Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

[WPC-29] Gion Corner Show: Pertunjukan Teater yang Mengandalkan Gestur

13 Desember 2012   22:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:42 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1355438587160343741
1355438587160343741
KYOGEN CLASSICALCOMMEDY yang mirip Ludruk Suroboyoan mengandalkan pelakon yang kocak

13554386691670948342
13554386691670948342
Urutan adegan dalam Kyogen

13554387161654812276
13554387161654812276
Meski ditujukan untuk membuat penonton tertawa pertunjukan Kyogen tetap membawa pesan moral

Pertunjukan dimulai dengan tea ceremony lalu disusul flower arrangement. Saya selalu rancu bahasa Jepangnya antara upacara minum teh untuk menjamu tamu dan seni merangkai bunga, sebab keduanya memiliki istilah yang mirip : kadou dan sadou. Keduanya kerap tertukar di benak saya. Kebetulan sebulan sebelumnya saya pernah berkunjung ke kuil khusus dimana para sensei kadou dan sensei sadou mengajarkan dan menurunkan adat ini pada anak muda Jepang yang mau mempelajarinya. Kelezatan teh hijaunya yang terbuat dari bubuk teh, masih membekas di lidah saya.

Malam itu, di Gion Corner sepasang penonton pasutri bule diminta duduk tepat didepan panggung dan berperan sebagai tamu. Lalu keluarlah wanita Jepang paruh baya berkimono memperagakan tata cara menyajikan teh,yang tidak sederhana, tapi sesuai dengan kelezatan rasanya. Tentu saja upacara penyajian ini tak lepas dari gerakan-gerakan tubuh penuh penghormatan sejak awal hendak meracik teh sampai akhirnya teh siap disajikan. Saya tampilkan foto-fotonya, semoga bisa memberikan gambaran.

Seni merangkai bunga di iringi dengan permainan Koto zhiter oleh 2 wanita berkimono, membuat suasana makin syahdu dan sakral. Pertama kali 2 wanita yang akan merangkai bunga membungkuk dalam-dalam ke hadapan penonton, lalu salah satunya, sang asisten, menyiapkan bunga. Menyusul wanita perangkai bunga maju, tentu saja setelah kembali membungkuk memberi penghormatan. Setelah selesai, si wanita menatap rangkaian bunganya dan kembali memberi penghormatan, lalu mundur dan digantikan asistennya mengambil rangakain yang sudah jadi dan membawanya.

13554388271800397271
13554388271800397271
GAGAKU COURT MUSIC adalah musik tradisional yang dimainkan di istana kekaisaran atau di kuil

135543889238897155
135543889238897155
MAIGAKU DANCE yang dipentaskan bersama musik Gagaku dibawakan penari tunggal yang mengenakan topeng

Sedangkan permainan Koto sendiri adalah alat musik tradisional Jepang kuno serupa kecapi dengan enam senar yang dimainkan dengan plectrums gading dikenakan pada jari. Harmoni yang dihasilkan cukup menghanyutkan.

Usai itu, panggung berganti dengan pertunjukan komedi klasik yang disebut Kyogen. Saya mengibaratkannya seperti seni Ludruk kalau di Surabaya. Pemainnya hanya terdiri dari 3 orang. Ini makin mengingatkan saya pada trio Wonokairun atau Cak Kartolo cs. Meski miskin dialog, tapi kekuatan bahasa tubuh dan mimik wajah kocak 2 pelakonnya cukup mampu membuat penonton terbahak-bahak. Kami yang saat itu baru 2 bulan di Jepang dan baru bisa sedikit sekali bahasa Jepang, menerka-nerka jalan cerita dengan mencermati polah tingkah pemerannya.

Pertunjukan komedi berakhir, disusul Gagaku. Saya melihat beberapa alat mirip peralatan gamelan Jawa, serupa gong dan kendang. Gagaku adalah musik adat Jepang yang dimainkan di istana kekaisaran atau kuil. Di Gion Corner pertunjukan musik Gagaku ini disertai tarian Maigaku yang menurut saya mirip tari topeng.

13554390162028614984
13554390162028614984
KYOMAI DANCE yang dibawakan dengan lembut oleh MAIKO san

13554391031941181410
13554391031941181410
Aneka gerakan Maiko san

13554391531911556363
13554391531911556363

Pertunjukan ke-6 adalah Kyomai dance yang dibawakan oleh seorang gadis Jepang. Tarian ini berasal di Kyoto, kyo-mai adalah dansa yang elegan dan mempesona dimana penampilnya adalah seorang Maiko yang menggunakan  gaun (kimono) indah. Tarian ini menggambarkan kehalusan dan kelemahlembutan gerak-gerik seorang Maiko.

Yang terakhir adalah pertunjukan boneka Bunraku. Bunraku adalah teater boneka tradisional Jepang, yang oleh UNESCO dimasukkan dalam daftar Karya Agung Warisan Budaya pada tahun 2003. Meski dimainkan oleh boneka, namun gerak-gerik boneka itu cukup menggambarkan alur cerita. Saya sedikit lupa persisnya cerita itu. Kalau tak salah tentang seorang gadis cantik yang kesepian karena terpisah dari kekasihnya. Lalu datanglah utusan kekasihnya membawa surat cinta yang mencoba membawa lari gadis itu.

13554392171831006426
13554392171831006426
BUNRAKU PUPPET THEATRE adalah seni panggung cerita boneka yang sudah didaftarkan sebagai warisan budaya Jepang di UNESCO

1355439279470357582
1355439279470357582
Meski hanya boneka namun gerakannya sangat ekspresif memperlihatkan suasana hati pelakon yang sedang galau

Yang menarik bagi saya, pertunjukan sejam bertarif mahal itu ternyata tata panggungnya sangat sederhana.jauh dari gemerlap panggung pertunjukan ala Indonesia. Panggung sederhana dari kayu itu dari satu pertunjukan ke pertunjukan berikutnya hanya diganti latar belakang layarnya saja. Pencahayaan (lighting)nya pun sederhana. Saya sempat berpikir : bagus juga kalau di Indonesia ada yang mengemas beberapa seni budaya dan adat asli suatu daerah tertentu dalam pertunjukan singkat yang bisa dipadukan, lalu dijual pada wisman. Cukup sejam, tapi mampu memukau penonton. Saat pertunjukan berakhir, kami sampai tak menyadarinya karena terasa singkat. Cukup memuaskan, sesuai dengan lembaran yen yang harus kami kuras dari dompet.

1355439339139974840
1355439339139974840
Potongan adegan terakhir Bunraku

--------------------------------------------------------

Tulisan ini didedikasikan untuk event WPC – 29 yang pekan berthema MEMOTRET GESTUR. Sudah hampir 3 bulan saya absen menulis untuk WPC setelah WPC yang berthemakan Foto Kolaborasi pada minggu ke-2 dan ke-3 bulan September lalu. Kerinduan menulis untuk ikut WPC muncul saat saya lihat karya teman-teman Kampretos lainnya rata-rata menarik. Semoga tulisan kali ini cukup bisa menebus absennya saya tak setor beberapa kali WPC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun