Mohon tunggu...
Nina BSA
Nina BSA Mohon Tunggu... Akuntan - Equal Means Equal

ali_nadirah@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

P.K. Ojong "Hidup Sederhana, Berpikir Mulia"

29 Oktober 2017   21:58 Diperbarui: 26 September 2020   22:34 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu kemarin saya dipinjami buku oleh teman saya, Asry. Ia menginap di rumah saya karena mendapat beasiswa Tempo Institute, maka berangkatlah Asry dari Malang ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan tersebut. 

Kebetulan ia suka membaca dan ketika saya tahu ia membawa buku dari Malang, maka saya minta izin untuk meminjam dan cepat-cepat membacanya karena Asry hanya sampai hari Minggu di rumah saya. 

Dalam dua hari itu pula saya habiskan dengan hanya membaca buku pinjaman dari teman saya itu. Di kala Sabtu sore yang baru saja diguyur hujan, saya naik ke rooftop rumah sambil duduk di ayunan membaca buku sambil makan keripik apel Malang. 

Bukan buku keluaran baru yang saya baca dan sudah pasti banyak orang yang sudah membacanya. Saya ketinggalan. Buku itu adalah: P.K. OJONG "Hidup Sederhana, Berpikir Mulia", terbitan Kompas Gramedia yang ditulis oleh Helen Ishwara.

Dan memang benar pemilihan judul tersebut. Dalam waktu dua hari saya membaca buku itu rasanya enggan bangun dari duduk atau tidur jika sudah membaca buku tersebut. 

Saya benar-benar terinspirasi dengan sosok Petrus Kanisius Ojong atau nama lahirnya Auwjong Peng Koen atau nama baptisnya Andreas. Beliau yang tak perlu lagi saya jelaskan detail merupakan salah satu pendiri Kompas bersama Jakob Oetama.

Beliau lahir di Bukuttinggi, Sumatera Barat pada 25 Juli 1920 dan wafat pada 31 Mei 1980 di Jakarta. Beliau merupakan lulusan Hollandsch Chineesche School (sekolah tingat SD, selain itu juga ada Europeesche Lagere School untuk warga Belanda dan Hollandsch Inlandsche School untuk warga pribumi). 

P.K. Ojong berkeyakinan Katolik seperti ayahnya dan diikuti istrinya, Catherine. P.K. Ojong menimba ilmu hukum di Rechts Hogeschool yang kini kita kenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Ojong pernah berprofesi sebagai guru juga bekerja di Weekly Star sebagai pemimpin redaksi pada tahun 1951. Lalu merintis Intisari yang kemudian menerbitkan adik kedua Intisari, yaitu Kompas. 

Dari mulai hanya surat kabar lalu terus menelurkan anak-anak dari Kompas seperti majalah anak-anak Bobo, radio Sonora, radio Motion, toko buku Gramedia dan lain-lain. 

Tadinya nama surat kabar itu bukanlah Kompas, melainkan Bentara Rakyat. Namun atas usul dari mantan presiden Indonesia, Soekarno yang meminta agar nama 'Bentara Rakyat' diubah menjadi 'Kompas' yang bermakna pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba. Dan akhirnya ketika usul itu dibawa ke meja rapat, semua menyetujuinya. Surat kabar Kompas pun mulai terbit pada tanggal 28 Juni 1965.

Seperti yang telah saya nyatakan di atas, kalau saya benar-benar terinspirasi dengan sosok Petrus Kanisius Ojong. Dan memang betul sosoknya menginspirasi. 

Ia telah merasakan jatuh bangun dalam sebuah perjuangan. Perjuangan yang tentu patut dihargai setinggi-tingginya penghargaan. Beliau berusaha memperjuangkan sebuah surat kabar berkualitas yang manfaatnya juga sebenarnya bukan hanya ia yang merasakan namun masyarakat. 

Usahanya untuk terus menyadarkan masyarakat agar terus mengawasi penguasa negeri ini agar masyarakat tidak dirugikan juga. 

Namun nyatanya surat kabar yang ia perjuangkan malah dibredel seperti Weely Star begitu pula Kompas. Mereka bernasib sama. Namun untunglah beberapa bulan kemudian Kompas dapat terbit kembali.

Ojong juga seorang yang rendah hati. Ia tidak segan untuk mencuci piring makannya sendiri jika berkunjung ke rumah kerabatnya. Ia tidak segan untuk menyumbangkan uangnya kepada yang membutuhkan dibalik sifat hematnya. Ia juga sosok yang menghargai siapa pun. 

Ojong juga memerhatikan pegawainya. Bentuk perhatiannya dari yang terkecil seperti menanyakan sudah makan atau belum, menjenguk pegawainya ketika sakit, memberi tumpangan mobil sampai menyediakan rumah istirahat untuk para pegawainya. Ini diketahui dari buku P.K. OJONG "Hidup Sederhana, Berpikir Mulia". 

Ojong sangat kagum pada sosok Khoe Woen Sioe. Dalam buku tersebut di halaman 316, dijelaskan bahwa Khoe Woen Sioe, seorang Direktur Penerbit surat kabar Keng Po. 

Namun walau begitu sampai meninggal pun Khoe Woen Sioe tidak pernah punya rumah  pribadi. Ia malahan mementingkan rumah untuk para pegawainya.

Selain perjuangannya, sikap dan kepribadian beliau juga yang patut kita teladani. Selain itu juga ia seorang keturunan Tinghoa, tapi nasionalismenya pada negeri ini tidak bisa diragukan. Sikapnya yang kritis dan skeptis terhadap segala hal termasuk pemerintah membuatnya sempat 'dibenci'.

Bukan karena hari kelahiran P.K Ojong. Bukan pula karena ulang tahun Kompas atau alasan lainnya, saya mengulas buku ini karena memang saya terkesima dengan isi buku ini., terkesima dengan sosok P.K. Ojong, terkesima dengan kepriadiannya.

P.K. OJONG "Hidup Sederhana, Berpikir Mulia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun