Â
Tidak ada lampu untuk penerang ruangan. Cahaya hatinyalah yang tetap meneranginya untuk mendapatkan sebuah cahaya yang lebih terang lagi, bukan hanya untuk menerangi ruangan itu, tapi juga untuk menerangi kehidupannya. Ya, itulah 'ilmu' cahaya dari segala cahaya yang memberikan petunjuk untuk kehidupan.
Foto di atas saya ambil dari salah satu Sekolah Dasar yang berada di Kabupaten Lebak, Banten. Di sana hanya terdapat 3 ruangan untuk 6 kelas dengan waktu belajar yang bersamaan.Â
Saya sangat terkejut karena sebelum saya datang ke sekolah ini, saya pikir sekolah itu idealnya satu ruangan untuk satu kelas.
Tapi realita di sini tidak se-idealis apa yang saya pikirkan tentang sekolah. Ruang kelas adalah ruangan yang sangat dibutuhkan oleh siswa namun karena keterbatasan itu siswa rela berbagi ruangan itu.Â
Pembagian tiga ruangan itu yaitu (kelas 1 satu ruangan dengan kelas 2 kelas 3 satu ruangan dengan kelas 4 kelas 5 satu ruangan dengan kelas 6).Â
Tidak seperti sekolah yang selama ini kita nikmati pembatas kelas itu hanya menggunakan bilik.
Ya, bilik adalah anyaman dari bambu yang berbentuk persegi. Terkadang suara dari ruang sebelah sangat terdengar nyaring dengan bebas masuk lewat rongga bilik-bilik itu.Â
Bilik bambu yang tidak sekokoh dinding yang selalu kita liha tapi, bisa mengokohkan hati mereka untuk tetap bersemangat menuntut ilmu.
Mereka sangat menghargai dan mencintai kelasnya, sepatu tetap dibuka meskipun mereka tahu bahwa lantai kelasnya telah hancur dan melebur dengan tanah, namun sekali lagi itu tidak meleburkan niat mereka untuk masuk kedalam ruang penuh hikmah.Â
Saat sedang hujan, atap kelas yang sudah lapuk pun bocor, hati saya terenyuh menyaksikan pemandangan itu mereka yang terkena air hujan langsung berpindah tempat tanpa mengeluh sedikitpun.
Belum lagi jendela yang rusak dan bolong juga ikut membuat air masuk ke dalam kelas. Mereka yang duduk di dekat jendela pun berkata "ibu buku aku basah" saya langsung menyuruhnya berpindah tempat.Â
Mendung yang disusul hujan pun menyertakan kegelapan, di kelas tidak ada lampu untuk penerang ruangan.
Cahaya hatinyalah yang tetap meneranginya untuk mendapatkan sebuah cahaya yang lebih terang lagi, bukan hanya untuk menerangi ruangan itu, tapi juga untuk menerangi kehidupannya.Â
Ya, itulah 'ilmu' cahaya dari segala cahaya yang memberikan petunjuk untuk kehidupan.
Di sana tidak ada sanitasi. Jika mereka ingin buang air kecil mereka harus pergi ke sungai, sungguh kondisi yang membuatku khawatir.
Di sana hanya ada 3 guru yang MasyaAllah luar biasa sekali. Guru-guru yang masih honorer. Saya masih melihat jiwa ikhlas dalam diri mereka bener-benar pahlawan tanpa tanda jasa yang masih bisa saya lihat hingga saat ini.
Bahkan diantara 3 guru itu ada satu guru yang sangat muda sebaya denganku, umurnya 19 tahun yang sudah mengabdi untuk pendidikan di daerahnya.
Ibu Nia namanya, beliau masih kuliah, sama denganku masih semester 2. Aku malu belum bisa memberikan kebermanfaatan seperti yang Bu Nia lakukan.
Namun aku yakin, aku, kamu, dan kita semua pasti juga bisa asalkan selalu ada pada 2 tempat, di tempat itu kita memperoleh manfaat atau di tempat itu kita memberikan manfaat.
Kembali lagi pada ruang kelas, di sana tidak ada lemari untuk menyimpan buku, tidak ada alat peraga pembelajaran, tidak ada perpustakaan apalagi laboratorium.Â
Dengan kondisi yang terbatas tidak membatasi mereka untuk meraih cita-cita. Saat ku tanya cita-cita mereka, ada yang menjawab ingin menjadi guru, dokter hewan, ustadzah, relawan, polisi dan masih banyak yang lainnya.Â
Mereka adalah generasi emas, aku yakin jika mereka lebih di fasilitasi mereka akan menjadi emas yang muncul ke permukaan, mereka sangat berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H