Dalam kondisi ini, collective actions & calls menjadi mustahil untuk dilakukan. Nilai-nilai dan tujuan bersama akan memudar. Kepercayaan hilang. Pesimisme muncul. Pikiran dipenuhi prasangka dan praduga.Â
Setiap orang merasa cemas akan hari esok, menerka-nerka nasib mereka ke depan, sehingga mencari jalan selamatnya sendiri-sendiri. Kapal goyang, semangat kolektif tumbang.
Sementara itu, ketika pemimpin fokus dan mengutamakan orang-orang di dalam organisasi/perusahaan ketimbang hal-hal lainnya, sehingga mereka merasa nyaman, terapresiasi, dan merasa berharga dengan tanggung jawabnya saat ini, banyak hal ajaib akan terjadi.Â
Keberadaan mereka yang dinilai jauh lebih penting ketimbang angka, akan membawa perusahaan pada hal-hal tak terduga.
Kepercayaan diri setiap orang akan naik. Moral dan semangat meningkat. Trust menjadi kunci dalam setiap aktivitas dan keputusan yang dibuat. Orang akan merasa aman.Â
Dengan kondisi ini, setiap orang akan selesai memikirkan keselamatan dirinya sendiri, mulai melihat ke depan, dan fokus terhadap tanggung jawab yang harus dituntaskan.Â
Bahkan, para pengikut rela melakukan apa saja untuk perusahaan/organisasi, berbekal keyakinan para pemimpinnya akan melakukan hal yang sama untuk mereka.
A good leader is a servant leader
Saya teringat sebuah cerita Perang Dunia ke-2 yang datang dari seorang jenderal bernama George C. Marshall.Â
General Marshall terkenal piawai memimpin pasukan AS di masa perang dan berjasa dalam menyusun Marshall Plan, sebuah inisiatif pascaperang untuk pemulihan kawasan terdampak perang, menyambung konektivitas perdagangan, modernisasi industri, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Eropa, hingga mencegah penyebaran paham komunis, di akhir Perang Dunia ke-2.Â
Bagi banyak sejarawan, Ia adalah figur yang tepat untuk mempelajari sosok a good leader.