Pertunjukan dimulai dengan tea ceremony lalu disusul flower arrangement. Saya selalu rancu bahasa Jepangnya antara upacara minum teh untuk menjamu tamu dan seni merangkai bunga, sebab keduanya memiliki istilah yang mirip : kadou dan sadou. Keduanya kerap tertukar di benak saya. Kebetulan sebulan sebelumnya saya pernah berkunjung ke kuil khusus dimana para sensei kadou dan sensei sadou mengajarkan dan menurunkan adat ini pada anak muda Jepang yang mau mempelajarinya. Kelezatan teh hijaunya yang terbuat dari bubuk teh, masih membekas di lidah saya.
Malam itu, di Gion Corner sepasang penonton pasutri bule diminta duduk tepat didepan panggung dan berperan sebagai tamu. Lalu keluarlah wanita Jepang paruh baya berkimono memperagakan tata cara menyajikan teh,yang tidak sederhana, tapi sesuai dengan kelezatan rasanya. Tentu saja upacara penyajian ini tak lepas dari gerakan-gerakan tubuh penuh penghormatan sejak awal hendak meracik teh sampai akhirnya teh siap disajikan. Saya tampilkan foto-fotonya, semoga bisa memberikan gambaran.
Seni merangkai bunga di iringi dengan permainan Koto zhiter oleh 2 wanita berkimono, membuat suasana makin syahdu dan sakral. Pertama kali 2 wanita yang akan merangkai bunga membungkuk dalam-dalam ke hadapan penonton, lalu salah satunya, sang asisten, menyiapkan bunga. Menyusul wanita perangkai bunga maju, tentu saja setelah kembali membungkuk memberi penghormatan. Setelah selesai, si wanita menatap rangkaian bunganya dan kembali memberi penghormatan, lalu mundur dan digantikan asistennya mengambil rangakain yang sudah jadi dan membawanya.
Sedangkan permainan Koto sendiri adalah alat musik tradisional Jepang kuno serupa kecapi dengan enam senar yang dimainkan dengan plectrums gading dikenakan pada jari. Harmoni yang dihasilkan cukup menghanyutkan.
Usai itu, panggung berganti dengan pertunjukan komedi klasik yang disebut Kyogen. Saya mengibaratkannya seperti seni Ludruk kalau di Surabaya. Pemainnya hanya terdiri dari 3 orang. Ini makin mengingatkan saya pada trio Wonokairun atau Cak Kartolo cs. Meski miskin dialog, tapi kekuatan bahasa tubuh dan mimik wajah kocak 2 pelakonnya cukup mampu membuat penonton terbahak-bahak. Kami yang saat itu baru 2 bulan di Jepang dan baru bisa sedikit sekali bahasa Jepang, menerka-nerka jalan cerita dengan mencermati polah tingkah pemerannya.
Pertunjukan komedi berakhir, disusul Gagaku. Saya melihat beberapa alat mirip peralatan gamelan Jawa, serupa gong dan kendang. Gagaku adalah musik adat Jepang yang dimainkan di istana kekaisaran atau kuil. Di Gion Corner pertunjukan musik Gagaku ini disertai tarian Maigaku yang menurut saya mirip tari topeng.
Pertunjukan ke-6 adalah Kyomai dance yang dibawakan oleh seorang gadis Jepang. Tarian ini berasal di Kyoto, kyo-mai adalah dansa yang elegan dan mempesona dimana penampilnya adalah seorang Maiko yang menggunakan  gaun (kimono) indah. Tarian ini menggambarkan kehalusan dan kelemahlembutan gerak-gerik seorang Maiko.
Yang terakhir adalah pertunjukan boneka Bunraku. Bunraku adalah teater boneka tradisional Jepang, yang oleh UNESCO dimasukkan dalam daftar Karya Agung Warisan Budaya pada tahun 2003. Meski dimainkan oleh boneka, namun gerak-gerik boneka itu cukup menggambarkan alur cerita. Saya sedikit lupa persisnya cerita itu. Kalau tak salah tentang seorang gadis cantik yang kesepian karena terpisah dari kekasihnya. Lalu datanglah utusan kekasihnya membawa surat cinta yang mencoba membawa lari gadis itu.
Yang menarik bagi saya, pertunjukan sejam bertarif mahal itu ternyata tata panggungnya sangat sederhana.jauh dari gemerlap panggung pertunjukan ala Indonesia. Panggung sederhana dari kayu itu dari satu pertunjukan ke pertunjukan berikutnya hanya diganti latar belakang layarnya saja. Pencahayaan (lighting)nya pun sederhana. Saya sempat berpikir : bagus juga kalau di Indonesia ada yang mengemas beberapa seni budaya dan adat asli suatu daerah tertentu dalam pertunjukan singkat yang bisa dipadukan, lalu dijual pada wisman. Cukup sejam, tapi mampu memukau penonton. Saat pertunjukan berakhir, kami sampai tak menyadarinya karena terasa singkat. Cukup memuaskan, sesuai dengan lembaran yen yang harus kami kuras dari dompet.
--------------------------------------------------------
Tulisan ini didedikasikan untuk event WPC – 29 yang pekan berthema MEMOTRET GESTUR. Sudah hampir 3 bulan saya absen menulis untuk WPC setelah WPC yang berthemakan Foto Kolaborasi pada minggu ke-2 dan ke-3 bulan September lalu. Kerinduan menulis untuk ikut WPC muncul saat saya lihat karya teman-teman Kampretos lainnya rata-rata menarik. Semoga tulisan kali ini cukup bisa menebus absennya saya tak setor beberapa kali WPC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H