oleh Ira Uly WijayaÂ
Sekarang usiaku tepat enam belas tahun. Ayah memberikan kamera digital lagi untukku di hari ulang tahunku. Ibuku sampai mengomel tiada henti melihat ayah yang terus-menerus memberikan aku kamera digital di setiap hari ulang tahunku. Namun ayah tak peduli dengan perkataan ibu. Aku sangat bahagia ayah memberikan aku kado yang aku suka. Ayah tahu bahwa aku sangat hobi fotografer makanya ia ingin aku terus menekuni hobiku itu.
"Adel cepat turun. Nanti sarapanmu dingin," ujar ibu berteriak.
Aku merapikan semua foto-foto yang berserak di kasurku. Kamera digitalku masih tergantung di leherku. Aku menuruni tangga dengan sigap. Tampak olehku kedua orang tuaku sedang menyantap sandwich. Sementara kedua adikku sedang meneguk susu coklat. Aku berlari mengambil bekal makananku dan meminum susu vanilaku tanpa jeda.
"Adel Adriana Sembiring," ujar ibu memanggil nama lengkapku dengan nada seriosa.
"Maaf bu. Aku udah telat," ujarku memandang ayah yang masih santai menikmati sandwich-nya.
"Baiklah nak. Kita berangkat sekarang. Ayo Auristela!" ujar ayah membawa sisa sandwichnya sambil tersenyum kepada ibu.
Aku dan Auristela mencium pipi ibu. Lalu kami berdua berjalan menyusul ayah yang sudah hampir sampai ke mobil. Ketika masuk ke dalam mobil aku melihat di seberang rumahku pemandangannya sangat indah. Aku tersenyum membayangkan diriku bisa mengambil foto pemandangan yang sangat indah itu.
"Aku akan ke sana sehabis pulang sekolah dan terakhir akan menjumpai Joshua" gumamku.
Setelah tiba di sekolah, Aku masuk ke kelasku yang terletak di depan perpustakaan. Ku letakkan tas ranselku di atas meja. Aku duduk di kursiku sambil membuka buku paketku.
"Hai Adel," ujar Ajeng berdiri dihadapanku.
"Kamu baru sampai juga?" Tanyaku seraya menatap tas micky mouse-nya yang lucu.
"Iya. Kamu suka dengan tasku?" Ini tas dari Nelson.
Aku beralih pandangan ke pria yang berjalan ke arahku. Dia tak pernah ku lihat. Baru ini aku melihat pria menatapku begitu dalam. Aku hendak tersenyum padanya. Namun langkahnya terhenti di belakang Ajeng. Ke dua tangannya menutup mata ajeng dan berkata, "Bolehkah aku berbicara pada bidadariku ini?"
Ajeng tertawa sambil menyingkirkan tangan pria itu dengan lembut. Mereka berdua bercanda dihadapanku. Aku menjadi sedikit canggung dengan suasana asmara mereka.
"Adel. Dia adalah kekasihku. Tepatnya yang memberikan tas imut ini," ujar Ajeng mengarahkan tasnya ke hadapanku.
Pria itu berkata, "Ajeng aku mau kasih lihat sesuatu padamu".
"Kejutan lagi?" Ujar Ajeng kaget.
"Kami pergi dulu ya, Adel. Gak apa-apakan aku tinggal dulu?" Ujarnya menatapku merasa bersalah.
"Baiklah," Jawabku singkat.
Tak beberapa lama setelah mereka pergi aku dihampiri oleh Joshua. Joshua berbicara padaku dengan keren. Jantungku berdegup semakin kencang ketika ia memintaku untuk tidak lupa datang ke kafe Platinum. Ia memberikan secarik kertas padaku. Mataku tak fokus membaca tulisan di kertas itu. Aku hanya meletakkan kertas itu ke dalam sela-sela buku paketku yang terletak di meja. Ia pergi dengan langkahnya yang berwibawa. Aku seperti melambung ke angkasa melihat pria yang aku kagumi ternyata memperhatikan aku juga.
***
"Udah hampir sore. Adel belum juga pulang mas. Apa dia ada pamit samamu mas?"
"Tidak. Mungkin dia bermain ke tempat temannya. Udahlah kamu gak usah khawatir bentar lagi juga pulang. Oh ya, aku baru dari rumah tetangga kita yang berada di seberang rumah kita sayang. Mawarnya sangat banyak. Kasihan tapi dia. Belum juga menikah di usianya yang makin tua."
"Kamu ada nanya tentang Adel sama pria itu? Adel kan suka mawar?"
"Oh iya, aku lupa bilang. Tadi katanya Adel sempat mampir ke tempatnya untuk memotret mawarnya. Lalu setelah itu Adel pergi katanya."
Orang tuaku menghubungi polisi untuk mencariku. Namun, mereka juga tetap tak menemukanku. Ragaku makin resah akan ketidakadilan yang ku dapat. Aku hadir dalam mimpi ayah. Ayah yang melihatku tersadar bahwa aku tak ada di sisinya lagi. Ia pun mencariku di rumah pria tua pemilik mawar.
"Aku melihat Adele di mimpiku berada di rumah ini," gumam ayah menatap pria tua itu yang sedang berjalan ke kebun jagung.
Ayah membuntutinya dengan berhati-hati. Tetapi mendadak saja pria tua itu berbelok arah ke tempat sepasang insan yang sedang di mabuk cinta. Ayah mengira pria yang bercinta itu adalah pria tua itu. Sehingga ayah pun dipukuli dan tak mendapatkan apa-apa dari pencariannya malam itu.
Beberapa waktu berlalu aku masih mengira diriku adalah manusia. Aku berlari minta tolong kepada semua orang yang berada di sekitar rumahku. Tapi tak seorang pun mendengarku. Ku buka pintu rumahku memanggil orang tua dan juga adik-adikku. Namun, aku tak melihat siapapun di sana kecuali pria tua itu. Ia berada dalam bak mandi. Menceburkan seluruh dirinya sambil tertawa padaku. Lalu mencukur janggutnya. Aku histeris melihat sekujur tubuhku penuh darah. Ternyata aku sudah dianiaya olehnya. Jasadku dimasukkan ke dalam pembuangan sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H