Monolog: Klono dan Mr. John
Desember, menjelang tahun baru. Hujan memaksaku singgah di Cafe Huiz John. Segelas kopi pahit bercampur susu jadi hidangan. Malam ini sendiri disini. Menulis!
Tentang Kalaidoskop bisik Mr. John. Beberapa malam lalu, beberapa moment aku jadi sering nongkrong bersama Mr. John. Disini asyik untuk berbagi cerita, diskusi dan rencana kedepan. Dan kali ini ruang ini kutempati sendiri. Sambil menunggu hujan reda, mulailah menari jemari, untuk menulis sesuai saran Mr. John.
Sebuah rencana besar lahir disini. Harus realisasi! Mengeluh hanya menambah peluh. Tapi tak mengeluh, siapa akan mendengar? Aku sedang dipinggir. Tak dianggap. Tak didengar. Sendiri, tak lakukan apapun ternyata hanya akan jadi tertawaan orang orang yang ingin aku gigit jari. Mereka, entahlah mereka. Yang penting aku harus tetap semangat. Menunjukan diri agar aku tidak menjadi seperti yang mereka inginkan.Â
Berita koran beberapa hari lalu, seolah anugerah dan bencana. Kuanggap anugerah, karena media independen melihat inovasiku sebagai brilian dan luar biasa. Mereka melihat aku, kiprah nyataku dan perjuanganku. Mereka berusaha mengenal aku sebagai pribadi konsisten, berkelanjutan dan tidak kenal menyerah. Dari artikel itu, ada Rasa bangga dan percaya mereka sebagai jurnalis yang memberitakan profilku secara proporsional, adil, bijak dan tanpa tendensi suka atau tidak suka.
Alhamdulillah aku disandingkan dengan dua orang yang menurutku super. Satu sebagai arkeolog, epigraf dan sejarawan. Satu lagi adalah penulis, pelukis dan fotografer handal yang perpustakaan rumahnya luar biasa lengkap. Kapasitasku disandingkan dengan dua orang empu tersebut.Â
Namun berita itu jadi musibah. Banyak yang menuding aku sebagai Abal Abal, tidak tahu terima kasih, dan sebagai kacang lupa asalnya. Yang disalahkan media koran yang menulis beritanya. Kapasitasku dipertanyakan. Dan sejuta penilaian tak bermutu dituduhkan ke diriku. Why ?
Jika mereka tahu aku duduk dengan siapa di Huiz John dan merencanakan apa disini, tentu mereka akan jantungan. Aku tak perlu menjelaskan apapun pada mereka yang tak suka dengan aku. Bagiku itu bodoh. Yang penting adalah aku tetap semangat meningkatkan kapasitas diri agar aku bisa menunjukan bukti nyata yang katanya Abal Abal itu.Â
Hujan makin deras. Beberapa tamu muda mulai memenuhi cafe Huiz John. Satu grup lagi berunding serius tentang transaksi jual beli, sepertinya salah satunya itu notaris. Satu meja lagi sibuk dengan laptopnya. Satu meja lagi diisi 6 pemuda lagi asyik main pokker. Dan dimejaku, aku sendiri. Ditemani Mr. John secara virtual.Â
Jadi Ingat Klono. Belakangan ada dua sisi yang sedang membangun intuisiku sebagai penulis. Dua tempat ini dua cafe yang berbeda nuansa. Pertama huiz John yang bernuansa kolonial dan kedua mesem cafe & Art Gallery yang bernuansa budaya dan tradisi. Aku memang belum menemukan esensi kehadiran Mr. John. Tapi aku malah menemukan kehadiran Klono sebagai api semangat baru dalam perjuangan yang start awal dari Huiz John ini.Â