Selamat datang di seri Tulisan Sketsa Sam oke #7. Kali ini membahas Toksik beda Frekuensi ditempat kerja yang akan melahirkan fenomena Quiet Quitting dan Quiet Firing. Kejadian tersebut bikin kerja tidak nyaman, baik bagi pimpinan atau pekerja. Berikut ulasannya.
Sebuah tempat kerja didirikan dan merekrut pekerja tentu telah memiliki visi, misi, tata kerja dan aturan yang disepakati bersama. Ada pola kerja sama saling menguntungkan dibangun disana. Sikap profesional harus ditegakkan agar mekanisme berjalan dalam managemen yang sehat, transparan, demokratis dan nyaman. Komunikasi harus diciptakan kondusif dengan pemberian fasilitas yang adil. Fenomena toksik Quiet Quitting dan Quiet Firing bisa terjadi karena banyak hal. Outputnya melahirkan toksik beda frekuensi. Kantor kok jalan sendiri sendiri. Hasilnya capaian output dijamin buruk. Sebuah gambaran yang tidak profesional dan saling tidak menguntungkan.Â
Quiete quitting adalah tindakan bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.
Tindakan ini bisa jadi adalah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap tuntuntan tinggi dari instansi dimana yang bersangkutan bekerja.
Sedangkan tindakan quiete firing adalah sikap instansi yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiete quitting. Yakni dengan mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi. Instansi tersebut memberlakukan sikap balas dendam yang tidak profesional.Â
Quiete quitting maupun quiete firing adalah fenomena yang sesungguhnya dapat dijembatani dengan pola komunikasi yang baik. Satu pihak dapat menginformasikan kesulitannya dalam bekerja, sedangkan kantor dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap karyawan bersangkutan. Itulah yang saya sebut toksik beda Frekuensi. Jelas tidak akan nyambung, karena perusahaan dan karyawan tidak pernah bertemu dan berjalan sesuai persepsi masing masing. Hal tersebut merupakan Situasi buruk dan tidak sehat jika tetap diteruskan tanpa solusi.
Pola Kerja Pimpinan Perusahaan.
quiete firing adalah sikap instansi yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiete quitting. Yakni dengan mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi. Instansi tersebut memberlakukan sikap balas dendam yang tidak profesional. Kenapa terjadi? Karena ada trend pola kerja pimpinan yang amburadul. Mentang mentang merasa bayar pegawai, terus bertindak sewenang wenang. Menuntut pegawai dengan tuntutan tak masuk akal yang tidak bisa dicapai oleh pegawai. Sementara pimpinan tidak memberikan fasilitas penunjang untuk proyek perusahaan. Sikapnya like dan dislike. Pola demikian adalah manager otoriter yang memerintah secara komando, tapi secara karisma dia tidak layak dihormati karena sikapnya yang pandang bulu dan menganakemaskan pegawai tertentu. Secara management dia gagal mengatur pembagian tugas secara adil merata. Dia gagal menterjemahkan visi misi perusahaan dan menganggap pegawai hanya bawahan yang harus tunduk diperintah. Seharusnya pegawai adalah partner kerja dan pimpinan harus mampu memanusiakan manusia sesuai kapasitasnya. Pola kerja demokratis harus dibangun agar ada pola sefrekuensi bisa tercipta secara nyaman dan tujuan perusahaan tercapai dengan menyenangkan tanpa bisik bisik gibah yang tak profesional.
Sikap Kawulo Gusti yang Profesional
Kerja sama saling menguntungkan dengan saling menjaga, menghargai dan memiliki adalah pola tanggung jawab yang terukur dan adil sesuai porsinya. Sikap Kawulo Gusti yang profesional adalah cara menghilangkan toksin miskomunikasi penyebab Quiete quitting maupun quiete firing. Sikap itu adalah unggah ungguh dengan saling menghormati dan menghargai sesuai porsi tanggung jawabnya. Ini terjadi jika karyawan dan pimpinan bisa buka jalur komunikasi kreatif dengan terbuka, transparan dan saling mengungkap kekurangan dan kelebihan secara profesional. Tentu perusahaan ingin pegawainya super kreatif, tapi jangan lupa, mereka juga manusia yang bisa lelah, bosan, sakit dan mereka bukan robot.
Pengembangan kerjasama Kawulo Gusti yang seimbang, sejalan dan sefrekuensi harus diciptakan. Pegawai harus punya sikap tanggung jawab tinggi dan dihargai jerih payahnya semasa mengabdi. Pimpinan tak sepantasnya sewenang wenang, harus introspeksi. Jembatan solusi dari semua ini adalah komunikasi saling memahami, hingga tercipta suasana kerja yang sehat, ideal dan adil.
Solusi keluar dari toksik Beda Frekuensi
Saya pribadi 28 tahun menjadi pegawai dibeberapa instansi. Fenomena Quiete quitting maupun quiete firing memang terjadi dan menurut saya hal tersebut sangat menganggu kenyamanan bekerja.Â
Kunci keluar dari hal tersebut adalah komunikasi kreatif secara bertahap dan berkelanjutan dengan kesadaran bersama, bahwa instansi tersebut harus sinergi secara kompak dan menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara adil dan bijak. Hal ini Memang sulit karena ini menyangkut pribadi pribadi yang berkepentingan dan masing masing punya ego. Namun, dengan dibangunnya komunikasi dan seringnya duduk bersama, tentu akan lahir sinergi yang penuh tanggung jawab. Instansi tentu punya target tertentu yang ingin dicapai. Prestasi ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pimpinan dan disana dibutuhkan kerjasama. Pimpinan yang pilih pilih karyawan yang hanya disukainya saja, dan menghambat karier pegawai secara Dzolim tanpa alasan yang Jelas, menandakan dia pimpinan yang buruk. Tak salah pegawai bersikap semau gue. Toh, semua pegawai juga punya peran bagi perusahaan. Kesadaran kreatif harus dikembangkan dengan komunikasi kreatif. Tanpa itu, semua akan jalan sendiri sendiri dan itulah toksik Beda frekuensi yang merugikan semua pihak.Â
Malang, 27 September 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H