Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Diary

Monolog Klono dan Mr. John

29 Desember 2022   21:53 Diperbarui: 29 Desember 2022   22:02 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Monolog: Klono dan Mr. John

Desember, menjelang tahun baru. Hujan memaksaku singgah di Cafe Huiz John. Segelas kopi pahit bercampur susu jadi hidangan. Malam ini sendiri disini. Menulis!

Tentang Kalaidoskop bisik Mr. John. Beberapa malam lalu, beberapa moment aku jadi sering nongkrong bersama Mr. John. Disini asyik untuk berbagi cerita, diskusi dan rencana kedepan. Dan kali ini ruang ini kutempati sendiri. Sambil menunggu hujan reda, mulailah menari jemari, untuk menulis sesuai saran Mr. John.

Sebuah rencana besar lahir disini. Harus realisasi! Mengeluh hanya menambah peluh. Tapi tak mengeluh, siapa akan mendengar? Aku sedang dipinggir. Tak dianggap. Tak didengar. Sendiri, tak lakukan apapun ternyata hanya akan jadi tertawaan orang orang yang ingin aku gigit jari. Mereka, entahlah mereka. Yang penting aku harus tetap semangat. Menunjukan diri agar aku tidak menjadi seperti yang mereka inginkan. 

Berita koran beberapa hari lalu, seolah anugerah dan bencana. Kuanggap anugerah, karena media independen melihat inovasiku sebagai brilian dan luar biasa. Mereka melihat aku, kiprah nyataku dan perjuanganku. Mereka berusaha mengenal aku sebagai pribadi konsisten, berkelanjutan dan tidak kenal menyerah. Dari artikel itu, ada Rasa bangga dan percaya mereka sebagai jurnalis yang memberitakan profilku secara proporsional, adil, bijak dan tanpa tendensi suka atau tidak suka.

Alhamdulillah aku disandingkan dengan dua orang yang menurutku super. Satu sebagai arkeolog, epigraf dan sejarawan. Satu lagi adalah penulis, pelukis dan fotografer handal yang perpustakaan rumahnya luar biasa lengkap. Kapasitasku disandingkan dengan dua orang empu tersebut. 

Namun berita itu jadi musibah. Banyak yang menuding aku sebagai Abal Abal, tidak tahu terima kasih, dan sebagai kacang lupa asalnya. Yang disalahkan media koran yang menulis beritanya. Kapasitasku dipertanyakan. Dan sejuta penilaian tak bermutu dituduhkan ke diriku. Why ?

Jika mereka tahu aku duduk dengan siapa di Huiz John dan merencanakan apa disini, tentu mereka akan jantungan. Aku tak perlu menjelaskan apapun pada mereka yang tak suka dengan aku. Bagiku itu bodoh. Yang penting adalah aku tetap semangat meningkatkan kapasitas diri agar aku bisa menunjukan bukti nyata yang katanya Abal Abal itu. 

Hujan makin deras. Beberapa tamu muda mulai memenuhi cafe Huiz John. Satu grup lagi berunding serius tentang transaksi jual beli, sepertinya salah satunya itu notaris. Satu meja lagi sibuk dengan laptopnya. Satu meja lagi diisi 6 pemuda lagi asyik main pokker. Dan dimejaku, aku sendiri. Ditemani Mr. John secara virtual. 

Jadi Ingat Klono. Belakangan ada dua sisi yang sedang membangun intuisiku sebagai penulis. Dua tempat ini dua cafe yang berbeda nuansa. Pertama huiz John yang bernuansa kolonial dan kedua mesem cafe & Art Gallery yang bernuansa budaya dan tradisi. Aku memang belum menemukan esensi kehadiran Mr. John. Tapi aku malah menemukan kehadiran Klono sebagai api semangat baru dalam perjuangan yang start awal dari Huiz John ini. 

Siapa Klono? 

Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug. 

Klono adalah salah satu tokoh dalam topeng Panji. Yang menarik, terdapat predikat "kelono" yang diberikan pada VOC yang aktif melaksanakan intervensi kekuasaan di Jawa, yaitu "Kelono Baron Sekeber". Malahan, di Yogyakarta ada tokoh peran dalan tari, yaitu Kelono Gefer atau Kelono Roji, yang acap ditampilkan dalam pesta pernikahan.
Ini menarik, karena Mr.John menganjurkan Eksplore Klono terlebih dahulu dari pada Eksplore Panji. 

Klono yang kumaksud disini adalah Prabu Klono Sewandono, yang akhirnya turut sayembara (swayambhara) untuk mendapatkan  putri dari  Kerajaan Kediri, yakni Dewi Sanggalangit. Untuk mempersuntingnya para pelamar musti dapat memenuhi tiga prasyarat:
(1) Membuat terowongan bawah tanah (istilah kunonya "arung")  dalam waktu semalam,
(2) mempersembahkan binatang yang berkepala dua, dan
(3) menciptakan kesenian yang belum pernah ada di Jawa yang kelak sebagai pengiring pernikahan.
Syarat pertama mampu dipenuhi berkat bantuan patih Pujonggo Anom yang memiliki aji Welut Putih. Syarat ketiga dipenuhi dengan persebahkan tari Jatilan beranggota 144 orang dan para warok. Syarat kedua dipenuhi setelah berhasil mengalahkan Raja Singobarong dari Alas Ludoyo, yang mempunyai binatang berkepala dua, yakni berkepala harimau dan merak. Dengan demikian, ia berhasil mempersunting Dewi Songgolangit. Cerita ini saya kutip dari kisah Panji dalam Reog Ponorogo. 

Korelasi dari kisah Klono ini apa? Bukan sekedar cerita tak bermakna, namun di tempat Mr. John ini saya bersama para pejuang lainnya tengah membangun rencana besar. Jika klono berhasil memenuhi tiga permintaan tersebut diatas dan berhasil mempersunting Dewi Songgolangit, maka esensi semangat perjuangan klono wajib diteladani. Rencana besar mungkin hanya omong kosong jika tidak dilaksanakan. 

Rencana besar tentu akan berhasil jika berjuang penuh semangat dan tentu atas Restu Semesta. Rencana besar ini bukan rencana pepesan kosong. Rencana ini merupakan spirit untuk mengangkat budaya dan kepahlawanan di malang raya. Spirit budaya dan kepahlawanan perlu diperkenalkan kembali agar semakin membumi.

 Banyak generasi muda ternyata tak kenal para lokal heroes yang gugur untuk Nusa bangsa ditanah malang raya. Para pembakti budaya, seperti para pelestari topeng Malangan malah sama sekali tidak dikenal. Kemunculan spirit klono, salah satu unsur tokoh topeng Malangan merupakan penanda bahwa budaya dan kepahlawanan saatnya diperjuangkan untuk diangkat di tlatah malang raya.

Terima kasih Mr. John untuk inspirasi memasukan klono sebagai motor baru yang menginspirasi ini. Tak selamanya para pejuang terus dipinggir dan terpinggirkan. Semangat klono yang totalitas memperjuangkan 3 permintaan yang sangat berat, ternyata mampu dicapai dengan sangat gemilang.

Huiz Jhon, 29 Desember 2022
Ditulis oleh Eko Rody Irawan

Untuk Seri Monolog Sketsa Pinggir #3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun