Mohon tunggu...
Anggi Irawan
Anggi Irawan Mohon Tunggu... peneliti -

Saya penikmat fotografi-travelling-dan dunia etnografi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Nyantri Harus Kudisan (Studi Scabies di Pesantren)

5 Januari 2016   16:02 Diperbarui: 5 Januari 2016   16:08 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah bangunan tidak terlalu besar, beratapkan seng dan tembok masih terlihat bata merah ditata,  selangkah masuk ke dalam cukup banyak orang yang berdiam di dalamnya. Semua yang berdiam di dalamnya berpakaian sama memakai peci hitam dan bersarung, beberapa memakai baju koko putih dan yang lain memakai baju beragam. Mereka semua menenteng Al-Quran di tangannya dan berjalan menuju satu tempat. Rata-rata remaja yang nyantri ini masih seusia sekolah menengah pertama, mereka nyantri di salah satu pondok pesantren sederhana dan baru dibuka beberapa tahun terakhir. Pesantren ini nantinya menelurkan beberapa hafidz Al-Quran, sebutan untuk orang yang hafal Al-Quran.

Di sisi yang lain tampak bangunan dua lantai dan sebuah bangunan joglo tua, ditempat inilah remaja putri nyantri, terpisah dengan bangunan milik santri pria. Terlihat jelas bangunan milik santri perempuan tinggal terlihat lebih manusiawi dibanding untuk santri pria. Sedikit banyak ini terpengaruh teori maskulinitas, bahwa laki-laki bisa lebih bertahan hidup di lokasi terburuk dibanding perempuan.

Itulah ponpes dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Pada era kekinian pesantren masih eksis sebagai pilihan orang tua untuk mendidik anak. Walaupun terkadang banyak juga santri yang putus di tengah jalan, karena dipengaruhi kadar berani hidup nelangsa yang dimilikinya.  Begitulah pesantren dengan kondisi keterbatasan yang sengaja dibuat untuk menggembleng mental para santri.

Banyak jebolan hebat yang lahir dari lingkungan pesantren sebut saja Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden RI yang ke-4 pada periode tahun 1999 sampai 2001. Berikutnya adalah mantan Ketua MPR periode 2004 hingga 2009  yaitu Hidayat Nur Wahid yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor pada tahun 1973. Ketika di Gontor beliau merupakan salah satu staff Koordinator Gerakan Pramuka. Beliau juga merupakan salah satu deklarator dan Presiden kedua Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Tidak dapat dipungkiri pendidikan pesantren tidak kalah hebat dari pendidikan sekolah formal yang menempatkan berbagai modifikasi kurikulum yang ada. Namun, ada hal menarik dan identik yang pasti pernah dialami para santri dan santriwati selama tinggal dan menggali ilmu di lingkungan pondok pesantren yakni terkena kudisan.

Kudisan atau bahasa ilmiahnya disebut sebagai penyakit scabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabiei. Penyakit khas pondokan ini  sangat erat hubungannya dengan budaya dan nilai-nilai yang ada di lingkungan pesantren. Muncul stereotip dimana seseorang yang pernah mengalami kudisan berarti sudah sah pernah menjadi bagian dari pesantren dan mampu menyerap ilmu lebih dalam lagi ke tingkat selanjutnya.

Kudis Bermakna Lebih Dari Sekedar Penyakit

Sebuah mitos berkembang dibalik penyakit kudisan ini yang lekat dengan kehidupan rata-rata orang yang nyantri. Baik laki-laki maupun perempuan, kudisan tidak pandang bulu menyerang. Kata seorang santri, awalnya di pesantren ini tidak pernah ada yang kudisan, baru ketika datang santriwati pindahan dari pesantren lain yang ternyata kudisan jadi menulari yang lain dan mewabah beberapa tahun terakhir di pesantren ini, yang terhitung masih pesantren baru.

Mungkin kudisan muncul sebagai mitos dari sebuah inisiasi bahwa pesantren ini memiliki santri yang lebih benar lagi nyantrik ke kiainya. Terus terang saja ada sesuatu yang sifatnya lebih misterius dari penyakit ini. Tapi penjelasan juga bukan untuk memitoskan kudis. Ini sekedar realita yang harus dihadapi atau dipahami secara santai, tanpa perlu didramatisir atau membuat kita panik.

Pada mulanya penyakit ini dinilai biasa saja dan masih dianggap normal sebagai keluhan penyakit kulit biasa. Dulu, mungkin ada satu dua orang yang membawa tungau mikroba ini ke lingkungan pesantren. Lalu dikarenakan kehidupan para santri saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya, beraktivitas secara komunal dari mulai makan bersama tidur bersama dan menggunai berbagai fasilitas seperti kamar mandi secara bersama, maka memungkinkan proses penularan penyakit ini menjadi lebih cepat.

Sehingga mewabah dan tidak mudah ditanggulangi dalam waktu singkat karena siklus penularan berputar secara terus menerus. Apalagi urusan pesantren memang banyak, dan tidak ada juzz atau fakultas atau departemen khusus yang memperhatikan hanya soal kudis. Maka akhirnya kudis justru didayagunakan. Kita tahu salah satu pelajaran dan etos mental yang dibangun dalam pendidikan pesantren adalah kesanggupan untuk berprihatin, kemampuan untuk menderita, atau kekuatan menghadapi segala siksaan. Dalam hal itu, kehadiran penyakit kudis bisa didayagunakan untuk bahan penguji mental yang efektif bagi kaum santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun