Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Syukri
Muhammad Iqbal Syukri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 6 Prodi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Human who can think rationally

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Hantaman Cinta", Bahaya Normalisasi Kekerasan Domestik terhadap Perempuan

21 Desember 2023   07:26 Diperbarui: 30 Desember 2023   19:18 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu apa solusinya? Dari sini kita tahu, bahwa secara hukum, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan instrumen untuk mengatasi hal ini, seperti UU No. 23 tahun 2004 dan aturan perda di masing daerah untuk mengatasi hal ini. Namun, instrumen legal-formal tidaklah cukup untuk mengatasi hal ini. 

Kita harus menyadari bahwa akar dari semua ini adalah budaya patriarki. Budaya patriarki melanggengkan tindakan kekerasan yang ada di ranah domestik maupun kekerasan berbasis gender lainnya. 

Budaya ini dilanggengkan secara struktural dan turun menurun, kita selalu ditanamkan pemahaman bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, dan perempuan memiliki posisi subordinat didalamnya. 

Jika ingin memutus siklus penderitaan ini, kita memang harus memerangi budaya yang mendasari semua ini. Dengan memerangi hegemoni budaya patriarki yang ada sekitar kita pastinya akan memudahkan terwujudnya masyarakat yang lebih adil, setara dan tentunya aman bagi perempuan. 

Pemberdayaan terhadap perempuan  bukan hanya tentang memberikan hak dan jaminan  yang bersifat legal formal, tetapi juga mengubah budaya yang mendasari munculnya fenomena  ini sejak awal demi memutus siklus penderitaan yang dialami perempuan. 

Perempuan khususnya, harus diberikan kesadaran bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk melawan dan keluar dari belenggu patriarkis ini. 

Dan untuk para laki-laki dapat ditanamkan paham bahwa posisi perempuan tidak berada di bawah mereka dan bukan untuk melayani mereka, status mereka adalah setara, dan mempunyai hak serta suara yang sama, sehingga tidak ada lagi justifikasi bahwa kekerasan dilakukan atas dasar perasaan "cinta" suami terhadap istri. 

Pemerintah mungkin, selain melakukan tindakan advokasi dan sosialisasi dapat menentukan kurikulum pendidikan yang merestruktur ulang pandangan masyarakat mengenai peran gender tradisional sehingga budaya patriarkis yang tadinya mengakar di Indonesia perlahan-lahan bisa dicabut dari pondasinya.

Pada masa yang akan datang Indonesia terbebas dari paham-paham regresif seperti ini, dan korban tindak KDRT akan semakin terbuka untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya sehingga tentunya kasus KDRT di Indonesia akan lebih mudah untuk ditanggulangi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun