Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Roadshow Spirit Budaya dan Kepahlawanan Versi Kolaborasi Monolog dan Musik

26 Desember 2022   18:36 Diperbarui: 26 Desember 2022   18:44 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri mesem cafe & art Gallery

Monolog saya tetap tampil membangun spirit budaya dan kepahlawanan dengan diiringi gitar akustik oleh Sam Iwan Dongkel. Kolaborasi ini telah menghasilkan lagu baru berjudul Spirit ditepi ujung kuku, yang dilantunkan Sam Iwan Dongkel dengan sangat berapi api dan penuh semangat.

Dokpri Mesem cafe & art Gallery
Dokpri Mesem cafe & art Gallery

Inilah yang saya sebut media dan ruang baru pembelajaran sejarah dengan frekuensi ala milenial. Banyak pihak bertanya kenapa monolog, bukan drama teatrikal Akbar dengan efek petasan dan ledakan yang spektakuler.

 Mohon maaf ini kegiatan murni keswadayaan, jika tampil seorang diri dan sementara untuk drama teatrikal ternyata harus membutuhkan banyak personil dan tentu biaya yang tidak murah untuk efek dimaksud, bagaimana mencukupinya jika memang tidak mampu secara keswadayaan. Reenactor memang hobby mahal yang kurang mendapat apresiasi layak. Orang lain menilai ini murah. Coba saja butuh 20 orang personil, semua sewa pakaian di salon. 

Apa ada salon gratis untuk menyewakan baju pejuang. Apalagi Reenactor mengutamakan ontentik sesuai bukti sejarah yang terbukti ada dalam dokumen sejarah, baik foto atau catatan sejarahnya. 

Reenactor bukan cosplay, reenactor berbasis pembelajaran sejarah sementara cosplay berbasis tokoh baik film atau kartun. Cosplay menyesuaikan diri dengan tokoh idola, sementara Reenactor menyesuaikan diri dengan sejarah. Tentu hal ini beda, dan tidak bisa digebyah Uyah sebagai sama saja. Dalam roadshow ini merupakan wadah sosialisasi efektif agar reenactor tidak dipandang sebelah mata.

Daripada menunggu, tapi menunggu apa dan siapa, lebih baik mulai dengan hal hal kecil. Hampir 3 tahun sejak masa pandemi, untuk gelar drama teatrikal memang tidak bisa dilaksanakan karena terlalu mahal dan melanggar aturan pandemi karena akan ada kerumunan. Bagaimana Reenactor bisa menggelar drama teatrikal, sementara kunjungan Ke Museum Reenactor Ngalam juga minim. 

Solusi drama monolog rasanya lebih masuk akal dan tidak jadi beban pada siapapun. Faktor suka tidak suka itu manusiawi dan ada kebebasan menilai. Walau ide ini dianggap keluar dari genre Reenactor, namun dari pada diam hanya menunggu keajaiban, kapan berimprovisasi secara positif? Menunggu apa? Menunggu siapa? Terus berkarya, walau hanya seujung kuku, dari pada selangit tapi nggedabrus, alias omong doang, tapi tak ada karya yang bisa diapresiasi. Bohong dong.

Roadshow Kolaborasi

Bersyukurlah yang punya komunitas yang mampu secara finansial dan terus disupport berbagai pihak. Tapi komunitas yang terpinggirkan bisa apa? Roadshow kolaborasi ini hanya upaya kecil dan sangat kecil. Namun daripada diam lalu tertidur dan mimpi, jujur itu buat apa? Positif dan semangat adalah tanda kesatria sejati.

Sejujurnya ini bukan panggung untuk kepentingan popularitas semu dan bukan arena untuk cari cuan. Ini murni berkarya. Soal ada yang suka atau tak suka, silahkan saja. Yang penting ini karyaku, mana karyamu? Fair play tanpa nyinyir dan no rasan rasan lebih gentelmen dan profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun