Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menjadi Istimewa di Kompasiana

4 Desember 2021   14:19 Diperbarui: 4 Desember 2021   14:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genap setengah tahun tak bersua. Rindu setinggi gunung mendera. Rasa tak bisa disampaikan satu per satu dengan kata. Terakhir kita tersambung saat bingkisan istimewa berupa paket merchandise darimu sampai ke alamat saya. 🥰

Dari record email, juli 2021 silam terakhir kali jari ini mengetik nama Kompasiana. Hanya ucapan terimakasih dan salam hangat. Lengkap dengan pemberitahuan bahwa hadiah kecil sudah saya terima. Selanjutnya saya gosting. Pinjam istilah milenial, tetiba menghilang saat manis-manisnya pacaran. 😅

Sejak kemarin, bertubi-tubi saja rasanya menerima surprise istimewa. Sebelumnya, saya terima gadget dengan spek sesuai keinginan. Kemudian mencoba sign in ke akun Kompasiana dan done!! 🥰

Pertama, hati siapa yang tak berbunga-bunga. Bila mantan pacar yang kini memilih jadi pendamping setia, membelikan gadget baru sepulang perjalanan luar kota. Nikmat apa lagi yang dicari ?!? 😍

Karena gadget baru, sejak pagi saya langsung sibuk ngoprek gadget lama untuk persiapan masa pensiunnya. Data-data penting dari gadget lama harus saya cadangkan dulu ke google drive. Untuk kemudian disingkronkan lagi ke gadget baru.

Sederhana, saya hanya ikuti panduan di mesin pencari. Tips-tips dan cara back up data dari handphone lama ke yang baru, banyak bertebaran. Clear, semua data terpindah. Gadget baru siap beroperasi. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk menyelesaikan sesuai tips.

Kedua, tetap saja yang pertama kali saya akses kemudian adalah sign in ke akun Kompasiana dong! Kemarin sore, perjalanan masuk ke "rumah lama" ini lancar tanpa hambatan. Saya bisa melihat foto profil lagi. Dan tulisan-tulisan lama saya. Bahagianya bukan kepalang. 

Saya selalu merasa istimewa bila berhubungan dengan nama Kompasiana. Walau tidak rajin-rajin amat menulis, pokok tetap bahagia dan istimewa menjadi bagian dari rumah besar ini. 🤭

Selama vakum menulis di Kompasiana, saya masih sering ngintip WA grup Vlomaya. Senang lihat aktifitas para sahabat member grup. Ada juga rasa iri karena melewatkan banyak even. Termasuk gawe besar Kompasianer di kompasianival November lalu.

Sebelum sign in, saya sempat khawatir juga. Takut sign in ditolak. Tidak bisa masuk karena lupa password dan lain sebagainya. Kan tidak lucu bila harus buat akun baru lagi. 

Ternyata, cukup sign in lewat google, langsung wuzz....sampai. Tidak pakai lama. Entah karena kali ini jaringannya yang bagus, atau karena gadgetnya yang baru. 😆

Semangat Baru dari Bawean


Apakabar akun yang stag ini? Sudah setengah tahun tidak ada pergerakan. Seperti mati suri. Ada pemiliknya namun tidak ada satupun tulisan eksis berbulan-bulan. Masyaallah 🤭

Bagaimana icon wajah Biru berjambul dengan kedipan mata sebelahnya yang menandai kasta menulis saya di Kompasiana. Apakah jambulnya sudah semakin lebat, keriting dan mengkribo?

Atau malah sudah berganti senyumnya menjadi merengut kecut. Berubah kepala  gundul karena kerontokan jambul akut. Selama saya tinggal begitu saja tanpa kabar berita. Lucunya andai emoticon di akun Kompasiana bisa berubah-ubah seperti itu. 😅

Tapi ya mustahil lah. Icon wajah berjambul biru itu kan hanya bisa berubah bila kompasiner aktif dan produktif menulis. Gambar kepala di akun saya itu memberi makna bahwa level menulis saya baru diakui sebagai junior, pupuk bawang. Masih harus apgret karya tulisan lagi untuk bisa berubah ke level lainnya. Itu mengikuti produktifitas dan kualitas menulis kita, tentu. 

Semua Kompasianer memiliki peluang dan  kesempatan sama. Pun bisa menikmati fasilitas yang sama. Asal mampu mengejar target dan ketentuan bakunya. Seperti para Kompasianer yang telah berhasil mencipta banyak buku. Para penerima K-award. Kompasianer penyabet banyak predikat atau pun yang telah menikmati "cuan" dari menulis di blog milik grup Kompas ini. 

Semua karena dedikasi dan produktifitas menulisnya yang tinggi. Mereka  yang rajin "beternak" ide untuk menulis. Melahirkan tulisan tanpa jeda.  Tagline "any time is deadline" sudah auto on dalam keseharian. 

Sayangnya saya masih berbeda dengan para jawara itu. Apalah saya yang moody dan tekad menulisnya sering timbul tenggelam seperti sinyal internet di Pulau Bawean. Sering terhenti seperti pelayaran dari Bawean ke Gresik daratan bila  ombak 3 meter menghadang. Oh my.... 😆

Bukan main-main untuk urusan gelombang ini. Rasanya tidak logis di era milenium ini masih ada alasan akses satu daerah terhambat karena cuaca dan gelombang. Terlebih untuk daerah yang hanya berjarak 94,7 mil atau sekitar 152 km dari Gresik. Namun kenyataannya penyeberangan Bawean-Gresik terhenti bila tinggi gelombang mencapai 3 meter.

Resmi, sejak 6 bulan lalu kami sekeluarga pindah domisili dari Tuban ke pulau Bawean. Satu-satunya wilayah pulau terluar di kabupaten Gresik. Yang akses ke daratan kota pun lumayan melelahkan. 

Harus mengarungi samudra. Butuh 4-8 jam perjalanan laut. Melintasi pertembungan ombak dari 2 lautan, laut Jawa dan laut Kalimantan. Yang ayunan gelombangnya cukup terasa ketika kondisi laut teduh. Bagi yang tidak pernah melaut, banyak yang enggan mencari gara-gara dengan urusan mabuk laut. 

Ada penerbangan perintis. Tidak sampai sejam dari Bawean ke Bandara Juanda, Surabaya. Menggunakan Susi Air, sebagai pesawat penghubung antar pulau. Armada milik Bu Susi, mantan Menteri KKP itu hanya terjadwal 2 kali seminggu. Bila kondisi cuaca buruk pun, jadwal ditiadakan.

Istimewanya, kami sekeluarga, orang tua dan anak-anak ini mulai mengakrabi alam dengan segala keunikan, kekhasan dan keterbatasannya. Antara keunikannya, rusa Bawean. Hewan endemik pulau itu sempat menjadi mascot resmi Asean games 2018 dengan nama Atung. 

Kekhasannya adalah hasil laut yang segar beragam dan melimpah di musim panen. Pulau hanya terbagi jadi dua kecamatan. Ada Kampong Gelam di salah satu wilayah. Ini mengingatkan saya pada Kampong Gelam yang di dalamnya terdapat Masjid Sultan. Tercatat sebagai masjid tertua di Singapura. Bukan kebetulan juga, banyak nenek datuk warga Gelam Bawean yang bermigrasi di Singapura.

Apa kira-kira hubungannya kampung di dua negara dengan nama sama itu. Apakah kebetulan atau ada keterkaitan historis. Masih harus melakukan investigasi lanjutan untuk menulisnya.

Salah satu keterbatasan wilayah Pulau Bawean adalah sinyal internet yang masih tak stabil di banyak tempat. Namun bulan lalu perusahaan telkom milik negara baru memperbaiki jaringannya. Semua kabel tembaga berkarat yang sudah lama tak bisa difungsikan, diganti kabel viber. 

Sekarang telepon plus internet berlangganan di rumah sudah terpasang. Jadi bisa menikmati sinyal internet stabil. Bisa ngeblog lagi. Bisa mulai belajar menulis lagi. Berkumpul dalam komunitas yang bernas dan full energy positif. Alhamdulillah!

Sungguh tidak mudah membiasakan rutin menulis. Banyak ujian dan coba untuk meniru etos menulis para suhu di Kompasiana yang tidak pernah surut dalam situasi ektrim sekali pun. Tetap semangat, BISA!!! 💪💪

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun