Belum lagi jendela yang rusak dan bolong juga ikut membuat air masuk ke dalam kelas. Mereka yang duduk di dekat jendela pun berkata "ibu buku aku basah" saya langsung menyuruhnya berpindah tempat.Â
Mendung yang disusul hujan pun menyertakan kegelapan, di kelas tidak ada lampu untuk penerang ruangan.
Cahaya hatinyalah yang tetap meneranginya untuk mendapatkan sebuah cahaya yang lebih terang lagi, bukan hanya untuk menerangi ruangan itu, tapi juga untuk menerangi kehidupannya.Â
Ya, itulah 'ilmu' cahaya dari segala cahaya yang memberikan petunjuk untuk kehidupan.
Di sana tidak ada sanitasi. Jika mereka ingin buang air kecil mereka harus pergi ke sungai, sungguh kondisi yang membuatku khawatir.
Di sana hanya ada 3 guru yang MasyaAllah luar biasa sekali. Guru-guru yang masih honorer. Saya masih melihat jiwa ikhlas dalam diri mereka bener-benar pahlawan tanpa tanda jasa yang masih bisa saya lihat hingga saat ini.
Bahkan diantara 3 guru itu ada satu guru yang sangat muda sebaya denganku, umurnya 19 tahun yang sudah mengabdi untuk pendidikan di daerahnya.
Ibu Nia namanya, beliau masih kuliah, sama denganku masih semester 2. Aku malu belum bisa memberikan kebermanfaatan seperti yang Bu Nia lakukan.
Namun aku yakin, aku, kamu, dan kita semua pasti juga bisa asalkan selalu ada pada 2 tempat, di tempat itu kita memperoleh manfaat atau di tempat itu kita memberikan manfaat.
Kembali lagi pada ruang kelas, di sana tidak ada lemari untuk menyimpan buku, tidak ada alat peraga pembelajaran, tidak ada perpustakaan apalagi laboratorium.Â
Dengan kondisi yang terbatas tidak membatasi mereka untuk meraih cita-cita. Saat ku tanya cita-cita mereka, ada yang menjawab ingin menjadi guru, dokter hewan, ustadzah, relawan, polisi dan masih banyak yang lainnya.Â