Mohon tunggu...
Ira Ardila
Ira Ardila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Artikel ini saya buat untuk berbagi pengalaman, ilmu pengetahuan, dan menuangkan rasa dalam kata. ingin menggunakan tinta yang sudah Allah sediakan untuk menulis ilmu pengetahuan yang tidak ada habis-habisnya. Saya bukan pengingat yang baik, maka setiap kata yang ditulis adalah alarm terbaik untuk saya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Datang Disambut dengan Hangat Pergi Dipeluk dengan Erat

4 September 2021   14:33 Diperbarui: 4 September 2021   16:33 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Dari ungkapan pertamanya saja bisa disimpulkan bahwa warga disini sangat peduli dengan pendidikan. Karena aku mengajar di sana, aku biasa dipanggil ibu Ira oleh anak-anak dan warga di sana. 

Dari awal datang kekeluargaan itu sudah mulai terbentuk, aku merasa dilindungi, disayangi, dan hebatnya aku dibuat nyaman oleh warga di sana.

Baru beberapa hari disana, saat kami mengajari anak-anak membaca Al Qur'an ada warga yang mengatakan "Bu, jangan lupakan yang di sini ya, kalo ibu udah nggak di sini lagi". MasyaAllah aku terharu mendengarnya dan rasanya ingin tinggal lama di sana.

Selama di sana kami tinggal di rumah panggung milik Ibu Siti dan anaknya, Teh Fiha, yang sangat nyaman dan penuh kehangatan. Kami sangat akrab sekali, ibu Siti sudah ku anggap seperti ibu sendiri dan Teh Fiha sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. 

Ibu Siti sudah tua umurnya sekitar 60 tahun, kulitnya sudah berkeriput namun ototnya seperti otot besi dan tulang baja, ibu Siti masih sangat kuat untuk mengangkut air dari sumur yang letaknya jauh dari rumah sekitar 300 meter dengan kondisi jalan menanjak dan menurun untuk bisa membawa air sampai kerumah untuk kebutuhan minum, masak, dan lain-lain.

Disana sulit mendapatkan air selain mengambil ke sumur yang letaknya jauh itu, warga di sana pernah beberapa kali menggali tanah bahkan ngebor tanah tetap saja tidak ada airnya. 

Setiap hari ibu Siti melakukan itu, punggungnya terlalu kuat untuk mengangkut air bahkan membawa gabah/padi dari huma yang letaknya sangat jauh dari rumah. 

Ibu Siti selalu semangat dan tidak pernah mengeluh. Karena kami berada di sana, kami juga melakukan hal yang sama mengangkut air untuk keperuan sehari-hari. Jika ingin mencuci baju atau mandi kami harus pergi ke sumur di tengah hutan tersebut, karena hanya di situlah mata airnya.

Aku sangat menikmati mencuci sambil bersenda gurau di bawah pohon pohon tinggi yang mengitari kami. Lalu membawa cucian yang sudah bersih itu, rasanya berat sekali apalagi harus menaiki jalan yang menanjak dan sandal yang licin. 

Untuk mencapai tujuan terkadang ada proses dengan beban dan tanggungjawab berat yang harus di pikul di saat bersamaan pun harus melewati jalan yang menanjak dan berbatu untuk itu harus hati-hati karena sandal yang licin akan membuatmu terjatuh

Banyak sekali proses yang aku lalui di sana bersama rekan ku dan warga di Kampung Pamatang Laja. Bercerita, bersenda gurau, berbagi pengalaman, dan banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan dari warga Pamatang Laja. 

Pamatang Laja adalah kampung yang hijau karena masih banyak hutan-hutan di sekitarnya. Angin pantai terasa sampai ke Pamatang Laja karena jarak pantai ke kampung ini sekitar satu jam dengan berjalan kaki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun