Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ayo Nulis untuk Abadikan Kisah, Berbagi Inspirasi dan Menembus Batas

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Monolog Sketsa Pinggir

15 Desember 2022   21:31 Diperbarui: 15 Desember 2022   21:42 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seri Sketsa Monolog Pinggir #1

Monolog : "Sketsa Pinggir"

Pemantik. Iya, apa bisa menyala. Agar kau tahu aku ada disini. Dipinggir kesepian. Sendiri. Tapi tidak diam.

Kalau tidak sekarang, terus kapan? Kalau tidak dimulai, terus menunggu siapa? Mulai sekarang, atau kelak jadi penonton. Mau protes siapa, jika ide itu dipungut yang lain. Waktu terus bergerak. Untuk apa jadi si ragu yang misterius, jika akhirnya menyesal dan rugi. Cuma lho... Lho.... Dan lho....

Menunggu sempurna, tapi tidak berkarya.  Apa perlu memikir lama hingga ketinggalan kereta. Sendiri jelas tak kuasa. Tapi berdua, bertiga, kolaborasi kolaborasi. Egois ini membunuh pelahan. Tak perlu malu, Hidup nyata, kenapa pura pura. Tipu diri, apa guna.

Tak perlu menunggu terpinggir. Terasing. Lalu tak dianggap. Karena dilupakan itu tak bisa ditolak. Greget tak butuh bimbang. Mengalir saja. Untuk apa takut. Untuk apa ragu.

Sungguh aku resah. Karena musuh ingin kita hancur. Dikalahkan tanpa perang. Menyerah tanpa membela diri. Jauhkan kayu bakar dari tungku masak. Lepaskan pegangan kayu dari kapak. Jauhkan sendok dari piring makan. Jauhkan apresiasi dari inovasi.

Sketsa pinggir. Tak terlihat, tak diminat. Tak populer, tak update. Jika tak bangkit, dianggap sakit. Dilindas, ditindas, dihempas. Sudah dipinggir. Bodoh, jika masuk jurang. Kalah sejati adalah mati menyerah tanpa usaha, membela diri.

Tak kenal, mana bisa sayang. Tak sayang, jelas tak peduli. Bukan urusan. Tapi Tak perlu salahkan lain. Yang perlu ditanyakan itu, Kita bagaimana? Kita mau apa? Sudah apa kita? Bukan membusung dada, tapi ini kita. Satukan kayu bakar dari tungku masak. Satukan pegangan kayu dari kapak. Satukan sendok dari piring makan. Satukan apresiasi dan inovasi.

Bertahan boleh, tapi berkembang harus. Jangan jajah otakmu dengan minder. Batasi diri. Pasang pagar tinggi. Tapi didalam merana. Itu itu saja. Siapa akan kagum, jika tak berani inovasi. Ini merdeka bung, hakmu. Milikmu. Untuk apa menjajah diri sendiri jika engkau sambat. Mengeluh bukan cara bijak untuk bahagia.

Aku bukan makhluk egois. Agar diakui, tak butuh pura pura. Tak butuh alasan. Tak butuh mengeluh. Mengalir saja seperti air. Hujan saja tak mengeluh, walau jatuh bertubi tubi menghunjam bumi. Tapi air tetap berguna bagi hidup.

Bintang memang indah, tapi tak perlu jadi bintang jika kau tak mampu menapak bumi. Setapak dua tapak, tapi melangkah. Daripada nggedabrus, omong kosong tapi tipu diri. Gigit jari.

Bismillah ayo melangkah. Biarlah dicela. Dikritik. Dikepoin. Dijegal. Didoakan gagal. Karena iri itu tanda tak mampu. Lebih baik setetes, tapi nyata. Lama lama sebukit. Daripada banjir, tapi bikin sengsara, ternyata tong kosong, melompong. Berkarat dan sirna.

Sketsa pinggir. Bukan untuk menyingkir. Untuk apa lama berpikir, ayo sekarang menyala, dari pada menyesal diakhir.

Malang, 15 Desember 2022
Ditulis Oleh Eko Rody Irawan
Untuk Seri Monolog Sketsa Pinggir #1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun