Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kiprah Ayah dari 3 Generasi, Mengajarkan Anak Beribadah di Bulan Ramadhan

2 Mei 2021   21:46 Diperbarui: 2 Mei 2021   21:53 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajarkan anak beribadah di bulan Ramadhan. Kesempatan berjamaah dengan keluarga malam ini. Ibu sudah sehat, tampak sholat duduk di kursi. (Foto IH)

TUBAN. Ingatkah, siapa yang berkiprah dalam mengajar kita beribadah di bulan Ramadhan?Ketika kita belajar memaknai arti puasa. Mengenal dan menjalankan ibadah selama 30 hari penuh. Saat kita mulai berani mengambil keputusan dan konsekwensi dari kesanggupan kita mengucap niat puasa setengah atau sehari penuh. Jawabnya adalah ayah. Pengakuan seragam ini datang dari kami. Ibu, anak dan cucu saat berkumpul hari ini.

Menurut ibu, sosok yang paling berkesan dalam mendampingi proses latihan beribadah Ramadhan masa kanak-kanaknya adalah bapaknya, kakek saya. Sekata dengan ibu, saya dan saudara pun menempatkan ayah sebagai sosok yang berperan penting di bulan suci. Pun demikian dengan anak-anak saya.

Lantas kenapa para ayah ini justru yang terpilih memiliki kesan dalam kiprah mengajar beribadah puasa bagi kami anak-anak dari 3 generasi berbeda ini?

Bagi saya, saat Ramadhan tiba, ayah tidak hanya sebagai coach (pelatih) saja. Namun juga sebagai penjaga sekaligus sebagai alarm pengingat waktu-waktu tertentu. Waktu buka, kami duduk semeja dengan ayah dan ibu. Membaca doa sebelum berbuka. Saat saya malas karena kekenyangan, ayah pula mengingatkan kita untuk segera ke masjid, jamaah tarawih.

Anak saya, di awal puasa ini juga selalu bersama ayahnya. Mengikuti jadwal ayahnya. Sahur dibangunkan ayah. Makan dan segelas susu, disiapkan ayah. Kemudian mandi sebelum ke masjid. Berjamaah subuh dengan ayahnya atau kadang saja ikut saya di mushollah terdekat. 

Usai sholat subuh, bermain sebentar di sekitar rumah. Kemudian pulang dan tidur sejenak hingga pukul 8. Dzuhur ikut ayahnya ke masjid lagi. Ayah, ayah, ayah. Hanya tarawih saja mereka sholat di langgar pilihannya sendiri. Karena banyak teman sekolah, mengaji dan sebayanya di langgar itu.

Sedang menurut ibu, karakter kakek demikian kuat. Mengajarkan syariat agama. Saat puasa tiba, ibu dan adik-adiknya dilatih menjalankan ibadah sejak kanak-kanak. Selain mengaji, bersembahyang jamaah 5 waktu dan tarawih di langgar. Mengucap niat puasa, bangun dan makan sahur, menjalankan puasa hingga ke waktu buka.

Kakek banyak menghabiskan masa pensiunnya dengan mengajar ngaji dan menjadi imam langgar kecil. Di sebuah lingkungan tempat tinggal orang-orang asli Pulau Bawean yang merantau di daerah pelosok Tuban.

Kakek orang yang berwibawa dan kharismatik. Tidak banyak bicara. Namun sekali menegur, anak-anak satu kampung yang sedang membuat kekacauan, bisa langsung terdiam. Kakek mengajar ngaji dan menjadi imam di langgar. Jangankan murid-murid mengajinya di langgar, anak-anaknya sendiri sangat menyegani.

Karena keseganan ini, selama ramadhan ibu memilih diam dan tidur saja bila terasa sangat lapar. Sebab ia adalah anak sulung yang harus memberi contoh baik pada adik-adiknya. Biasanya rasa teramat lapar datang di detik-detik terakhir setelah sholat ashar. Mendekati buka puasa.

Pingsan

Malam lalu (19 Ramadhan 1442) ibu pingsan tiba-tiba saat tarawih. Karena kejadian ini maka hingga hari ini kami anak-anak dan cucu-cucu ibu berkumpul di "rumah lama". Berjarak 45 Km dari tempat tinggal kami. Saudara-saudara saya yang lain tinggal tak jauh dari rumah ibu.

Menurut adik bungsu kami yang dokter, ibu yang tidak sadarkan diri tiba-tiba itu disebabkan kelelahan. Juga dipengaruhi kondisi emosionalnya. Hari ini, ketika kami berkumpul, kondisinya berangsur pulih seperti sedia kala. 

Bahkan sudah bercanda bersama kami. Mengulas kenangan saat latihan beribadah bulan Ramadhan di masa kecilnya. Berbahagia bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Kami pun turut bernostalgia, mengingat-ingat bagaimana saat awal kami puasa. Menahan lapar menjelang tengah hari. Beragam cara yang dilakukan. 

Kami tiga generasi yang berkumpul hari ini, memiliki kesamaan satu sama lain. Mulai berlatih puasa penuh di usia 7 tahun. Bahkan ada yang sudah memulainya saat 6 tahun. Namun masing-masing berbeda cara menahan laparnya. Ibu memilih diam dan tidur. Tante, adik ibu melalui hari dengan menangis sepanjang sore. Biasanya nenek luluh. Kemudian menawarkan supaya tante membatalkan puasa. Namun ia memilih menangis saja. Mau batal, takut sama kakek. 

Salah satu adik saya memilih untuk terus membuntuti ibu saat sibuk memasak. Ketika perutnya nyaris menyerah diserang rasa lapar, ia terus memegangi ujung baju ibu. Kemana pun ibu melangkah. Ada juga yang setiap saat bertanya jam. Dari lepas adzan ashar hingga menjelang bedug maghrib. Saya agak bandel, memilih menghabiskan waktu bermain ke laut. Pulangnya justru dilanda dahaga. Pernah juga lari ke dapur dan minum beberapa teguk air, kemudian lanjut puasa lagi.

Ternyata ibu dan ayah mengetahui ini. Tingkah masing-masing anaknya mereka catat dalam ingat. Namun memilih diam dan baru menceritakannya hari ini. Justru itulah yang. Membuat kami tertawa bersama.

Anak saya lain lagi. Si 5 dan 8 tahun sejak awal puasa memiliki kebiasaan di dalam kamar mandi. Berendam masing-masing di dalam bak besar. Biasanya usai turun shalat dzuhur bersama ayahnya di langgar. Bisa sejaman ia berendam sambil bermain. Sepuasanya. 

Setelah berendam dia akan tidur sampai sore, sebelum jadwal ngabuburit tiba. Selalu begitu aktifitas puasa dua anak ini dari minggu pertama hingga hari ini. Ternyata ide berendam saat merasa lapar siang hari ini datangnya dari ayah mereka. Mungkin maksudnya supaya terasa segar di luar. Entahlah!

Anak-anak adalah duplikat paling hebat. Dia pandai meniru apa saja yang ada di sekitarnya. Terutama terkait hal-hal yang dilakukan orang dekatnya. Terutama kedua orang tua. Seyogyanya mengenalkan hal-hal baik seperti mengajarkan beribada selama bulan ramadhan ini.

Tak salah, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu dewasa, bagai mengukir di atas air. Bukankah membentuk tumbuhan kecil menjadi bonsai itu lebih mudah ketimbang membentuk bambu yang sudah tumbuh rimbun dan tua usianya.

Salam Ramadhan 1442 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun