekaan Indonesia?
Reenactor bagi saya adalah metode penelitian dan kajian. Sebagai pengelola Museum Reenactor Ngalam di Kampoeng Sedjarah kelurahan Sumbersari Kota Malang, saya bersama teman teman pasti ditanya bab sejarah mulai sejarah lokal markas Komando gerilya kota hingga sejarah Malang oleh para tamu dan pengunjung. Aneh rasanya jika menolak jawab pertanyaan sejarah Malang, lha namanya kampung sejarah, jadi layak dijadikan jujugan belajar sejarah.
Sejarah Malang tentu lekat dengan Kanjuruhan, Singhasari, Majapahit dan para tokohnya termasuk Ken Angrok sang Pendiri Wangsa Rajasa hingga tokoh era perang Kemerdekaan : Hamid Rusdi.Â
Munculah dua sumber yaitu Negarakertagama dan Pararaton. Minimal dari sana sekilas tahu dan bisa memberikan sedikit pencerahan untuk selanjutnya menjawab bahwa museum Reenactor fokus bahasannya antara tahun 1945-1949.Â
Ruwatan dan Pengkaburan Sejarah
Relief Candi kidal dibaca berlawanan dengan putaran jarum jam, yaitu kidal, dari kiri ke kanan. Secara garis besar itu gambaran pembebasan atau ruwatan. Sosok Garuda akhirnya jadi lambang negara dan gambaran relief Garuda di candi kidal menggambarkan proses pembebasan dari perbudakan, senada dengan revolusi Kemerdekaan Indonesia yang berjuang keras melawan penjajahan.
Belanda memang berupaya melakukan politik pengkaburan sejarah, jika perlu sesama orang Indonesia akan diadu domba dalam De vide at empera.Â
Agar orang Indonesia sibuk bertengkar dengan bangsa sendiri dan para penjajah bisa leluasa merampok kekayaan alam bumi Pertiwi untuk kesejahteraan Bangsa Penjajah. Hingga hari ini saya masih merasakan intrik ruwet seolah olah serat Pararaton itu buatan Belanda yang berisi hoax, pengkaburan sejarah dan merendahkan martabat nenek moyang bangsa ini. Beberapa grup wa dan FB masih saja bahas itu. Yang anggap fiksi, dongeng palsu dan memotivasi adu domba penuh permusuhan. Karena inilah saya harus banyak membaca Pararaton Karya Mpu Heri Purwanto.
Dalam buku karya Mpu Heri Purwanto ini dijelaskan sbb :
Nama Tohjaya ada di Pararaton, tetapi tidak ada di Ngaraktgama. Mereka yang meyakini Pararaton naskah baru buatan Belanda mungkin menyimpulkan Tohjaya adalah tokoh fiktif karena menyimpang dari Ngaraktgama. Mereka mungkin menuduh Belanda mengarang nama Tohjaya dan mengisahkannya sebagai raja jahat yang memimpin Tumapl, membunuh Anusapati, dan merencanakan pembunuhan terhadap Ranggawuni dan Mahia Campaka.
Tetapi, pada 1975 ditemukan Prasasti Mula Malurung di Kediri, yang dikeluarkan raja Tumapl bernama Narrya Sminingrt pada 1255. Jika kita kroscek datanya dengan Prasasti Maribong 1248, Sminingrt adalah nama lain Wiuwardhana. Uniknya, Tohjaya jelas tertulis di prasasti ini, yaitu raja yang memerintah sebelum Sminingrt. Itu artinya, Tohjaya bukan tokoh fiktif yang hanya ada di Pararaton, tapi tokoh sejarah yang tercatat dalam prasasti.
Pararaton juga menyebut pembantu Tohjaya, yaitu Praaraja, serta pendukung Wiuwardhana, yaitu Paji Pati-Pati. Ternyata dua nama itu pun tertulis di Prasasti Mula Malurung. Jika benar Pararaton karangan Belanda, dari mana Belanda mendapat ide menciptakan nama Tohjaya, Praaraja, dan Paji Pati-Pati, sedangkan Prasasti Mula Malurung baru ditemukan di tahun 1975?
Itulah kajian yang menarik yang sekaligus menjawab keragu raguan terhadap Pararaton. Boleh memang berasumsi meragukan Pararaton sebagai upaya pengkaburan sejarah demi kepentingan penjajah Belanda, namun dengan di ketemukannya prasasti Mula Manurung terdapat data baru yang memberi pencerahan sekaligus jawaban. Tentu masih banyak lagi kajian yang menarik yang dibahas di buku Pararaton karya Mpu Heri Purwanto ini. Sampai jumpa ditulisan berikutnya yang akan membahas sejarah Tumapel dan hal hal unik tentang sejarah malang raya.
Terima kasih sudah berkenan membaca artikel ini.
Malang, 31 Agustus 2023
Ditulis untuk Seri Bedah Koleksi Bukuku 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H