Mohon tunggu...
Ira Ardila
Ira Ardila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Artikel ini saya buat untuk berbagi pengalaman, ilmu pengetahuan, dan menuangkan rasa dalam kata. ingin menggunakan tinta yang sudah Allah sediakan untuk menulis ilmu pengetahuan yang tidak ada habis-habisnya. Saya bukan pengingat yang baik, maka setiap kata yang ditulis adalah alarm terbaik untuk saya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Datang Disambut dengan Hangat Pergi Dipeluk dengan Erat

4 September 2021   14:33 Diperbarui: 4 September 2021   16:33 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Datang Disambut Dengan Hangat

Pergi Dipeluk Dengan Erat

Oleh Ira Ardila

 

Sebuah perjalanan dalam hidupku yang ingin ku bagikan dengan kalian. Perjalanan indah karena Yang Maha Baik mempertemukanku dengan orang-orang baik. Kali ini aku ingin menceritakan betapa hangatnya sikap warga di Kampung Pamatang Laja, Desa Kutakarang.

Di sore hari tanggal 23 Juli 2021 aku memulai perjalananku dari Jakarta menuju suatu tempat yang tak pernah ku kunjungi sebelumnya. Seperti jalan kehidupan, jalan menuju kesana tidak selalu mulus, perjalanan jauh, berliku, menanjak, menurun, cuaca panas dan dingin aku rasakan bersamaan dengan kaki yang semakin jauh melangkah dan hati yang semakin mantap untuk menetap namun aku harus singgah dibeberapa tempat dulu sebelum akhirnya sampai pada tempat tujuanku lalu melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya aku sampai di sebuah kampung yang bernama Kampung Pamatang Laja, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, tempat yang indah alamnya juga penghuninya. 

Sampailah aku pada sebuah rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu, rasa lelah berubah menjadi bahagia melihat senyum hangat, sapaan ramah, dan genggaman nyaman yang diberikan oleh warga Pamatang Laja saat pertama kali aku datang. 

Mereka mengungkapkan bahwa mereka sangat bahagia karena kedatangan kami, aku datang bersama dua rekanku, kami datang untuk mengabdi mengajari sedikit ilmu yang kami punya kepada anak-anak di sana.

Meskipun Pamatang Laja adalah tempat pedalaman, namun bagi ku dalam bukan berarti gelap karena tempat akan terang jika kita berusaha mencari penerang dan ilmu adalah penerang dengan segala cahayanya dari berbagai penjuru. Dalam bukan bukan berarti dingin karena di sana aku merasakan kehangatan. Dalam bukan berarti penuh tekanan karena di sana aku merasakan ketenangan.

Masih terngiang jelas ibu dari salah satu murid berkata memakai bahasa Sunda namun jika diterjemahkan beginilah kurang lebih "kami sangat bahagia kedatangan ibu dan bapak guru, sudah satu tahun ini anak saya tidak belajar di sekolah karena pandemi anak saya belum bisa baca dan tulis tolong ajari anak saya baca dan nulis ya bu biar jadi anak yang cerdas dan sukses nggak kaya saya ini". 

Dari ungkapan pertamanya saja bisa disimpulkan bahwa warga disini sangat peduli dengan pendidikan. Karena aku mengajar di sana, aku biasa dipanggil ibu Ira oleh anak-anak dan warga di sana. 

Dari awal datang kekeluargaan itu sudah mulai terbentuk, aku merasa dilindungi, disayangi, dan hebatnya aku dibuat nyaman oleh warga di sana.

Baru beberapa hari disana, saat kami mengajari anak-anak membaca Al Qur'an ada warga yang mengatakan "Bu, jangan lupakan yang di sini ya, kalo ibu udah nggak di sini lagi". MasyaAllah aku terharu mendengarnya dan rasanya ingin tinggal lama di sana.

Selama di sana kami tinggal di rumah panggung milik Ibu Siti dan anaknya, Teh Fiha, yang sangat nyaman dan penuh kehangatan. Kami sangat akrab sekali, ibu Siti sudah ku anggap seperti ibu sendiri dan Teh Fiha sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. 

Ibu Siti sudah tua umurnya sekitar 60 tahun, kulitnya sudah berkeriput namun ototnya seperti otot besi dan tulang baja, ibu Siti masih sangat kuat untuk mengangkut air dari sumur yang letaknya jauh dari rumah sekitar 300 meter dengan kondisi jalan menanjak dan menurun untuk bisa membawa air sampai kerumah untuk kebutuhan minum, masak, dan lain-lain.

Disana sulit mendapatkan air selain mengambil ke sumur yang letaknya jauh itu, warga di sana pernah beberapa kali menggali tanah bahkan ngebor tanah tetap saja tidak ada airnya. 

Setiap hari ibu Siti melakukan itu, punggungnya terlalu kuat untuk mengangkut air bahkan membawa gabah/padi dari huma yang letaknya sangat jauh dari rumah. 

Ibu Siti selalu semangat dan tidak pernah mengeluh. Karena kami berada di sana, kami juga melakukan hal yang sama mengangkut air untuk keperuan sehari-hari. Jika ingin mencuci baju atau mandi kami harus pergi ke sumur di tengah hutan tersebut, karena hanya di situlah mata airnya.

Aku sangat menikmati mencuci sambil bersenda gurau di bawah pohon pohon tinggi yang mengitari kami. Lalu membawa cucian yang sudah bersih itu, rasanya berat sekali apalagi harus menaiki jalan yang menanjak dan sandal yang licin. 

Untuk mencapai tujuan terkadang ada proses dengan beban dan tanggungjawab berat yang harus di pikul di saat bersamaan pun harus melewati jalan yang menanjak dan berbatu untuk itu harus hati-hati karena sandal yang licin akan membuatmu terjatuh

Banyak sekali proses yang aku lalui di sana bersama rekan ku dan warga di Kampung Pamatang Laja. Bercerita, bersenda gurau, berbagi pengalaman, dan banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan dari warga Pamatang Laja. 

Pamatang Laja adalah kampung yang hijau karena masih banyak hutan-hutan di sekitarnya. Angin pantai terasa sampai ke Pamatang Laja karena jarak pantai ke kampung ini sekitar satu jam dengan berjalan kaki. 

Kami dan warga di sana sering ke pantai berjalan kaki sambil bercerita di sepanjang jalan, lalu kami ngaliwet atau masak-masak di pinggir pantai lalu makan bersama sambil menikmati indahnya pemandangan pantai.

Sering kali warga membawakan kami makanan dan sayuran dari hasil kebunnya. Letak kampung yang dalam, jauh, dan sulit untuk di jangkau, membuat tak ada pedagang sayur satu pun berdagang ke sana. Di sana belum pernah di bangun jalan, jalan di sana masih jalan setapak yang jika hujan amblas lah kaki yang melewatinya bahkan warga sampai menitikan air maa jika melewati jalan tersebut saking beratnya untuk di lalui. 

Di sana jauh ke pasar dan warga memanfa'atkan tanaman di sekitar lingkungan untuk kebutuhan makan shari-hari. Di tengah kesibukan kami mengajar anak-anak, kami selalu menyempatkan waktu bersama warga. Sehingga kebersamaan kami terjalin dengan erat.

Singkat cerita sudah dua minggu kami mengabdi dan kami mempersiapkan anak-anak untuk pentas seni di penghujung pengabdian. Suatu ketika kami dan anak-anak sedang asyik latihan nari, warga khususnya bapak-bapak datang ke sekolah dengan membawa bambu dan berbagai peralatannya. 

Langsung saja bapak-bapak di sana membuatkan panggung untuk anak-anaknya tampil pada dua hari yang akan datang, aku sangat terheran-heran dengan kedatangan warga karena sebelumnya kami tidak mengatakan apa-apa karena kami khawatir warga sedang sibuk dengan pekerjaan mencari nafkahnya. 

Namun warga di sana sangat inisiatif melihat anak-anaknya latihan pentas seni (nari, pidato, puisi, pantun) yang akan dipersembahkan untuk kedua orang tuanya dan tanpa disangka orang tuanya memberikan tempat terbaik untuk anak-anaknya. MasyaAllah sunguh luar biasa, aku sangat terharu dan bahagia dengan kekompakkan warga di sana.

"Ketika kamu ingin mempersembahkan yang terbaik untuk orang tuamu mereka akan lebih dahulu menyiapkan tempat terbaik untukmu"

MasyaAllah sungguh luar biasa sekali kebaikan warga di sana mereka sangat mendukung pendidikan dan mendukung anak-anaknya untuk berkembang dan hal itu adalah pelajaran yang sangat berharga untukku. Hingga tibalah hari penampilan pentas seni sekaligus hari perpisahan kami dengan anak-anak dan warga di sana, warga dari beberapa kampung di desa Kutakarang berdatangan, sebelumnya aku tidak membayangkan akan banyak sekali warga yang datang bahkan sekolah yang biasanya sepi dan kampung yang tidak seramai itu, namun hari itu seperti pasar, banyak sekali warga yang berdagang suasana sangat ceria dan benar-benar bahagia, di sana aku merasakan dua kehangatan, kehangatan dari Sang Mentari yang menghangatkan bumi dan kehangatan dari orang-orang baik yang terpancar dari garis lengkung yang semakin lebar tersenyum, mata yang semakin dalam menatap, tangan yang semakin erat menggenggam dan hati yang semamkin erat terpaut. Seakan tidak ingin kebersamaan ini cepat berlalu. Namun perpisahan sudah ada di depan mata.

"Di sana aku merasakan dua kehangatan, kehangatan dari Sang Mentari yang menghangatkan bumi dan kehangatan dari orang-orang baik yang terpancar dari garis lengkung yang semakin lebar tersenyum, mata yang semakin dalam menatap, tangan yang semakin erat menggenggam dan hati yang semamkin erat terpaut."

Pentas seni pun dimulai, anak-anak menampilkan dengan penampilan terbaiknya dan sesuai tradisi di sana anak-anak pun disawer oleh orang tuanya yang menggambarkan bahwa orang tua bangga pada anak-anaknya sudah berani tampil diatas panggung dan mempersembahkannya untuk mereka. Pensi berlangsung dari pagi hingga sore hari dan tibalah waktu perpisahan. Paduan suara atau padus dari anak-anak yang akan menyanyikan lagu-lagu perpisahan pun naik ke atas panggung tak terasa aku menangis mendengar alunan lagu perpisahan, benar-benar menyayat hati memisahkan kami yang sudah satu bulan bersama, benar-benar sudah saling nyaman satu per satu ibu-ibu naik ke atas panggung memelukku, pelukan yang sangat erat aku menangis tersedu-sedu merasakan pelukan hangat untuk terakhir kalinya dari orang-orang baik yang aku syukuri kehadirannya ada di muka bumi ini. Mereka pun yang memelukku menangis sama-sama merasakan sesaknya hati seakan tidak ingin perpisahan ini terjadi, mereka sambil mengucapkan kata-kata terimakasih karena sudah mengajari anak-anaknya, namun aku hanya mengajari sedikit tapi mereka mengajariku banyak hal. Niat hati ingin mengajar namun di sinilah aku banyak belajar.

Pensi pun selesai, keesokan harinya anak-anak dan warga mengajak kami ke pantai untuk yang terakhir kalinya kami pun mencari rumput laut sambil bersenda gurau, di sana menikmati indahnya pantai yang telah Tuhan ciptakan, bermain, berenang, dan makan bersama.

Malam harinya sebelum kepulangan kami, mereka berdatangan ke rumah dan membawa banyak makanan, mereka mengatakan bahwa makanan itu untuk kami bawa pulang, MasyaAllah mereka selalu berbagi di tengah kesederhanaan dan hal itu yang membuatku terkagum-kagum mereka punya jiwa sosial yang sangat tinggi. Malam itu kami bercerita meneritakan perkembangan anak-anak dalam belajar. Mereka mengungkapkan bahwa anak-anak lebih semangat dan rajin sekolahnya semenjak ada kami. Malam itu cuacanya terasa dingin sedingin hati yang akan meninggalkan kampung itu, tak bisa di bohongi saat bercerita dengan mereka, mata kami berkaca-kaca kami sangat menyayangkan perpisahan ini namun kita harus sadar bahwa Allah sudah menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Semoga perpisahan ini akan mempertemukan kita kembali atas kehendak-Nya. Terimakasih Kampung Pamatang Laja, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang-Banten.

"Desa Kutakarang memang tempat pedalaman sedalam mereka memberikanku rasa nyaman, Kutakarang memberikanku ketenangan setenang air laut ditiup gelombang, Kutakarang memberikanku semangat seperti semangatnya ombak yang tidak putus asa mengejar karang, Kutakarang mengajarkanku kekuatan sekuat karang yang diterjang ombak, Kutakarang memberikanku pelajaran bahwa tempat indah hanya untuk orang-orang yang dipenuhi keindahan, Kutakarang adalah mentari yang menyinari dinginnya air laut, Kutakarang adalah alam yang indah seindah kenangan pernah ku buat bersama mereka dan Kutakarang adalah tempat yang sejauh mata memandang adalah keindahan dan sejauh raga berjarak adalah kerinduan terimaksih Kutakarang tempat candu yang selalu membuat rindu. Terimakasih sudah disambut dengan hangat dan ketika kami pergi di peluk dengan erat"

Dan terimakasih Sobat Mengajar Indonesia

Sobat Mengajar Indonesia: Kami Peduli Kami Mengabdi.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun