Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Syukri
Muhammad Iqbal Syukri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 6 Prodi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Human who can think rationally

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Hantaman Cinta", Bahaya Normalisasi Kekerasan Domestik terhadap Perempuan

21 Desember 2023   07:26 Diperbarui: 30 Desember 2023   19:18 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Urusan mereka itumah”, “Dia itu sayang sama kamu”, “Udah jangan dilawan, nggak takut durhaka kamu?”. Frasa-frasa ini seringkali diucapkan, membentuk lapisan-lapisan kecil yang mempermainkan korban dalam jaringan kebingungan dan ketidakpastian. 

Dalam keheningan malam yang seolah menjadi teman setia rahasia-rahasia pahit, para perempuan ini terjebak dalam lingkaran kekerasan domestik yang merampas hak-hak dasar mereka. 

Tangisan bisu dari korban-korban yang tak terhitung jumlahnya bergema melalui dinding-dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun justru menjadi ruang-ruang penderitaan. Dalam realitas kelam ini, urgensi untuk mengatasi kekerasan domestik terhadap perempuan menjadi begitu jelas. 

Di masyarakat kita terutama di Indonesia, maraknya “toleransi” terhadap tindakan kekerasan di ranah domestik terutama pada perempuan menjadi cermin dari sebuah ketidaksetaraan yang mengakar hingga tingkat hubungan yang paling intim. 

Seringkali perilaku merendahkan dan mendominasi ini diterima sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari. Ironisnya, dalam upaya untuk menjaga harmoni keluarga, banyak yang memilih untuk menyembunyikan kebenaran di balik tirai ketakutan dan rasa malu.

Normalisasi terhadap kekerasan domestik juga tercermin dalam struktur kekuasaan di kehidupan sehari-hari. Perempuan mungkin merasa terjebak dalam norma-norma sosial yang memandang rendah peran mereka, sehingga mereka enggan atau takut untuk melanggar batasan yang diberlakukan kepada mereka. 

Hasilnya, kekerasan domestik seringkali tidak dianggap sebagai kejahatan yang harus ditanggapi dengan serius, melainkan sebagai masalah pribadi yang sebaiknya diselesaikan di dalam rumah tangga.

Dengan adanya  normalisasi terhadap tindakan kekerasan domestik kita secara tidak langsung memelihara sebuah siklus kehancuran yang memerangkap korban dalam penderitaan fisik dan psikologis. 

Tidak mengherankan jika PBB menyatakan bahwa kekerasan domestik merupakan tindakan kejahatan yang sangat jarang dilaporkan ke pihak yang berwajib, ada banyak alasan mengapa hal ini bisa terjadi, dan paradigma yang melihat bahwa kekerasan domestik sebagai urusan pribadi menjadi salah satunya. 

Maraknya KDRT dan Normalisasi Tehadapnya

PBB mendefinisikan kekerasan domestik sebagai segala perilaku kekerasan dalam suatu hubungan dengan tujuan  untuk mendapatkan atau menjaga kontrol dan kekuasaannya atas pasangann

Di Indonesia sendiri kekerasan domestik didefinisikan dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dalam pasal 1:

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap  perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,  yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau  penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau  penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk  melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan  kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup  rumah tangga”. 

Dengan itu dapat kita katakan bahwa kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam suatu hubungan atas dasar dominasi dan kontrol terhadap pasangan lainnya. 

The Power Control Wheel, alat bantu dari PBB yang digunakan untuk mengidentifikasi kekerasan berbasis gender. Sumber: United Nations 
The Power Control Wheel, alat bantu dari PBB yang digunakan untuk mengidentifikasi kekerasan berbasis gender. Sumber: United Nations 

Kekerasan domestik masih menjadi hal yang marak terjadi, bukan hanya di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh dunia. Menurut data yang dihimpun oleh PBB, 1 diantara 3 perempuan di dunia ini mengalami kekerasan domestik atau KDRT

Bahkan semenjak pandemi Covid-19 kasus kekerasan domestik meningkat sebesar 25-33% secara global (sekitar 736 juta perempuan di dunia ini pernah menjadi korban KDRT) dikarenakan intensitas kontak antar pasangan yang semakin tinggi selama lockdown.

Pada tahun 2020 sendiri tercatat dari 87.000 korban meninggal karena kekerasan seksual dan 58%-nya (sekitar 47.000 korban) merupakan korban dari tindak kekerasan domestik. 

Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan catatan tahunan yang dihimpun oleh KemenPPPA sepanjang tahun 2022 terdapat 18.261 kasus kekerasan domestik di Indonesia, dan 79,5% korban (16.745) dalam laporan tersebut merupakan perempuan. 

KDRT dari data yang terhimpun menempati posisi teratas sebagai kekerasan berbasis gender terbanyak yang dilakukan di Indonesia sepanjang tahun 2022. 

Perlu dicatat bahwa angka ini adalah angka dari kasus kekerasan yang dilaporkan, dan perlu kita ingat lagi, bahwa cara pikir yang menganggap bahwa kasus KDRT merupakan masalah pribadi yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan masih kental menempel di masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, sehingga tidaklah salah jika kita mengasumsikan bahwa sebenarnya masih banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan, entah karena KDRT dianggap sebagai aib yang dapat mencemari nama baik keluarga, atau karena intimidasi dari pelaku kekerasan.

Atau, bahkan prasangka bahwa pihak yang berwajib tidak akan menanggapi kasus ini secara serius. Apapun alasannya  KDRT merupakan masalah serius yang jarang dilaporkan kepada pihak yang berwajib. 

Mengapa rasanya banyak sekali kasus KDRT yang muncul di Indonesia maupun di beberapa belahan negara lain, dianggap sebagai urusan domestik yang seharusnya negara tidak ikut campur di sana? 

Mungkin disini kita bisa kembali membahas mengenai patriarki. Normalisasi terhadap tindakan kekerasan terhadap kelompok perempuan  ini bisa kita katakan lahir sebagai produk dari masyarakat yang masih memegang erat nilai sosial dan budaya patriarkis, di mana perempuan seringkali dianggap sebagai objek yang harus tunduk pada dominasi pria. 

Di Indonesia, seperti juga banyak negara Asia Tenggara lainnya, norma-norma patriarkis tertanam kuat dalam struktur sosial dan budaya, menciptakan lingkungan dimana kekerasan domestik dianggap sebagai sesuatu yang biasa, dan bahkan dalam beberapa kasus kekerasan merupakan sebuah keharusan sebagai bentuk pendisiplinan seorang suami terhadap istrinya.

Paradigma ini memicu terbangunnya  norma regresif dalam masyarakat yang  meruncing menjadi sikap yang mengesankan bahwa perempuan seharusnya pasif, tunduk, dan menerima  kekerasan sebagai bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan mereka. 

Ketika tindakan kekerasan ini dianggap normal, maka upaya untuk menghentikan, mengatasi, dan membantu korban kekerasan domestik tidak akan dilakukan secara serius. 

Padahal tindakan kekerasan dalam rumah tangga, jika tidak segera diatasi akan membawa dampak yang buruk bagi korban, pelaku, dan keluarga korban. 

Penggambara Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sumber: IstockPhoto
Penggambara Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sumber: IstockPhoto

Dari trauma fisik yang dialami korban kekerasan hingga trauma psikologis,  yang selain dirasakan oleh korban, juga berdampak pada relatif berada di sekitar korban dan pelaku (terutama anak-anak). Trauma ini juga berpotensi untuk menghasilkan pelaku kekerasan di masa depan yang tentunya akan melanggengkan tindakan kekerasan ini. 

Apa Yang Bisa Kita dan Negara Lakukan?

Lalu apa solusinya? Dari sini kita tahu, bahwa secara hukum, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan instrumen untuk mengatasi hal ini, seperti UU No. 23 tahun 2004 dan aturan perda di masing daerah untuk mengatasi hal ini. Namun, instrumen legal-formal tidaklah cukup untuk mengatasi hal ini. 

Kita harus menyadari bahwa akar dari semua ini adalah budaya patriarki. Budaya patriarki melanggengkan tindakan kekerasan yang ada di ranah domestik maupun kekerasan berbasis gender lainnya. 

Budaya ini dilanggengkan secara struktural dan turun menurun, kita selalu ditanamkan pemahaman bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, dan perempuan memiliki posisi subordinat didalamnya. 

Jika ingin memutus siklus penderitaan ini, kita memang harus memerangi budaya yang mendasari semua ini. Dengan memerangi hegemoni budaya patriarki yang ada sekitar kita pastinya akan memudahkan terwujudnya masyarakat yang lebih adil, setara dan tentunya aman bagi perempuan. 

Pemberdayaan terhadap perempuan  bukan hanya tentang memberikan hak dan jaminan  yang bersifat legal formal, tetapi juga mengubah budaya yang mendasari munculnya fenomena  ini sejak awal demi memutus siklus penderitaan yang dialami perempuan. 

Perempuan khususnya, harus diberikan kesadaran bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk melawan dan keluar dari belenggu patriarkis ini. 

Dan untuk para laki-laki dapat ditanamkan paham bahwa posisi perempuan tidak berada di bawah mereka dan bukan untuk melayani mereka, status mereka adalah setara, dan mempunyai hak serta suara yang sama, sehingga tidak ada lagi justifikasi bahwa kekerasan dilakukan atas dasar perasaan "cinta" suami terhadap istri. 

Pemerintah mungkin, selain melakukan tindakan advokasi dan sosialisasi dapat menentukan kurikulum pendidikan yang merestruktur ulang pandangan masyarakat mengenai peran gender tradisional sehingga budaya patriarkis yang tadinya mengakar di Indonesia perlahan-lahan bisa dicabut dari pondasinya.

Pada masa yang akan datang Indonesia terbebas dari paham-paham regresif seperti ini, dan korban tindak KDRT akan semakin terbuka untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya sehingga tentunya kasus KDRT di Indonesia akan lebih mudah untuk ditanggulangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun