Pingsan
Malam lalu (19 Ramadhan 1442) ibu pingsan tiba-tiba saat tarawih. Karena kejadian ini maka hingga hari ini kami anak-anak dan cucu-cucu ibu berkumpul di "rumah lama". Berjarak 45 Km dari tempat tinggal kami. Saudara-saudara saya yang lain tinggal tak jauh dari rumah ibu.
Menurut adik bungsu kami yang dokter, ibu yang tidak sadarkan diri tiba-tiba itu disebabkan kelelahan. Juga dipengaruhi kondisi emosionalnya. Hari ini, ketika kami berkumpul, kondisinya berangsur pulih seperti sedia kala.
Bahkan sudah bercanda bersama kami. Mengulas kenangan saat latihan beribadah bulan Ramadhan di masa kecilnya. Berbahagia bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Kami pun turut bernostalgia, mengingat-ingat bagaimana saat awal kami puasa. Menahan lapar menjelang tengah hari. Beragam cara yang dilakukan.
Kami tiga generasi yang berkumpul hari ini, memiliki kesamaan satu sama lain. Mulai berlatih puasa penuh di usia 7 tahun. Bahkan ada yang sudah memulainya saat 6 tahun. Namun masing-masing berbeda cara menahan laparnya. Ibu memilih diam dan tidur. Tante, adik ibu melalui hari dengan menangis sepanjang sore. Biasanya nenek luluh. Kemudian menawarkan supaya tante membatalkan puasa. Namun ia memilih menangis saja. Mau batal, takut sama kakek.
Salah satu adik saya memilih untuk terus membuntuti ibu saat sibuk memasak. Ketika perutnya nyaris menyerah diserang rasa lapar, ia terus memegangi ujung baju ibu. Kemana pun ibu melangkah. Ada juga yang setiap saat bertanya jam. Dari lepas adzan ashar hingga menjelang bedug maghrib. Saya agak bandel, memilih menghabiskan waktu bermain ke laut. Pulangnya justru dilanda dahaga. Pernah juga lari ke dapur dan minum beberapa teguk air, kemudian lanjut puasa lagi.
Ternyata ibu dan ayah mengetahui ini. Tingkah masing-masing anaknya mereka catat dalam ingat. Namun memilih diam dan baru menceritakannya hari ini. Justru itulah yang. Membuat kami tertawa bersama.
Anak saya lain lagi. Si 5 dan 8 tahun sejak awal puasa memiliki kebiasaan di dalam kamar mandi. Berendam masing-masing di dalam bak besar. Biasanya usai turun shalat dzuhur bersama ayahnya di langgar. Bisa sejaman ia berendam sambil bermain. Sepuasanya.
Setelah berendam dia akan tidur sampai sore, sebelum jadwal ngabuburit tiba. Selalu begitu aktifitas puasa dua anak ini dari minggu pertama hingga hari ini. Ternyata ide berendam saat merasa lapar siang hari ini datangnya dari ayah mereka. Mungkin maksudnya supaya terasa segar di luar. Entahlah!
Anak-anak adalah duplikat paling hebat. Dia pandai meniru apa saja yang ada di sekitarnya. Terutama terkait hal-hal yang dilakukan orang dekatnya. Terutama kedua orang tua. Seyogyanya mengenalkan hal-hal baik seperti mengajarkan beribada selama bulan ramadhan ini.
Tak salah, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Belajar di waktu dewasa, bagai mengukir di atas air. Bukankah membentuk tumbuhan kecil menjadi bonsai itu lebih mudah ketimbang membentuk bambu yang sudah tumbuh rimbun dan tua usianya.