Mohon tunggu...
Irawan Abae
Irawan Abae Mohon Tunggu... Mahasiswa - Founder Wadah Ekonomi media riset dan kajian ekonomi

kita hanya butuh beberapa kata untuk menyusunnya menjadi kalimat, dengan segenap tinta untuk menyusunnya menjadi sebuah cerita pendek. hanya butuh kata-kata untuk menjelaskan pada semesta bahwa kita butuh pena untuk mengungkapkan rasa

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Economic Sustainability dan Kerusakan Lingkungan

24 September 2024   15:37 Diperbarui: 9 Oktober 2024   07:24 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi dunia saat ini sedang memasuki periode atau abad baru (Abad Milenium III), dimana gravitasi dari pusat kegiatan ekonomi dunia menuju kepada kekuatan baru, yaitu Asia; dan oleh karenanya abad ini disebut juga Abad Asia (Asia Century).

ADB dalam studinya, "Asia 2050: Realizing the Asian Century", menyampaikan dua skenario kemungkinan mengenai prospek ekonomi Asia dalam 40 tahun ke depan, yaitu skenario optimis dan skenario pesimis dengan adanya middle income trap. 

Dalam skenario pertama (Asian century scenario), diprakirakan kontribusi Asia pada PDB dunia akan mencapai setengahnya, sementara dalam skenario middle income trap Asia akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang moderat sehingga kontribusinya pada PDB global hanya mencapai 30%.

Perkembangan tersebut paralel dengan peningkatan pendapatan per kapita dan jumlah penduduk Asia yang mengalami peningkatan kemakmuran.

Dengan kedua skenario tersebut, tantangan pembangunan ekonomi ke depan akan semakin berat dan keberhasilan transisi menuju Abad Asia memerlukan paradigma pembangunan yang berkelanjutan yang baru.

Terkait dengan hal tersebut, beberapa pemikiran menekankan bahwa dimensi pembangunan tidak hanya menyangkut pencapaian kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan pemerataan sosial, namun perlu juga dikaitkan dengan harmonisasi politik, kelembagaan. Keempat dimensi tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain.

Selanjutnya pembahasan Ekonomi dan lingkungan menjadi isu menarik pada abad 21, bagaimana tidak, aktivis, LSM, Akademisi dan mahasiswa selalu memperdebatkan keduanya, padahal Tidak lagi zamannya untuk mempertentangkan mana yang harus diprioritaskan antara ekonomi atau ekologi.

Pasalnya, jika keduanya terus dikambinghitamkan, solusi terbaik tidak akan pernah ketemu karena ekonomi akan selalu dianggap lebih penting dan ekologi dipandang sebelah mata.

Pada prinsipnya makin rendah angka deforestasi (penggundulan hutan) dan kerusakan lingkungan yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi makin berkualitas. Kualitas ekonomi sangat bergantung pada kualitas ekologi. Jika terjadi kerusakan pada ekosistem, dampaknya akan signifikan pada kehidupan yang akhirnya juga mengancam perekonomian.

Tidak hanya pada pembahasan untung dan ruginya sebuah kebijakan tapi bagaimana sebuah kebijakan dapat bermanfaat dan berdampak pada kehidupan selanjutkan maka dari itu untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana masa depan ekonomi dan ekologi maka sistem ekonomi berkelanjutan menjadi solusi paling nyata pada abad 21.

Konsep Sederhana memahami ekonomi berkelanjutan

Ekonomi berkelanjutan adalah pendekatan ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini melibatkan penggunaan sumber daya secara efisien, mempromosikan energi terbarukan, dan mengurangi limbah serta polusi.

Berikut ini konsep ekonomi berkelanjutan

  • Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
  • Penggunaan sumber daya secara efisien untuk mengurangi limbah dan polusi.
  • Nilai-nilai lingkungan dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi dan pengambilan keputusan.
  • Pengembangan dan adopsi teknologi yang ramah lingkungan.
  • Keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan ekologi.

Ekonomi Hijau 

Ekonomi hijau (Green Economy) merupakan konsep ekonomi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat yang disertai dengan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Istilah ekonomi hijau pertama kali dicetuskan dalam laporan "Blueprint for a Green Economy" dari sekelompok ekonom yang ditujukan kepada pemerintah Inggris tahun 1989 supaya mempertimbangkan konsep pembangunan berkelanjutan.

UN Environment Programme (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai konsep ekonomi yang rendah karbon, efisiensi sumber daya, dan inklusif secara sosial.

Dalam ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong oleh investasi pemerintah dan swasta pada kegiatan ekonomi, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon dan polusi, peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. 

Sumber daya alam dipandang sebagai aset penting dan sumber daya publik utamanya bagi masyarakat miskin yang mata pencahariannya bergantung pada sumber daya alam. Oleh sebab itu, penerapan ekonomi hijau memiliki dampak positif bagi kehidupan sosial yang inklusif.

Ekonomi hijau merupakan konsep payung yang menaungi konsep Ekonomi Sirkular dan Bioekonomi. Secara khusus, Ekonomi Sirkular dan Bioekonomi berfokus pada sumber daya, sedangkan pada prinsipnya Ekonomi Hijau mengakui peran yang mendasari seluruh proses ekologi.

Ekonomi Biru 

Berdasarkan definisi dari World Bank, Ekonomi biru merupakan konsep ekonomi yang menekankan pada penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan penghidupan dan lapangan kerja sembari menjaga kesehatan ekosistem laut.

Ekonomi biru diharapkan menjadi jawaban bagi permasalahan pengelolaan kelautan dan perikanan Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara maritim. Tujuan dari ekonomi biru yaitu membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip alami dan lokalitas di kawasan pesisir.

Konsep ekonomi biru pada mulanya hanya mencakup produk-produk berbasis perikanan yang bernilai ekonomi. Namun saat ini cakupannya meluas hingga menjangkau kepada keberlanjutan ekosistem laut. Keberlanjutan ekosistem laut yang terintegrasi dengan keberlanjutan segala potensi yang ada di dalamnya (termasuk potensi perdagangan karbon biru) menjadi salah satu kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.

Penerapan ekonomi biru juga sejalan dengan konsep Environment, Social, and Governance (ESG) karena pelaksanaan ekonomi biru melibatkan triple bottom line tersebut.

Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan

Dibalik kebanggaan sebuah bangsa dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, dengan iming-iming mengejar ketertinggalan dengan negara lain justru melahirkan berbagai masalah baru yang semakin rumit dan berkepanjangan, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Lebih-lebih masalah kerusakan lingkungan yang akhir-akhir ini sangat jelas kita rasakan. Bila kita mengkaji lebih jauh secara psikologis, memang terdapat trade-off antara alat pemuas kebutuhan manusia (berupa barang-barang produksi dan jasa-jasa) dengan amenities (kenyamanan) dan keterkaitannya dengan hukum kepuasan yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Jaman dahulu orang-orang tua kita begitu mudah menikmati keindahan alam, kesejukan air bersih di sungai-sungai serta keindahan pegunungan yang terbentang luas.

Tak sedikit hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan pencemaran lingkungan. Bahkan, fenomena tersebut umumnya terjadi di negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pesat di Cina berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara tersebut akibat buruknya penegakan hukum dan undang-undang lingkungan di Cina (Chen et al., 2015).

Selain itu Pembangunan janganlah menimbulkan kerusakan alam (lingkungan), apa gunanya pembangunan bila lebih banyak menimbulkan eksternalitas negatif dan tentunya lebih merugikan masyarakat serta anak dan cucu kita di masa-masa yang akan datang. Tiga konsep utama pembangunan yang berkelanjutan menurut Mohan Munasinghe adalah memuat: ekonomi, ekologi, dan kriteria sosial kultural. Ketiga konsep ini harus berjalan secara sinergis dalam menciptakan pembangunan yang ramah akan lingkungan atau model alam. Masih menurut Mohan Munasinghe, identifikas pembangunan berkelanjutan memerlukan (Thomas dan Vinos, 2001)

Hubungan Antara Ekonomi Dengan Lingkungan Hidup

kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya buat produksi serta konsumsi dapat mengakibatkan positif jugal negatif bagi kehidupaln manusia. akibat positif yg ekskusif bisa dirasakaln adalah terpenuhinya kebutuhan barang serta jasa yang diupayakan terus semakin tinggi dari tahun ke tahun. Lebih banyak barang serta jasa yang diproduksi serta dikonsumsi memberikan peningkatan kemakmuran masyarakat.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan secara umum dianggap kontroversial. Teori ekonomi tradisional memosisikan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan. Sejak awal 1990-an, literatur empiris dan teoretis berkembang pesat pada Kurva Lingkungan Kuznets (EKC) yang hasilnya telah menyimpulkan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan bisa menjadi positif; dan karenanya pertumbuhan merupakan prasyarat untuk perbaikan lingkungan.

Dalam konsep ekonomi pencemaran merupakan suatu eksternalitas yang terjadi jika satu atau lebih individu mengalami atau menderita kerugian berupa hilangnya kesejahteraan mereka (Monke & Pearson, 1989). Meskipun setiap kegiatan ekonomi dapat menimbulkan eksternalitas, ahli ekonomi tidak merekomendasikan untuk menghilangkan eksternalitas.

Hal ini karena ekternalitas optimal tidak harus sama dengan nol. Pandangan bahwa bebas eksternalitas bukan merupakan keputusan yang optimal, dapat dijelaskan dengan dua hal, yaitu: pada dasarnya lingkungan itu cenderung memiliki kemampuan asimilatif sehingga pada tingkat pencemaran tertentu, lingkungan masih dapat mengatasi secara alamiah; dan kenyataan menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu, kegiatan ekonomi masih mampu mengatasi persoalan pencemaran ini dengan menggunakan teknologi pembersih limbah (Turner & Pearce, 1991).

Fakta lain menunjukkan bahwa eksternalitas tidak selamanya negatif. Artinya bahwa jika dalam proses produksi (dan konsumsi) memberikan dampak berupa manfaat bagi pihak lain maka eksternalitas yang dihasilkan ini bersifat positif sehingga disebut dengan ekternalitas positif.

Pembahasan dalam artikel ini difokuskan pada eksternalitas negatif. Gejala ini disebut dengan biaya eksternal karena dalam sistem produksi yang berlangsung hingga saat ini tidak pernah memasukkan biaya eksternalitas ke biaya produksi.

Mengingat nilai kerusakan lingkungan ini tidak diperhitungkan oleh pelaku ekonomi dalam melakukan kegiatannya, maka kondisi semacam ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan secara terus menerus (Howe, 1976).

Dalam rangka membangun sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan, maka setiap kegiatan ekonomi seharusnya melakukan proses yang dikenal dengan internalizing external costs yaitu memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak lain sebagai salah satu komponen biaya produksi.

Berdasarkan masalah tersebut, penelitian menjawab hubungan antara hubungan antara kelestarian lingkungan dan ekonomi, apakah positif atau negatif.

Kelestarian lingkungan adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi untuk memastikan kebutuhan ekonomi generasi sekarang tanpa mengorbankan daya dukung lingkungan bagi generasi mendatang. Menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya dibutuhkan untuk membatasi polusi, tetapi juga untuk memastikan ekoefisiensi dalam memenuhi kebutuhan generasi sekarang.

Dari sudut pandang ekonomi dampak kegiatan ekonomi terhadap lingkungan merupakan biaya eksternal dan terjadi hanya jika dua atau lebih individu menderita kerugian.

Dalam kerangka membangun sistem ekonomi yang efisien dan berwawasan lingkungan maka setiap kegiatan ekonomi seharusnya melakukan proses yang dikenal dengan internalizing external cost yaitu memperhitungkan biaya lingkungan atau nilai kerugian yang diderita oleh pihak lain sebagai salah satu komponen biaya produksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun