Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Jakarta

Artikel baru, setiap Rabu dan Sabtu. Lihat artikel lainnya di bit.ly/iqbalkompasiana

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

3 Hal yang Dapat Dilakukan Saat Memutuskan Career Shift di Tengah Pandemi

28 November 2020   09:26 Diperbarui: 29 November 2020   05:37 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada satu dari sejumlah hal yang paling terdampak karena pandemi, mungkin angkatan kerja termasuk di dalamnya.

Tak ada seorang pun yang dapat memprediksi signifikansi Covid-19 terhadap angkatan kerja. 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebutkan angka pengangguran bertambah 2,7 juta orang akibat Cocid-19. Angka ini terus bertambah setiap hari, dan mungkin saja jauh lebih tinggi dari itu.

Dengan ketidakpastian di beberapa waktu ke depan, persaingan untuk masuk ke dunia kerja pun kian ketat dan berdarah-darah, baik bagi pencari kerja fresh graduate maupun profesional. Jangankan pekerjaan, mencari tempat magang yang sesuai saja sulitnya bukan main saat ini.

Tak berhenti di sana, pencarian kerja semakin kompetitif ketika banyak pekerja full-time yang juga berencana untuk shift career dalam waktu dekat. 

Seolah tak peduli pandemi, kelompok ini percaya diri meninggalkan pekerjaaannya saat ini untuk menggaet opportunity dan benefit yang lebih baik.

Langkah berani saat pandemi
Kepada saya, seorang teman, melalui pesan singkat, sedikit banyak bercerita tentang ini. Saya mengenalnya kurang lebih empat tahun belakangan. Dan kami berasal dari lingkungan kerja yang sama.

Tepat enam bulan yang lalu, atau setelah hampir tiga setengah tahun bekerja, Ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya saat itu, dan mengejar mimpinya menjadi profesional dengan jenjang karier yang lebih jelas.

Namun, Ia menyadari, kemampuannya saat itu belum memadai. Artinya, sejak mengundurkan diri dari pekerjaan lama, Ia belum punya modal skill yang mumpuni untuk masuk ke industri baru. 

Ia melakukan career shift, yang bagi banyak orang, termasuk saya, merupakan langkah berani, kalau bukan nekat, di tengah pandemi.

Dengan kondisi itu, sudah pasti Ia tak begitu saja dapat pekerjaan lain yang lebih baik. Mengerti kondisinya, Ia mengambil online bootcamp yang sifatnya serial dan jangka panjang. 

Tiga hingga empat bulan lamanya. Seminggu dua sampai tiga kali pertemuan online, dengan tugas-tugas yang juga menyita waktu, baik di weekdays maupun weekend. 

Keputusan dan langkah ini tentu tak mudah diambil. Dengan pengalaman yang dimilikinya, Ia bisa saja melanjutkan pekerjaan di tempat lain dengan bidang yang sama, tantangan yang jelas berbeda, dan pastinya jenjang karir juga benefit yang mungkin lebih baik.

Namun, ternyata Ia tak sendiri. Setidaknya, career shift pun dilakukan oleh rekan-rekannya yang lain. Meski tak mendominasi, jumlah orang yang "mulai dari nol" tak bisa dikatakan sedikit. Termasuk dirinya. 

Entah yang tak sesuai dengan disiplin ilmu saat kuliah, pindah role dari existing job nya, mengundurkan diri dan switch career, hingga dirumahkan dan mencari peruntungan di bidang lain.

A crisis is an opportunity
Mory Fontanez, seorang career coach dan CEO dari 822 Group menyebutkan, masa transisi dan krisis bisa jadi peluang untuk mendefinisikan ulang career path seseorang. Terlepas dari tingginya risiko yang diambil, masa krisis merupakan periode waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dan melakukan perenungan.

Apa saja hal-hal yang sudah dilakukan selama ini. Keahlian apa yang tak lepas dan paling berguna dari dalam diri. Sisi apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan saat ini. Dan bagaimana menyelaraskan semua itu dengan tujuan besar.  

Meski demikian, mendapatkan pekerjaan yang memuaskan secara materil dan non-materil butuh waktu. 

Data menunjukkan, setiap orang pada waktunya pasti menemukan posisi yang klik dengan dirinya. Namun, jangan salah. It takes longer than you might expect. 

Jalan menuju karier impian tak selalu mulus, penuh tantangan, godaan untuk putar arah, kebingungan, dan perasaan stuck ketika masuk ke periode waktu tertentu dalam sebuah role. 

Dalam hal ini, konsistensi, pemahaman mendalam pada kekuatan dan kelemahan diri, serta curiosity untuk terus mencari adalah modal dasar, ketika skill ternyata belum cukup kompetitif saat career shift. 

Lalu, apa yang harus dilakukan selanjutnya?

The next steps
Lakukan 3 hal:

Pertama, sudah jelas, ambil kelas-kelas online sebagai persiapan untuk masuk ke karier berikutnya. 

Saat ini sudah banyak pilihan program dengan periode yang juga beragam. Ada yang mingguan, bulanan, hingga semester. Tergantung dari beban materi yang dipilih.

Kelas-kelas online juga berguna untuk menambah jaringan. Bukan sekadar jaringan, tapi pertemanan yang bisa jadi sangat suportif satu sama lain, karena berasal dari latar belakang, kondisi, minat, dan tujuan yang sama. Mereka bisa menjadi teman diskusi, bercerita, berbagi informasi, juga buddy.

Kedua, manfaatkan koneksi. Data menunjukkan, sebagian besar pelamar yang diterima kerja tak melamar lewat jalur konvensional, dengan hanya mengirimkan resume begitu saja. Koneksi dengan orang-orang yang ada di industri tersebut masih memegang peran penting.

Bagi profesional yang akan melakukan career shift, setidaknya ada 3 keunggulan yang sudah otomatis dimiliki. Pengalaman, skill baru, dan koneksi selama ini. Keunggulan terakhir ini yang tak dimiliki oleh setiap orang.

Reconnect dengan kenalan lama, mantan klien, dan rekan kerja terdahulu bisa jadi awal yang baik. 

Di era teknologi, menjalin koneksi bukan masalah sulit. Dan di masa pandemi, setiap orang sangat terbuka untuk reconnecting dengan siapa saja. That's just human nature.

Ketiga, jangan terlalu lama. Selektif di awal terhadap pekerjaan baru yang dipilih adalah salah satu cara mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. 

Tapi ini berisiko, karena semakin selektif, kemungkinan "masa tunggunya" juga semakin lama. Terjebak dalam kondisi ini dapat menimbulkan kesan yang kurang baik ke depan. Entah disangka kurang kompeten atau tak punya daya saing.

Maka, magang jadi pilihan. Tak ada salahnya untuk mulai dari bawah. Apalagi di industri dan bidang baru yang sebisa mungkin pengalamannya harus segera dimiliki.

Terlebih, ketika ada yang hilang, di situ pula ada peluang muncul. Apalagi, saat ini PSBB sudah mulai longgar dan economic recovery perlahan berlangsung. 

Banyak perusahaan yang justru mencari flexible worker, terutama di bidang teknologi, digital entertainment, online learning, jasa dan produk esensial, hingga kesehatan. Industri-industri ini sangat aktif mencari kandidat-kandidat baru.

Di akhir cerita, teman saya juga mengungkapkan kegelisahan dan kecemasannya terhadap kondisi saat ini. Dilihat dari sisi apapun, itu adalah wajar. Namun, di sisi lain, Ia juga merasa bahagia. Lebih tepatnya excited. 

Bagi saya, afraid & excited di waktu yang bersamaan itu mahal harganya. Dan keberanian untuk mengambil langkah tersebut, dalam ketidakpastian dan ketidaktauan tentang hari esok, adalah sesuatu yang harus diapresiasi.

***

Tulisan ini adalah bagian dari serial Post-Pandemic World. Artikel baru, setiap Rabu dan Sabtu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun