Mohon tunggu...
Ira Uly Wijaya
Ira Uly Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Penulis

You not alone, Allah be with you

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senandika Hijrah di Penghujung Tahun

18 Oktober 2022   16:04 Diperbarui: 18 Oktober 2022   16:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh : Ira Uly Wijaya

Senja laksana semburat fatamorgana yang menyuplai merah lembar hidupnya. Jingga menjadi background wajahnya. Sekiranya tiang-tiang raganya roboh, maka saat itulah pupus harapannya. Kali saja tahun baru bukan tuk memberi sebongkah deru pilu, kan ia ikrarkan peristiwa yang sempat lebam. Hanya Allah yang tahu masa depannya kelak. Ia menitip sebuah plakat bunga di baris terdepan mimpi-mimpi barunya tuk mendapatkan restu dari-Nya.

Kembali ia buka pintu yang berburai sendu. Pintu yang tertutup oleh butiran air mata, pintu yang terkalang oleh sebongkah ketakutan, berlilit janji tak tersemai. Lambat laun terdorong ia ke sebuah sudut lorong. Semakin ia beringas harinya semakin kehilangan dahaga. 

"Ya Allah, tolong aku yang tengah diremuk sembilu belati. Aku sangat takut sendirian. Jangan tinggalkan aku sendiri," gumam Hijrah tertunduk di depan cermin.

 Malam-malam ia terjaga. Begitu terusiknya ia dalam wadah sepi. Esok tahun ini berlari meninggalkannya dalam kenangan-kenangan yang layu. Setiap hendak memejamkan mata ia diuntit oleh bayang-bayang masa lalu. Hijrah kini tidak memiliki semangkuk kehangatan dari sang ayah. Berbeda dengan yang dialami teman-temannya yang memiliki segunung cinta.  Hijrah tidak merasakan sepercik kebahagiaan setelah kehilangan sosok ayah tercinta.

 Di penghujung tahun 2021 ini seluruh napasnya seakan terputus. Sebuah tangis di tahun baru ini terbingkis di hatinya. Hijrah mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Ia mencoba menyerahkan segala hidupnya kepada Allah. Menggulung seluruh lembaran getir di hidupnya dengan mencoba mengutip sisa kenangannya dengan sang ayah. Ia mengingat detik-detik kebersamaan mereka tat kala bulir-bulir perih hinggap di raga sang ayah.

***

 "Kenapa ayah tak mau dirawat ke rumah sakit di Medan? Ayah pergi saja berobat ke Medan supaya kita semua tahu penyakit ayah apa. Kita hanya mengetahui pembengkakan di perut ayah, kan? Jadi, menurut awak ayah pergi aja," ujar Hijrah menasehati ayahnya yang terbaring di ranjang rumah sakit.

"Gak usah lagi. Nanti dibilang ayah positif Covid gimana? Banyak orang sekarang takut bepergian ke luar kota, nak," ujar pak Subito dengan suara lesuh.

"Udahlah. Kalau ayahmu gak mau berobat ke Medan tidak apa-apa. Gak usah dipaksa. Nanti ayahmu berobat tradisional saja. Adanya teman ayahmu yang tukang pijat. Kalau gitu gak usahlah tanda tangan surat pernyataan rujukan ke Medan itu," ujar bu Wenia yang sedang berdiri di sebelah kanan pak Subito.

Pak Subito menahan sakitnya setelah pulang dari rumah sakit. Ia merintih kesakitan di rumahnya selama dua minggu. Bu Wenia dan Hijrah bingung harus bagaimana. Sudah banyak tukang pijat yang datang ke rumah mereka. Beberapa dari mereka juga sudah memberikan obat-obatan alami. Salah satunya adalah menyarankan untuk mencari daun jarak. Setelah itu daun jaraknya dilampok di perut. Tapi tidak juga ada hasilnya. Seluruh badan pak Subito mengalami gatal-gatal dan terkadang demam. Tiap malam ia susah tidur. Bu Wenia terus terjaga untuk mendengarkan keluhan suaminya dan sesekali memijatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun