Mohon tunggu...
Nina BSA
Nina BSA Mohon Tunggu... Akuntan - Equal Means Equal

ali_nadirah@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan 1999

22 Oktober 2017   19:32 Diperbarui: 24 Oktober 2017   23:53 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disuatu malam yang dingin dan gelap yang hanya diterangi beberapa lampu. Sepi yang menemani ketiga orang di bangku stasiun kereta api malam itu. Dua orang anak gadis kembar tak identik, berusia tujuh tahun yang sedang terlelap tidur di sandaran seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun. Kedua anak gadis kecil itu mendekap diri masing-masing karena angin malam yang begitu dingin. Pria itu duduk dengan tenang sambil menoleh ke kanan dan kiri setiap beberapa menit sekali.

Seorang wanita berusia sama dengannya datang dengan menggunakan kacamata hitam, sweater tebal dan syal yang dikalungkan di lehernya. Mereka berbincang singkat. Kemudian wanita tersebut menggendong salah satu gadis kecil yang sedari tadi tidur. Pria yang menjadi sandaran tidur gadis kecil itu pun berdiri dan menggendong gadis kecil lainnya. Mereka berdua mulai melangkahkan kaki dan berjalan berlawanan arah. Nadia, terbangun dalam gendongan pria itu. Ia membuka matanya pelan dan melihat saudarinya yang digendong seseorang yang tak ia kenal. Nadia memegang bahu si pria dan mencoba melihat dengan seksama apa yang dilihatnya.

"Nabilah..." kata Nadia pelan.

Nadia mencoba melihat wajah si pria. Nadia ketakutan dan langsung menundukkan kepalanya. Menenggelamkan wajahnya ke bahu si pria yang tak dikenalinya. Nadia mencoba mengintip lagi, mencoba untuk melihat saudarinya. Namun saudarinya sudah tak terlihat. Nadia tidak tahu kemana saudarinya menghilang. Ia ingin bertanya, tapi perasaannya takut luar biasa terhadap orang yang sedang menggendongnya. Perlahan bulir-bulir air keluar dari matanya. Jas pria itu basah karena air mata Nadia kini semakin deras. Isakan tangis kecil Nadia mulai terdengar. Nadia tidak bisa berbuat apa-apa. Nadia terlalu takut untuk berbicara. Ia hanya bisa terus ikut dengan si pria, tanpa tahu kemana ia akan dibawa.

18 Tahun Kemudian

Kertas-kertas itu menggunung dalam ruang kerja Nadia. Ia terus mencari ide untuk desain gaun terbaik buatannya, tapi Nadia merasa kehabisan ide.

BUG! Nadia dengan sengaja menjedotkan kepalanya di atas meja.

Tiba-tiba seseorang datang ke ruang kerjanya. "Nadia, ada Rio di ruang tamu. Mau ketemu kamu."

"Ya pah.. bentar lagi.." jawab Nadia malas. Nadia bangun dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu.

Di sana sudah menunggu seorang pria muda berusia dua puluh lima, sama dengan usia Nadia. Pria itu adalah Rio, tetangga sekaligus sahabat Nadia sedari kecil.

"Hai Nad!." sapa Rio.

"Hai Yo. Kenapa tiba-tiba dateng? Nggak ngabarin pula."

"Hehe nggak Nad, iseng aja. Abis dari kantor nggak tahu mau ngapain, gue kesini aja."

"Lah, lo pikir rumah gue pengungsian orang-orang iseng apa?."

Rio mengernyitkan dahinya. Dia menatap Nadia kebingungan. "Lo lagi ada masalah ya? Cerita aja udah."

"Ih apaan sih." jawab Nadia setelah menyenderkan badannya lemah ke sofa.

"Tuh kan, jujur aja deh. Itu tangan lo kenapa banyak tinta pulpen?."

Nadia mengecek telapak tangannya. Dan benar apa yang dikatakan Rio, telapak tangan Nadia nyaris penuh dengan tinta pulpen.

"Iya iya. Gue lagi stres banget nih. Desain gaun pesenan belom jadi. Stres banget gue."

Rio menggeser pelan gelas berisi teh di atas meja dan berkata, "Nih, minum dulu."

Nadia menoleh bingung. "Buat gue?." tanya Nadia yang dijawab Rio dengan anggukan. Nadia meminum segelas teh tersebut. Pikirannya kini tak sekacau tadi. Nadia mulai bercerita pada Rio, sesekali diselingi canda tawa.

Rio, sahabat kecil Nadia tahu sekali bagaimana cara membuat Nadia tersenyum. Mereka bersahabat sejak berusia tujuh tahun. Awal pertemuan mereka berawal ketika hujan mengguyur kota Jakarta sore itu. Nadia duduk di tanah basah sambil menangis. Tiba-tiba Rio datang dengan membawa payung.

"Kamu kenapa nangis?." Nadia menoleh pelan ke arah suara itu dan langsung memalingkan wajahnya. Nadia kembali menangis, kali ini tangisannya mengecil.

"Kamu jangan ujan-ujanan. Nanti kamu sakit lho." Kata Rio dan berjalan mendekat dan memayungkan Nadia.

Nadia berdiri dan ikut berpayungan. Pakaian Nadia tampak kotor karena tanah. Kedua telapak tangan Nadia pun ikut kotor.

"Aku Rio. Nama kamu siapa?."

"Nadia." jawab Nadia setengah menangis.

"Rumah kamu di mana?." tanya Rio dan Nadia menunjuk rumahnya yang tepat di belakang mereka. Lalu mereka berdua berjalan ke arah rumah Nadia. Namun karena kondisi tanah yang licin mambuat Nadia terpeleset ke tanah basah itu. Rio menarik tangan Nadia, tapi Rio malah ikut terjatuh. Mereka berdua malah tertawa dan saling dorong. Dan sejak saat itu Nadia dan Rio berteman akrab sampai sekarang.

***

Nadia menyereput tehnya di kafe dekat kantor Rio bekerja yang biasa mereka kunjungi. Setelah sekitar sepuluh menit  kemudian, Rio datang.

"Eh sorry sorry gue baru dateng. Ujannya deres banget." kata Rio dan langsung duduk.

"Iya nggak apa-apa. Lo jadi bantuin gue 'kan?." tanya Nadia.

"Gue nggak ngerti tentang desain sih, tapi masa sahabat sendiri nggak dibantu. Sini-sini gue liat kerjaan lo." jawab Rio. Kini mereka sedang mendiskusikan tentang gaun rancangan Nadia yang dibantu Rio. Selama diskusi, Nadia melihat ke arah Rio serius. Ia melihat dengan seksama orang yang telah ia cintai selama ini. Ya. Nadia memang mencintai Rio sejak lama. Setiap perhatiannya tercurah pada sahabatnya. Semua keluh kesah Nadia ia ceritakan pada Rio, bahkan tanpa harus memberi tahu, Rio dapat menebak suasana hati Nadia.

"Nah.. jadi gitu Nad, gimana?."

"Hah.. kenapa Yo?."

Rio melihat Nadia datar. "Nad.. lo kenapa lagi?." tanya Rio.

"Eeh.. nggak kok. Nggak kenapa-kenapa. Sumpah!."

"Kayaknya lo butuh hiburan deh." kata Rio dan langsung berdiri dari duduknya lalu menggenggam tangan Nadia. Entah kemana Nadia akan dibawa, Nadia tidak tahu, tapi perasaannya sangat senang saat ini.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Saat itu, mereka masih asyik bermain di bawah rintik hujan. Berlarian menangkap satu sama lain. Nadia berusaha mengejar Rio sekuat tenaga. Namun Nadia tidak berhasil. Nadia kesal dan melempar segumpal tanah ke arah Rio. Kini Rio tampak kotor dengan kemejanya yang penuh dengan tanah. Dan sekarang giliran Rio yang mengejar Nadia. Langkah kaki Rio sangat kencang. Nadia mencoba terus berlari sekuat tenaga berusaha menghindari Rio, tetapi tenaga Nadia kalah dari Rio dan akhirnya Nadia tertangkap. Mereka tertawa. Rio memeluk Nadia. Ia bisa merasakan pelukan Rio. Nadia melepas pelukan Rio. Ia menarik Rio sampai di parkiran kafe, tempat dimana mobil Rio di parkir.

"Yo gue mau pulang." perintah Nadia dan mereka langsung memasuki mobil.

Rio memberikan sebuah jaket berwarna hitam miliknya pada Nadia. "Dipake Nad. Dingin."

Nadia pun memakai jaket milik Rio, sedangkan Rio tak memakai jaket. Nadia  merasa bersalah. Dalam hatinya, Nadia ingin sekali memeluk Rio. Sesampainya di rumah, Nadia terus saja memakai jaket Rio. Rasanya Nadia ingin memiliki jaket itu.

