Di balik keahliannya dalam memobilisasi pasukan militer, Ia dikenal juga sebagai pemimpin yang sukses berkat kemampuannya untuk menemukan talenta-talenta terbaik dari prajuritnya, dan menempatkan mereka di posisi-posisi strategis sesuai dengan kapasitasnya.Â
Alhasil, setiap prajurit dapat tumbuh lebih cepat, dengan skill lapangan yang lebih terasah, sehingga makin memperkuat kompi-kompi pasukan AS kala itu.
Selain itu, General Marshall juga dikenal sebagai pemimpin yang selalu tampil, pasang badan dan bertanggung jawab untuk semua hal yang terjadi, dan mendukung para prajuritnya di masa-masa sulit sekalipun. Soal melayani pengikutnya, tak sedikitpun Ia memikirkan diri dan kenyamanannya sendiri.
General Marshall memiliki apa yang kini kita sebut dengan emotional intelligence dan mampu secara jernih melihat potensi dari setiap bawahannya.Â
Kemampuan ini memunculkan ikatan emosional yang kuat dengan trust sebagai landasannya. Ia memandang setiap bawahannya sebagai pribadi yang punya keunikan masing-masing.Â
Ia membangun hubungan personal. Ia menjalin ikatan yang kuat, agar ketika bawahan membutuhkannya, Ia mampu hadir dan membantu mereka dengan tepat sasaran, tak lagi memedulikan status dan kedudukan. Ini lah yang disebut sebagai servant leader.Â
Â
Leadership is a choice, not a rank
Dalam sebuah kesempatan, Sabtu lalu, saya belajar mengenai level-level kepemimpinan dari Prof Rhenald Kasali di Rumah Perubahan. Ia menjelaskan singkat, kalau seseorang masih menganggap kepemimpinan itu adalah jabatan, maka itu adalah level kepemimpinan yang paling rendah.
Orang mengikuti kita semata-mata karena jabatan yang kita miliki. Ketika jabatan itu hilang, hilang pula lah pengikut kita.Â