Bu Wenia terus menangis. Ia tak tahu bahwa itu akan menjadi pembicaraan mereka yang terakhir. Sesekali ia mengusap dadanya yang kian sesak. Sedangkan Hijrah tak tahu harus berkata apa untuk memotivasi ibunya. Dirinya sendiri pun seakan membeku. Ia hanya bisa mengelus pundak ibunya. Jeritan bu Wenia terdengar hingga ke luar rumah mereka.Â
"Kenapa ibumu Hijrah?" tanya Bu Veli tetangga sebelah rumah mereka.
"Ayah kak. Ayah udah meninggal," ujar Hijrah berlari kearah ibunya.
Bu Veli langsung memeluk bu Wenia. Ia berkata, "Sabar ya kak. Ini semua udah takdir Allah." Bu Wenia tetap menangis tiada hentinya. Beberapa menit kemudian tetangga-tetangga bu Wenia satu persatu datang memberikan motivasi dan mengucapkan belasungkawa atas peristiwa yang menimpa mereka.Â
***
Penyakit pak Subito awalnya diketahui oleh Hijrah dan bu Wenia. Hijrah memperhatikan ayahnya yang terlihat kurang sehat. Ketika itu Ayahnya sering konsumsi obat-obatan tanppa sepengetahuan keluarganya. Hijrah beranggapan ayahnya hanya sakit biasa. Ia tidak terlalu memikirkan kesehatan ayahnya. Sementara ibunya mengatakan bahwa "Ayahnya sudah sering sekali konsumsi obat diare. Ia juga khawatir kalau sakitnya itu tambah parah. Sehingga bu Wenia meminta untuk langsung memeriksakan kesehatan pak Subito ke rumah sakit".
Seiring waktu berjalan, kesehatan pak Subito semakin memburuk. Ia keluar masuk rumah sakit akibat penyakit yang ia derita. Awalnya ia hanya merasakan sakit perut biasa saja. Lalu, lama kelamaan badannya terasa sakit, nafsu makannya mulai berkurang, dan sulit tidur. Bu Wenia dan Hijrah panik tak tahu harus mengobatinya kemana lagi. Mereka sudah membawa pak Subito ke rumah sakit umum Sibolga. Tapi pihak rumah sakit tidak mengetahui penyakit yang diderita oleh pak Subito. Fasilitas rumah sakit tidak memadai untuk memeriksa keadaan perut pak Subito. Mereka pun menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit di  Medan. Mendengar hal itu pak Subito mengatakan bahwa dirinya sudah tidak apa-apa. Ia tak mau dibawa ke rumah sakit di Medan. Ketakutannya itu membuat sumber penyakitnya semakin berkembang.
Sehari-harinya pak Subito bekerja sebagai tukang becak dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pak Subito dikenal sebagai orang yang ramah, jujur, rapi, dermawan, dan sederhana di lingkungannya. Sikap baiknya itu menjadi nilai yang berharga dan kebanggaan untuk semua orang terdekatnya. Ketiga anaknya sangat menghormatinya. Begitu pun sang istri yang kerap sekali mendukungnya di saat-saat tersulit. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H