***

Keesokan harinya Nadia membaca pesan dari Rio.

From: Rio

Nad, sorry ya. Meetingnya ditunda dulu, gue lagi sakit nih. Sorry bgt ya

Seketika, Nadia kaget ketika membaca pesan dari Rio itu. Nadia gelisah. Nadia memindahkan helai rambutnya ke belakang telinga. Ia terlihat sangat gusar. Akhirnya Nadia memutuskan untuk menelepon Rio.

"Halo! Rio!."

"Ya Nad, kenapa?."

"Yo, lo sakit? Pasti gara-gara yang kemaren ya?."

"Kayaknya gitu Nad."

"Terus.. terus lo gimana sekarang?."

"Tenang Nad. Paling juga besok sembuh. Cuma panas kok. Lo sendiri gimana? Lo nggak sampe sakit 'kan?." tanya Rio. Mendengar pertanyaan Rio, Nadia membeku beberapa saat. Nadia sedih Rio sakit, tapi juga senang Rio bertanya hal itu padanya.

"Nad.. Nad.. Halo."

Nadia terbangun dalam lamuannya. "Eh.. eh.. iya iya. Gue nggak kenapa-kenapa kok. Emm.. syukur deh kalo gitu, cepet sembuh ya Yo. Jangan lama-lama sakitnya, soalnya project kita belom selesai hehe." jawab Nadia diselingi candaan.

"Iya Nad, makasih. Kampret juga doa lo haha.."

"Yaudah Yo. Istirahat sana. Bye." kata Nadia dan memutus telepon.

***

Pagi ini Nadia sudah terbangun. Pukul enam pagi, tidak seperti biasanya. Nadia sudah mulai bekerja. Seseorang di sampingnya memerhatikan Nadia sambil membawa koran.

"Nah.. gitu dong. Pagi-pagi udah mulai kerja."

"Iya pah iya." jawab Nadia sambil terus fokus pada komputer jinjingnya. Kemudian lelaki itu duduk di samping Nadia.

"Nad, kalo kerja itu yang serius. Jangan setengah-setengah."

"Iya pah. Maafin Nadia. Ini juga Nadia lagi konsen-konsennya kok. Nanti sore juga, katanya Rio mau kesini. Mau bantu project Nadia lagi."

***

Sore ini, Nadia tampak menyirami tanaman di halaman rumahnya sambil menunggu kedatangan Rio. Sesekali Nadia mengecek jam tangannya. Ia terus menunggu Rio. Lalu Nadia mengarahkan selang airnya ke lain arah yang ternyata sudah ada Rio di hadapannya. Akhirnya Rio terkena siraman air tersebut.

"Eh eh!! sorry sorry."

Rio terlihat sedang mengusap kemejanya. "Iya Nad iya. Jangan galak-galak dong."

"Ih Yo.. nggak sengaja tahu." gerutu Nadia.

"Hehe iya Nad." kemudian mereka langsung memasuki rumah Nadia.

Sekitar dua jam sudah mereka berbincang membicarakan desain gaun buatan Nadia.

"Yo. Thanks banget ya bantuannya."

"Thanks buat apa Nad? Kan belom jadi project lo."

"Iya sih, tapi 'kan lo ngebantu gue banget."

"Oke oke, tapi ini nggak gratis ya.."

"Iya deh Yo. Terserah lo aja. Lo mau berapa?"

"Nggak Nad. Gue nggak minta bayaran. Gue cuma minta lo dateng aja ke kafe biasa kita nongkrong. Gimana?."

"Wah kapan tuh?."

"Besok malem, jam delapan. Gimana?."

"Boleh banget Yo."

"Oke. Bener ya? Awas lo nggak dateng." kata Rio dan dibalas anggukan oleh Nadia.

"Yaudah gue cabut dulu ya. Bye"

***

DRRR! tiba-tiba handphonenya bergetar.

From: Rio

Ditunggu ya. Satu jam dari sekarang. See u nad.

Nadia tampak bersemangat setelah mendapat pesan dari Rio. Nadia langsung bergegas ke kamarnya. Nadia sibuk memilih pakaian. Ia terus menimbang-nimbang pakaian yang tepat untuk dipakainya. Nadia melihat dress berwarna kuning dengan hiasan bunga di bagian kiri, melihatnya dengan waktu yang agak lama lalu membuangnya asal. Lalu diambil lagi dress yang lain. Kali ini berwarna merah muda polos. Setelah lama dilihat, lagi, Nadia membuangnya asal.

"Duh.. yang mana ya.." pikir Nadia. Ketika sedang melihat-lihat pakaian untuk dipakainya, perhatian Nadia teralih. Pandangannya tertuju pada tumpukkan pakaian. Lalu Nadia mendapati sepasang baju dan celana berwarna ungu gelap polos berukuran lebih kecil dari ukurannya. Seketika, ingatan Nadia kembali pada kejadian delapan belas tahun silam. Ketika itu, malam yang sangat dingin dan sepi bersama seorang pria yang sekarang menjadi ayah tirinya. Dan saudari yang telah lama menghilang. Sepasang gadis kecil kembar tak identik dengan pakaian yang sama. Baju dan celana berwarna ungu yang kini warnanya mulai memudar. Nadia memeluk kuat baju tersebut. Ia tak akan pernah lupa kejadian itu. Nadia mengingat semua kenangannya bersama Nabilah.

Nabila.. kamu di mana? Aku kangen banget sama kamu,batin Nadia.

DRR! Getar handphone Nadia berbunyi. Ternyata Rio meneleponnya, tapi Nadia tidak peduli dan kembali menuju lemarinya. Nadia menangis. Ia tak cukup kuat menahan perasaan rindunya pada Nabilah. Nadia merasa bersalah karena selama berpisah dengan Nabilah, tak sekali pun Nadia berusaha untuk mencari Nabilah. Nadia terus menangis di depan lemarinya yang terbuka dengan beberapa pakaian terserak mengelilinya.

Sekitar hampir setengah jam Nadia masih di kamarnya, bahkan ia belum berganti pakaian.

TOKTOK! Suara getukan pintu membuat Nadia menoleh ke arah bunyinya suara. Sang ayah kini masuk ke dalam kamarnya. Melihat anaknya yang terlihat bersedih itu, ayah langsung ikut duduk bersama anaknya.

"Kamu kenapa nak?." tanya ayah dan Nadia tidak menjawab.

Ayah mengelus rambut Nadia pelan dan berkata, "Tadi Rio telepon. Katanya kamu nggak angkat teleponnya. Ada apa?."

Nadia melihat ayahnya tajam dengan mata  sembapnya. "Aku mau nanya sama papah, tapi tolong jawab pertanyaan Nadia jujur pah."

Ayah hanya terdiam mendengar pertanyaan putrinya.

"Pah! Nabilah ada dimana pah?." tanya Nadia dengan nada sedikit tinggi.

Ayah benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan Nadia. Ayah lalu berdiri dari duduknya dan meninggalkan kamar Nadia.

***

Nadia terlambat satu jam dari jadwal yang sudah direncanakan. Matanya masih sembap dan Nadia tidak mempedulikannya. Nadia bahkan tidak sempat merias wajahnya.

"Halo Nadia.. yang terlambat satu jam dan nggak ngangkat telepon gue. Silakan duduk.." ledek Rio dan dibalas dengan senyum 'tidak niat'. Nadia menduduki kursi yang kini di hadapannya ada Rio yang seperti biasa, mengenakan kemeja. Dan di sebelah Rio terdapat seorang wanita cantik berambutnya panjang yang terurai dengan riasan seadanya namun terlihat tetap cantik. Nadia merasa penampilannya di antara mereka adalah yang paling buruk.

"Maaf deh maaf, tadi ada sesuatu gitu deh."

"Iya Nad, nggak apa-apa. Oh iya, kita pesen makan dulu ya." kata Rio dan langsung memanggil waiter.

"Oh iya San, kenalin ini sahabat gue dari kecil, namanya Nadia. Kebetulan rumahnya juga nggak jauh dari rumahku. Makanya kita sering main."

"Hai, gue Nadia, temennya Rio." kata Nadia sambil menjabat tangan Sandra.

"Oh iya nih Nad, kenalin juga ini Sandra, pacar gue."

DEG! Nadia kaget luar biasa. Rasanya hati Nadia dihantam batu besar. Nadia membeku beberapa saat. Nadia mencerna perkataan Rio, mengulang-ulang kalimat yang tadi keluar dari mulut Rio: Sandra, pacar gue.

"Yo.. tadi lo bilang apa?."

Rio melihat Nadia bingung, "Sandra. Iya. Ini pacar gue Nad. Nggak percaya gue bisa punya pacar?."

Untuk yang kedua kalinya Nadia mendengar kalimat itu jelas.

"Ee.. iya iya. Hehe." Nadia mencoba tersenyum.

"Halo Nadia. Gue Sandra. Seneng deh bisa ketemu sahabat pacar sendiri."

Nadia melihat Sandra. Nadia melihat senyumnya yang manis. Nadia melihat semua yang ada pada diri Sandra dan membadingkan dengan dirinya. Nadia merasa benar-benar tidak ada seujung jari pun bisa disamakan dengan Sandra.

"Eh iya halo San. Seneng juga bisa ketemu lo." Nadia berusaha berpikir keras untuk mengalihkan perasaannya. Nadia terus berusaha untuk tersenyum.

"Eh Nad, kok mata lo keliatannya sembap. Ada masalah?."

"Oh nggak kenapa-kenapa kok. Tadi kan gue bilang ada sesuatu gitu deh."

"Apa Nad sesuatunya? Nanti lo cerita ya!."

"Iya gampang, eh iya bye the way kalian udah jadian berapa lama?."

Rio menatap Sandra sambil menaik-turunkan alisnya seakan mempersilakan Sandra untuk menjawab.

"Kita udah delapan bulan jadian Nad."

Nadia menganggukkan kepalanya pelan ke atas dan ke bawah. "Cie... bisa pacaran juga lo Yo. Kirain bakal bujang sampe tua." ledek Nadia.

"Wett.. sekarang liat dong udah jadian. Lo tuh Nad yang kapan."

DEG! Lagi-lagi Nadia merasa ada hantaman keras di dadanya. Nadia hanya memandangi makanannya tanpa ada sepatah kata pun terucap. Sekarang ini, Nadia ingin sekali menangis. Nadia membatin dalam hatinya, Gue selalu nunggu itu Yo. Gueselalununggu lo nembak gue..

***

Nadia melamun di depan meja kerjanya dalam waktu yang cukup lama. Pekerjaannya terbengkalai. Nadia memiringkan kepalanya di atas kepalan tangan kirinya. Ia hanya menggoreskan tinta pulpennya asal di atas buku kerjanya sedari tadi. Pandangannya tetap kosong.

Ayah memasuki kamar Nadia tanpa getukan pintu seperti biasanya. Ayah melihat kondisi kamar Nadia yang masih sama seperti beberapa hari yang lalu, kecuali sepasang pakaian berwarna ungu yang terlipat rapi di atas kasurnya. Ayah menghampiri tempat pakaian itu. Namun Nadia sadar dan langsung berjalan menuju ranjang tidurnya.

"Papah mau apa?." tanya Nadia agak kesal.

Ayah menoleh pelan dan kembali melihat sepasang pakaian itu.

"Pah!." panggil Nadia dan ayah kini duduk di kasur Nadia.

Ayah menatap lurus ke depan. Nadia ikut duduk sambil terus memerhatikan sang ayah.

"Nad.. papah bener-bener nggak tahu dimana Nabilah."

Nadia menggeleng pelan dan mengernyitkan dahinya. "Gimana mungkin? Papah nggak tahu ya, kalo aku kangen banget sama Nabilah? Kalo aku sayang banget sama Nabilah?."

"Papah beneran nggak tahu Nad. Waktu itu, papah cuma mau ngadopsi kamu dan Nabilah diadopsi orang lain. Cuma itu."

Nadia menatap ayahnya lirih dan mulai memalingkan wajahnya. Nadia memenjamkan matanya. Bulir air matanya berjatuhan begitu saja. Nadia memegangi dadanya, kini rasanya sangat sakit. Isakan tangis Nadia terdengar ke telinga ayah. Membuat ayah merasa sangat bersalah. Ayah mencoba untuk memeluk Nadia, tapi belum sempat ayah meraihnya, Nadia berbalik badan dan langsung memeluk ayah.

"Pah.. aku kangen banget sama Nabilah.. aku kangen pah.." kata Nadia sambil menangis.

Ia meneggelamkan wajahnya pada bahu sang ayah. Ia menangis sejadi-jadinya. Ini membuatnya teringat kejadian delapan belas tahun yang lalu. Ketika Nadia menangis di pundak yang sama dengan perasaan yang sama.

***

Hari ini pencarian Nadia dimulai. Nadia mengunjungi panti asuhannya yang dulu pernah ia tempati selama tujuh tahun bersama Nabilah. Tempatnya sudah tidak seperti yang dulu. Kondisi bangunannya sudah tak sebagus yang dulu. Ia melewati taman, tempat biasa ia bersama Nabilah bermain dulu.

DRR!

From: Rio

Nad, sabtu sibuk nggak.?

Nadia memasukkan ponselnya cepat ke dalam tas. Ia terlalu malas meladeni Rio. Nadia terlalu sakit saat ini. Ia tidak mau fokusnya mencari Nabilah terbengkalai, sama seperti hatinya saat ini.

DRR!! DRR!! DRR!!

"Halo. Iya pah.. iya aku udah sampe kok.. oke oke.. iya aku mau minta alamatnya juga.. oke pah, makasih." telepon dari ayah membuat semangat Nadia bertambah berkali lipat.

Nadia melangkahkan kakinya menuju alamat yang ia dapat dari panti asuhannya dulu. Ia memasuki sebuah taksi yang terparkir di depan kompleks panti asuhan dengan taksi lainnya. Dalam perjalanannya, ia sudah membayangkan ketika nanti bertemu Nabilah. Nadia akan langsung memeluk saudari kembarnya. Nadia akan menceritakan semua yang telah ia lalui selama delapan belas tahun ini. Nadia akan menghujani banyak pertanyaan pada Nabilah, Nabilah tinggal sama siapa? Seneng nggak? Rasanya gimana? Nabilah dulu sekolah di mana? Pernah pacaran nggak? Sekarang lagi pacaran nggak? Nabilah.. Nabilah.. Nabilah.. Nadia terbangun dari lamunannya dan menyadari kalau tempat tujuannya sudah di depan mata.

Nadia menelan air liurnya. Memerhatikan rumah di hadapannya. Rumahnya cukup besar dan mewah. Nadia memencet bel rumah tersebut yang berada tepat di sisi kanan tembok. Seseorang keluar dari rumah tersebut.

"Permisi bu. Saya mau tanya, ini alamatnya bener 'kan ya?." tanya Nadia sambil menunjukan selembar kertas.

"Oh iya non, bener. Kalo boleh tahu, non siapa ya? Dan mau cari siapa?."

 "Saya Nadia bu. Saya lagi nyari Nabilah. Ya, nama anaknya Nabilah. Emm.. seumuran saya bu. Orangnya tinggal di sini 'kan?."

"Wah non. Nggak ada tuh anak namanya Nabilah di sini. Adanya Dinda, itu juga umurnya masih sembilan tahun."

"Yang bener bu?." tanya Nadia tidak percaya.

"Iya non, bener. Yang punya rumah ini juga baru dua tahun tinggal di sini."

Nadia mencoba melihat ke dalam. "Emm.. bu, saya boleh nggak ketemu sama yang punya rumah? Saya butuh banget informasi ini bu. Bisa 'kan bu?."

"Tunggu di sini sebentar ya non. Saya coba izin ke nyonya."

"Iya iya bu. Saya tunggu."

Beberapa saat kemudian, sang pemilik rumah pun datang. Nadia meminta informasi tentang pemilik rumah sebelumnya. Nadia mendapatkan nomor telepon. Nadia mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata nomor yang dituju tak bisa dihubungi. Dan aktivitas itu berulang kali dilakukan Nadia.

***

Nadia terlihat sangat kacau. Pikirannya tidak keruan saat ini. Baru saja Nadia menerima kabar bahwa pesanan gaunnya dibatalkan. Itu membuat Nadia semakin pusing. Desain yang ia kerjakan selama hampir sebulan tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Rasanya ia ingin sekali menelepon Rio dan menceritakan semuanya. Ia ingin bertemu Rio, tapi Nadia enggan menghubungi Rio saat ini karena rasa sakit yang dibuat Rio dalam hatinya. Nadia memutuskan untuk tidak menggunakan handphonenya yang biasa ia gunakan. Nadia tidak mau berkontak dengan Rio dulu.

***

Dua minggu sudah pencarian Nadia, tapi sampai detik ini Nadia belum bisa menemukan Nabilah. Ayah memberi tahu Nadia petunjuk-petunjuk keberadaan Nabilah. Sekarang waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya Nadia menghentikkan pencariannya dan melanjutkannya esok hari jika sudah sore. Namun hari ini Nadia terlalu bersemangat. Tak sedikit pun semangatnya luntur dari dua minggu yang lalu. Kini Nadia sudah berada di depan rumah yang ditujunya. Ini adalah alamat terakhir yang ia peroleh dari ayah. Rumah yang berada di hadapan Nadia terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang sebelumnya dikunjunginya. Nadia mencoba memencet bel rumah tersebut. Setelah beberapa kali memencet bel, tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah tersebut. Nadia pun memencet dan menunggu lagi. Sekitar sepuluh menit berlalu, belum juga ada seorang pun yang keluar dari rumah tersebut. Nadia tidak sabar. Apalagi sekarang sudah semakin malam. Akhirnya Nadia memutuskan untuk masuk ke rumah tersebut tanpa izin.

"Permisi.. permisi.." kata Nadia sambil terus melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Sampai akhirnya Nadia melihat kaca pintu yang di balik sana terdapat banyak orang.

Kok nggak ada yang keluar bukain pintunya sih, batin Nadia.

Nadia membuka pintu tersebut. Pintu itu menghubungkan ke suatu taman yang cukup luas. Ada banyak balon dan lampu yang menyinari taman tersebut, seperti ada acara yang diadakan di sini. Nadia yang sangat penasaran menghampiri kerumunan orang di tengah taman tersebut. Nadia memerhatikan dua orang di tengan kerumunan orang tersebut. Nadia berusaha masuk diantara kerumunan sampai akhirnya Nadia berada di barisan terdepan.

Seorang lelaki yang berada di tengah kerumunan tersebut terlihat sedang berdansa dengan seorang wanita yang sedari tadi tertutupi oleh lelaki tersebut di hadapannya. Dan ketika menoleh ke arah Nadia berdiri, betapa terkejutnya Nadia ketika mengetahui lelaki tersebut adalah Rio. Nadia kaget bukan main. Matanya membulat dan perlahan kakinya berjalan mundur. Nadia tak menyangka alamat yang diberi ayah, membawanya ke suatu rumah di mana seseorang yang sangat ia cintai berada. Rio melihat Nadia dan menoleh ke arah wanita yang tadi berdansa dengannya. Nadia mencoba keluar dari kerumunan tersebut. Nadia duduk dengan lemas. Matanya masih membulat dan napasnya memburu.

Suara tepuk tangan menghiasi acara tersebut. Nadia masih dalam keadaan yang sama. Tiba-tiba hujan turun berjatuhan dari langit. Orang-orang yang menghadiri acara tersebut mulai memasuki rumah. Nadia masih duduk lemas di pinggir taman. Tiba-tiba ada telapak tangan yang menempel di bahunya. Napas Nadia perlahan mulai stabil. Begitu juga dengan pandangannya. Nadia menoleh ke sampingnya, ternyata tangan Sandra yang memegang bahunya. Lalu Rio datang dengan payung yang ia bawa untuk menutupi mereka. Nadia melihat Rio sejenak. Ingatannya kembali pada delapan belas tahun silam, ketika awal pertemuan mereka. Ketika Rio datang sambil membawa payung. Ketika hujan turun dari langit Jakarta. Ketika perasaannya sedang sedih. Nadia tanpa sadar menjatuhkan air matanya yang telah bercampur dengan air hujan. Nadia rindu kenangan itu. Ketika ia mengenal jatuh cinta untuk yang pertama kali. Nadia ingin semua kenangan itu kembali. Nadia ingin di antaranya dan Rio tidak ada yang berubah. Nadia ingin terus bersama Rio. Saat-saat di mana ia merasa terlindungi, di saat ia bercanda, di saat ia bisa melakukan segala hal dengan bebas tanpa ada rasa takut.

"Nad.. ayo masuk." kata Sandra. Namun Nadia seakan tak mau bangun dari duduknya. Masih terlalu berat menyeret kakinya. Terlalu sakit melihat kedua pasang ini bersama. Terlalu sulit melihat Rio membagi kasihnya pada Sandra. Terlalu asing untuk Nadia melihat Rio dengan yang lain. Nadia melihat Rio dalam waktu yang lama. Nadia ingat, Rio mudah sakit bila terkena hujan. Nadia keluar dari payung tersebut. Membiarkan dirinya kehujanan. Ingin rasanya ia mengatakan yang sejujurnya, kalau selama ini Nadia mencintai Rio. Ada rasa penyesalan di hati Nadia. Penyesalan yang teramat sangat. Nadia menyesal tidak mengatakannya dari dulu. Nadia berangan-angan dalam beberapa saat untuk bisa memutar waktu. Nadia ingin bilang kalau ia sangat mencintai Rio. Nadia tidak mau Rio dimiliki orang lain. Nadia berangan-angan... kalo aja dari dulu Yo. Apa mungkin sekarang masih ada Sandra di hati lo?... Angan-angan Nadia terlalu jauh. Jauh sekali. Kenyataannya, malam ini adalah hari pertunangan Rio dan Sandra. Hari pertunangan yang diwarnai hujan. Diwarnai dengan suasana sedih di hatinya. Nadia melihat wajah Sandra. Nadia tersenyum pada Sandra. Ia langsung memeluk Sandra. Dalam pelukannya, Nadia menangis. Tangisan yang berpadu dengan isakan. Di bawah hujan, Nadia memeluk Sandra erat. Nadia menangis sejadi-jadinya. Rio yang melihat Nadia bertingkah seperti itu tahu bahwa ada sesuatu dan membiarkan mereka berpelukkan di bawah hujan. Nadia melepas pelukannya perlahan dan mulai memegangi lengan Sandra. Sambil menatap mata Sandra lirih, Nadia berkata, "San... jawab jujur pertanyaan gue. Siapa lo sebenernya?!" tanya Nadia yang membuat Sandra terkejut.

"San! Jawab gue!." tanya Nadia lagi dengan nada yang lebih tinggi.

"Nad.. gue.. gue yang lo kenal.. gue.." jawab Sandra kebingungan.

"San, apa lo kenal Nabilah? Apa lo punya saudari kembar?."

Sandra kaget dengan pertanyaan Nadia.

"San! Apa lo dulu pernah tinggal di panti asuhan? Terus dipisahin dari saudari kembar lo?." tanya Nadia terus-menerus dan membuat Sandra menangis. Sandra langsung memeluk Nadia erat. Sandra tak berkata apapun. Sandra dan Nadia kini menangis bersama, saling memeluk satu sama lain di bawah rintik hujan yang tak kunjung henti.

***

Lima Bulan Kemudian

Nadia mulai menyapu pipinya dengan spons diikuti dengan blush-on. Mengoles bagian kelopak matanya dengan eye shadow lalu eye liner. Kini bibirnya ia olesi dengan pewarna bibir. Nadia menyisir rambutnya dan membiarkannya terurai. Nadia melihat ke cermin dan lalu  memantulkan bayangan seorang wanita dengan wajah oval, berkulit putih, bermata besar, hidung kecil dan bibir yang tipis. Tidak buruk, setidaknya Nadia dapat mengimbangi penampilan saudari kembaranya. Nadia berganti pakaian, kini ia memakai dress berwarna ungu gelap. Warna pakaian yang sama seperti akhir pertemuan Nadia dengan Nabilah di stasiun kereta api kala itu. 

Nadia keluar dari rumahnya dan menaiki taksi yang sudah menunggunya. Nadia melihat jalanan ibu kota. Malam itu menjadi malam yang indah untuknya. Tidak sedetik pun perhatiannya buyar dari pemandangan Jakarta malam itu. Kini tidak ada lagi kesakitan dalam hatinya. Apapun. Kini Nadia sadar bahwa antara Rio dan Nabilah bukanlah kesalahan mereka. Perasaan mereka adalah hak mereka. Nadia tidak bisa dan bahkan tak punya hak untuk memisahkan mereka. Walaupun dulu Nadia terlalu mencintai Rio. Ia membuka kaca jendela dan merasakan angin menyapa dirinya. Sekitar satu jam perjalanan, Nadia pun sampai di tujuannya. Nadia turun dari taksi dan sedikit mengembuskan napas panjang. Nadia melewati orang-orang dengan senyuman.

"Nad! Sini!." teriak Sandra dan dibalas senyum olehnya. Nadia mempercepat langkahnya. Sandra tersenyum beberapa saat. Malam ini kecantikan Sandra berkali lipat. Matanya bulat, hidungnya mancung, pipinya merah merona dengan bibir berwarna merah muda. Lalu ia berkata, "Nad, gaun ini bagus banget lho. Aku suka banget. Makasih ya Nad."

 "Cie dandan." Rio mencoba merayu.

"Iyalah, masa saudari sama sahabat nikah nggak dandan sih." balas Nadia. Kini ia tersenyum dan melihat dalam pada Rio sambil hatinya membatin, Rio, bagi gue nama itu bermaknasahabat, tetangga sekaligus cinta pertama. Rio, lo selalu bisa mengubah sedih gue jadi senang. Lo adalah sahabat terngeselin gue yang selalu ngajak main ujan, yang selalu bawa-bawa payung, yang selalu sedia jaket.Lo adalahorang yang membuat gueberhenti menangisdan memayungkan gue kala itu, hujandi tahun 1999.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun