Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Jakarta

Artikel baru, setiap Rabu dan Sabtu. Lihat artikel lainnya di bit.ly/iqbalkompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uang Memang (Bukan) Segalanya

11 November 2020   12:50 Diperbarui: 11 November 2020   13:05 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses eksperimen untuk membuktikan hubungan antara produktivitas dengan insentif yang diterima (Dokpri)

Pernahkah kamu merasa bingung ketika, misalnya, akan memberi pinjaman uang kepada teman. Tak memberi dikira pelit, memberi pun belum tentu bisa menagih. Sementara mungkin uang pinjaman yang lalu belum juga dilunasi. Atau bingung ketika dimintai tolong oleh rekan kerja. Tak menolong dikira kaku, menolong pun belum tentu Ia mau ikut menyelesaikan pekerjaan kita. Atau bingung ketika akan memberi kado pada kekasih atau keluarga di rumah. Yang mahal atau yang murah. Yang diinginkan atau yang dibutuhkan. Akhirnya, pusing tujuh keliling karena tak bisa menentukan pilihan.

Hal-hal tersebut di atas hanya secuil dari banyaknya pilihan yang harus kita ambil dalam kehidupan sehari-hari. Yang satu baik, yang lain belum tentu. Apakah baik untuk kita, atau baik untuk orang lain. Buruk untuk kita, atau buruk untuk orang lain. Semua serba kompleks. Dan ini baru dari sisi manfaat.

Kebingungan lain muncul ketika materi dan hitung-hitungan masuk di dalamnya. Perhitungan untung rugi menjadi faktor utama seseorang dalam mengambil keputusan. Contoh kasus pemberian kado misalnya. Kita berpikir keras soal hadiah apa yang terbaik untuk rekan kerja. Yang mahal atau secukupnya saja. Kalau mahal, kita kuatir hadiahnya tak cocok dan tak terpakai. Kalau murah, kita takut Ia akan tersinggung. Sampai akhirnya diputuskan, bagaimana kalau memberi uang cash saja. Cukup masuk akal, kan?

Tapi, tunggu dulu.

Di sini lah letak kebingungan itu bercampur. Ada dua sisi kehidupan yang akan bertabrakan, karena kegalauan kita sebagai makhluk ekonomi dan sosial dalam mengambil keputusan. Saya akan coba jelaskan satu per satu.

Dunia yang Penuh Kalkulasi

Menurut Dan Ariely, seorang professor ekonomi dari Duke University, North Carolina, salah satu sisi manusia di mana mereka berperan sebagai makhluk ekonomi disebut dengan market norm. Di sisi ini, segala sesuatu ada dengan landasan ekonomi yang kuat, dihitung berdasarkan untung rugi, angka, strategi, dan kompetisi di mana yang kuat mengalahkan yang lemah. Semua hal menerapkan prinsip-prinsip ekonomi, di mana usaha minimal harus memperoleh untung yang maksimal.

Dalam market norm, kita mengharapkan segala sesuatu ada timbal baliknya. Misal, bagi anak muda yang masih tinggal di kos-kosan atau rumah kontrakan, tentu yang diinginkan adalah suasana tempat tinggal yang nyaman, aman, dan tenang. Ketika itu semua sudah terpenuhi, tentu imbalannya adalah penyewa harus membayar uang sewa tepat waktu. Kalau tidak, ibu kontrakan akan marah.

Di kantor, seseorang dihire untuk melakukan pekerjaan A, B, C, dan D, lalu menerima upah bulanan dari hasil pekerjaannya. Di satu sisi, bos akan marah ketika staf ini tidak bekerja dengan baik dan malas-malasan. Di sisi lain, staf juga mungkin akan uring-uringan ketika Ia harus mengerjakan hal-hal yang bukan menjadi tanggung jawab utamanya. Posisi bos dan staf akan semakin renggang ketika ekspektasi dari setiap pihak tak terpenuhi. Dalam market norm, konflik timbul ketika hal-hal di luar kendali dan ekspektasi muncul.

Tak hanya di lingkup pekerjaan, market norm juga kerap masuk ke dalam kehidupan kita di rumah. Saya ingin bercerita sedikit. Kedua orang tua saya masih sehat. Ayah masih bekerja dan Ibu masih aktif dalam beberapa kegiatan di lingkungan. Kini, mereka tinggal berdua. Artinya kebutuhan sehari-hari mungkin sudah lebih dari cukup. Saya pernah mencoba beberapa kali memberi uang dari penghasilan bulanan kepada ibu untuk memenuhi beberapa kebutuhan di rumah. Tapi, yang ada uangnya dikembalikan dalam bentuk lain, entah tambahan uang saku, uang bensin, toll, dan sebagainya. Persepsi uang dalam keluarga kami memang fluid. Uang ku adalah uang mu juga.  

Dalam tulisan saya yang berjudul 'Ketika Millenial Pulang Kampung,' diceritakan bagaimana hari-hari awal ketika teman saya pulang ke rumah di Surabaya. Ia sempat menawarkan bayar uang sewa tempat tinggal pada ibunya, sebagai imbalan karena mau menerima dan direpotkan dengan kedatangan anak tunggalnya. Reaksinya bisa ditebak. Ibu mana yang tak tersinggung.

Market norm menjelaskan kalau semua bisa diukur dengan uang. Tapi mengapa ada hal-hal yang justru menimbulkan konflik ketika uang masuk di dalamnya?

Market Norm dan Social Norm adalah dua dunia yang setara, dekat, namun tak bisa disatukan (Dokpri)
Market Norm dan Social Norm adalah dua dunia yang setara, dekat, namun tak bisa disatukan (Dokpri)

Uang Bukan Satu-satunya Jawaban

Market norm adalah satu sisi koin. Sisi lainnya bagaimana? Ternyata, tak semua hal bisa diukur dengan kalkulasi dan hitung-hitungan materil. Ada yang namanya social norm, di mana manusia berperan sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan manusia lain. Di social norm, kita memberi, tak harap kembali. Waktu, pikiran, dan tenaga kita curahkan untuk menjaga hubungan dengan orang lain, baik rekan kantor, teman di sekolah, lingkup pergaulan, hingga keluarga di rumah.

Sebagai contoh, ketika kita membantu seorang teman untuk pindah rumah, let's say, ikut memindahkan dan meletakkan barang-barangnya dengan rapi. Tentu kita tak mengharapkannya untuk langsung membalas budi saat itu juga. Tapi setidaknya, kita tau, mereka bisa ikut membantu jika kita menghadapi kesulitan di kemudian hari.

Tak seperti market norm yang mengedepankan untung rugi, social norm menuntut setiap orang untuk lebih banyak memberi. Karena, pada dasarnya, manusia ingin sekali fit-in di lingkungan sosial, merasa diterima, dihargai, diapresiasi, dan merasa jadi bagian penting dalam struktur community. Semua hal dilakukan tanpa pamrih, tanpa embel-embel.

Negeri social norm kedengarannya seperti negeri ideal di dongeng-dongeng, di mana semuanya saling membantu, rukun, damai, tanpa konflik. Namun, persoalannya tak sesederhana itu. Masalah muncul ketika kita tak mengerti, kapan harus menerapkan market norm, dan kapan harus masuk ke dalam social norm. Kedua dunia ini sangat berbeda secara fundamental, dan tak bisa dibenturkan satu dengan yang lain begitu saja. Ibaratnya, tak semua hal bisa diselesaikan dengan uang.

Riset perilaku manusia yang dilakukan oleh ekonom James Heyman dan Dan Ariely membuktikan hal tersebut. Mereka melakukan suatu eksperimen tentang pengaruh uang dalam meningkatkan performa kinerja. Percobaan ini dilakukan oleh tiga kelompok orang yang diminta untuk memindahkan (drag click) sebuah lingkaran ke dalam kotak di monitor komputer sebanyak-banyaknya selama tiga menit. Setiap satu lingkaran berhasil dimasukkan, lingkaran lain akan muncul.

Proses eksperimen untuk membuktikan hubungan antara produktivitas dengan insentif yang diterima (Dokpri)
Proses eksperimen untuk membuktikan hubungan antara produktivitas dengan insentif yang diterima (Dokpri)

Ketiga kelompok mendapatkan perlakuan yang berbeda. Kelompok A diberi insentif sebanyak lima dolar per orang. Sementara Kelompok B mendapat sepuluh sen per orang. Dan Kelompok C tidak diberi imbalan apapun. Uang tak dibahas sama sekali. Perlu diingat, setiap kelompok tak mengetahui perlakuan yang didapat oleh kelompok lain.

Apakah besar imbalan sebanding dengan produktivitas?

Ternyata tidak. Kelompok C berhasil memasukkan sebanyak 168 lingkaran. Kelompok A di posisi kedua sebanyak 159 lingkaran, dan Kelompok B hanya 101 lingkaran.

Artinya, manusia cenderung akan memberi hasil yang optimal ketika bekerja tanpa embel-embel apapun. Social reward akan memunculkan highest effort. Output dari setiap interaksi kita sangat dipengaruhi dengan bagaimana pendekatan interaksi kita dalam dua sisi mata koin, apakah dengan market norm atau dengan social norm. 

Kelompok C mungkin senang berpartisipasi karena merasa ikut berkontribusi dalam riset ilmiah, ketika uang sama sekali tak pernah dibahas. Niat baik dan keinginannya untuk membantu timbul. Tapi, meski hanya sepuluh sen, aktivitas apapun akan berubah menjadi transaksional. Dan manusia pasti akan menyesuaikan usahanya sesuai dengan imbalan yang diterima.

Dua Dunia yang Tak Bisa Bersatu

Dalam market norm, semua serba angka, transaksional, perhitungan, jangka pendek, penuh analisis, cost & benefit, timbal balik instan, untung rugi, penuh kepentingan, dan ekspektasi. Sementara itu, social norm adalah kebalikannya. Di sisi ini, yang diutamakan adalah hubungan rasa, relasional, jangka panjang, tanpa pamrih, tanpa ekspektasi. Dan jika keduanya disatukan, semua pihak akan terkena imbasnya.

Anda mungkin sudah sering mendengar alasan mengapa sebisa mungkin kita tak memiliki hubungan bisnis dengan teman sendiri. Semacam ada tabir tak terlihat yang membatasi dua dunia ini. Ketika salah satu mencampuri yang lain, output yang buruk bisa saja akan timbul.

Namun, it's non binary. Meski hitam putih, bukan tak mungkin kita bisa berselancar di antara keduanya. Ketika kencan misalnya, setiap pasangan bisa sepakat untuk bergantian membayar tiket nonton atau bill makan malam di resto kesayangan. Ketika di rumah, apresiasi tak melulu harus dengan uang atau hadiah. Membantu pekerjaan rumah, seperti mencuci piring sendiri, membersihkan kamar tidur dan kamar kecil, membuang sampah, dan membantu perawatan tanaman bisa dilakukan sebagai bentuk dukungan kepada anggota keluarga yang lain. Kembali ke cerita saya di rumah. Karena orang tua selalu mengembalikan uang yang sudah diberikan, akhirnya, sementara ini saya tak lagi memberi uang dalam bentuk cash, melainkan langsung dalam bentuk sembako bulanan dan token listrik.

Mengerti dan memahami perspektif orang lain adalah langkah pertama yang bisa dilakukan untuk menempatkan diri. Kapan kita harus masuk ke market norm, kapan harus menjaga social norm. Ketidakterbukaan hanya akan membuat suasana tambah runyam. Kalau ada waktu, silahkan ngobrol sambil ngeteh dengan teman, sahabat, kekasih, dan keluarga Anda untuk membahas masalah ini.

______________________

Artikel ini adalah bagian dari serial Behavioral Economy. Tulisan baru, setiap Rabu dan Sabtu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun