Mohon tunggu...
M. Iqbal
M. Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Part Time Writer and Blogger

Pengamat dan pelempar opini dalam sudut pandang berbeda. Bisa ditemui di http://www.lupadaratan.com/ segala kritik dan saran bisa disampaikan di m.iqball@outlook.com. Terima kasih atas kunjungannya.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

E-Reader, Menikmati Cara Membaca Praktis dan Kekinian

23 Juli 2019   18:00 Diperbarui: 24 Juli 2019   12:44 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kindle, e-reader kenamaan saat ini

Sinar bendera media cetak bahkan buku mulai meredup, ia tak setenar di era sebelumnya. Sangat sulit melihat media cetak saat ini, satu persatu beralih ke media digital. Nasibnya kini sudah berada di penghujung jalan akibat disrupsi besar. Minat masyarakat sudah beralih ke digital karena dianggap praktis dan mudah diakses.

Bacaan digital seperti e-reader, kini sudah jadi model baru yang mengubah stigma dalam membaca. Tidak terpaku lagi dengan buku atau majalah, media e-reader dianggap sebuah revolusi baru dalam pengembangan arah baca. Membaca jadi lebih mudah, tidak harus membalikkan halaman atau menenteng buku. Bahu pun tidak pegal karena memikul begitu banyak beban di atas pundak.

Semua itu diawali dari gebrakan besar yang dilakukan oleh Amazon, Perusahaan e-commerce. Raksasa asal Paman Sam tersebut di bawah komando Jeff Bezos mengeluarkan produk unik bernama Kindle di akhir tahun 2007 tepatnya pada tanggal 19 November. Waktu itulah adalah waktu yang tepat setelah sebelumnya mereka hanya fokus menjual buku.

Keberhasilan dari iPod dan iTunes sebagai produk andalan Apple seakan membuat Amazon mencoba inovasi termasuk membuat bacaan menjadi digital juga. Salah satunya dengan merilis Kindle, khususnya dalam mengubah cara membaca yang terlalu tradisional ke arah digital. Amazon pun melakukan riset yang panjang hingga akhirnya mengeluarkan produk andalannya, Kindle. Selain itu proses disrupsi dan revolusi dari buku ke e-reader tidaklah semudah revolusi musik dari kaset/DVD. Butuh proses panjang yang kini mulai dirasakan ke semua aspek masyarakat.

Bagi banyak orang buku fisik sangat sulit digantikan dengan digital. Para pecinta buku pun tahu bagaimana bahagianya mencium aroma buku baru, membolak-balikan halamannya hingga memberikan batasan sampai mana bacaannya. Sembari berfoto sambil membaca buku dan diupload pada sosial media. Kemudian ia punya rak buku yang ada di rumah jadi salah satu hal yang dibanggakan pemilik buku. Rak yang tinggi dengan beragam buku tersusun rapi. Memang memakan tempat, tapi buku fisik jadi sebuah penegasan pecinta buku dan terlihat seperti kutu buku.

Buku fisik kadang sering tidak tahu ke mana hilang rimbanya, ia bisa saja dipinjam teman sampai tahunan tak pernah kembali. Belum lagi ia rusak atau kadang tak tahu diletakkan di mana, permasalahan pelik yang sering dialami pemilik buku. Ia seakan sering kehilangan kontrol terhadap buku yang ia miliki, bisa saja ia tak pernah kembali ke raknya.

Disrupsi mulai terjadi, konsep minimalis dan praktis sudah diterapkan banyak orang. Ia mungkin kini tak punya tumpukan buku di atas meja atau berbagai buku di dalam tas. Hanya ada sebuah benda berukuran persegi panjang nan pilih. Namanya e-reader, membuat semua yang ia baca kini ada di dalam genggamannya.

Memang secara kemampuan dan daya serap menggunakan bacaan fisik jauh lebih baik dibandingkan dengan e-reader. Selain membuat mata lebih cepat lelah hingga pembiasaan yang jauh berbeda dengan buku fisik. Kesannya bukan membaca sesuatu yang serius dan benda digital sangat berbeda jauh dengan buku atau bahkan majalah dan komik.

Amazon memutar otak dan mencoba mempelajari kelemahan mengapa orang malas membaca dengan e-reader. Salah satu alasannya adalah paparan cahaya perangkat teknologi yang terlalu tinggi, tidak baik buat mata dan membuat mata cepat lelah. Alasannya karena umumnya ponsel, tablet hingga komputer menggunakan teknologi layar seperti LCD, IPS, OLED, dan Amoled.

Sedangkan Kindle menampikan layar tersebut meskipun terlihat ketinggalan zaman, tapi karena pembaca buku ingin merasakan membaca buku se-natural mungkin. Pilihan tersebut akhirnya jatuh pada teknologi e-ink (eletronic ink) yang dikembangkan oleh MIT Media Labs di tahun 1996. Meskipun sudah cukup usang karena diluncurkan di tahun 2006, tapi layar e-ink sangat nyaman di mata dibandingkan dengan layar LCD, Oled, dan layar tipe serupa. 

Itu karena layar e-ink tidak menghasilkan cahaya biru dari saturasi warna yang dihasilkan sehingga akan mudah membuat mata lelah. Warna dari e-ink yang dihasilkan adalah warna hitam dan putih saja sama halnya kertas buku, ditambah lagi tidak memantulkan cahaya seperti tablet.

Teknologi e-ink yang tampil menawan

Teknologi yang digunakan oleh Amazon tergolong unik yaitu e-ink, ia memiliki 2 bagian elektroda pada bagian atas dan bawah. Pada elektroda bagian atas bersifat tembus karena bagian inilah yang mengatur jumlah pigmen sehingga mampu menghasilkan karakter kata yang bisa dilihat dengan mata. Pada elektroda bagian bawah menjadi background layar yang menjadi konsep dasar e-ink. 

Kedua pigmen dari layar saling sinergis satu sama lain khususnya elektroda yang membutuhkan tegangan dalam menghasilkan polarisasi. Alhasil pigmen hitam yang bermuatan positif tertarik ke lapisan elektroda yang bermuatan negatif. Serta pigmen putih yang bermuatan negatif akan tertarik pada lapisan elektroda yang bermuatan positif.

Kedua elektroda punya tegangan yang sangat kecil dan hemat daya, sehingga ia bisa digunakan dalam jangka waktu lama tanpa pengisian daya. Kelebihan inilah sehingga pada layar akan terus menampilkan karakter tanpa tegangan sama sekali. Itu terlihat saat membeli Kindle, ia tetap nyala dalam waktu yang sangat lama.

Itu semua karena teknologi e-ink yang sekali tegangan dialirkan pada setiap titik elektroda, maka pigme-pigme tadi akan tetap berada pada posisinya. Yakni di permukaan transparan bagian atas layar, beda dengan layar IPS, Amoled, dan LCD. Layar e-ink tidak terpengaruh oleh gravitasi karena adanya cairan antara dua elektroda yang memisahkan dua posisi pigmen.

Tak berhenti di situ saja, Amazon pun memadukan layar e-ink pada Kindle dengan format tulisan yang ringan. Pilihan tersebut jatuh pada format MobiPocket yang tampak ringan meskipun halaman berapa pun kita membuat e-reader. 

Proses memindah halaman pun mudah karena dari kiri atau kanan. Bila umumnya yang kita baca berbentuk pada perangkat elektronik seperti di ponsel, laptop atau tablet menggunakan format PDF yang lemah. Akan ada lag yang sangat besar sehingga pengalaman membaca terganggu dan proses membacanya dari bawah ke atas. 

Amazon tahu bahwa ia tidak bisa hanya terpaku dengan menciptakan produk saja tanpa ekosistem. Ia pun membuat layanan buku berbayar yang bisa dibeli oleh pembaca. Harganya jauh lebih murah dan pastinya royalti dan keuntungan dari pembaca semakin besar.

E-reader, Menyelamatkan Pohon dan Nasib penulis

Kebutuhan akan kertas masih sangatlah  besar, salah satunya adalah kebutuhannya menjadi bahan baku bacaan seperti buku dan majalah. Ada banyak proses yang melibatkan dalam menghasilkan kertas, mulai dari bahan kimia, air, dan bahan bakunya dari bubur kayu. Itu belum termasuk dari limbah buangan yang dihasilkan dari proses pengolahan kertas.

Mengejutkan lagi karena sebuah pohon yang punya usia 5 tahun yang kemudian diolah menjadi kertas hanya mampu menghasilkan 1 rim kertas atau setara 500 lembar. Sedangkan rata-rata sebuah buku saat ini 200-250 lembar, itu artinya sebuah pohon hanya mampu menghasilkan dua buku saja. Itu belum lagi termasuk penggunaan kertas lainnya untuk dokumen, koran, majalah, katalog hingga brosur yang memakan banyak kayu. Dibutuhkan begitu banyak pohon atau bahkan kertas olahan yang tidak sedikit. Cara pengguna beralih ke digital, sedikit banyak mengurangi konsumsi kertas dan menyelamatkan pohon.

E-reader pun secara tak langsung menekan aksi pembajakan beragam buku oleh pihak tak bertanggung jawab. Celah untuk menjual buku bajakan semakin sulit karena bentuk digital dibandingkan buku fisik. 

Nasib para penulis pun makin sejahtera dari royalti dan pemasukan dari menulisnya lebih besar dibandingkan buku fisik. Alasan tersebut yang kemudian menguatkan banyak penulis yang menerbitkan bukunya via e-book, cara ini dinilai lebih efektif karena penulis e-book punya peran besar. Ia bisa bebas memasarkan, menerbitkan, menjual, dan memastikan harga dari e-booknya.

Pilihan lainnya adalah secara mandiri melalui blog pribadi atau bahkan memasarkannya via pihak ketiga dengan kesepakatan harga. Salah satunya yang strategi yang diterapkan oleh Amazon melalui program Kindle Direct Publishing (KDP). 

Nantinya pihak Amazon akan memformat e-book Anda dalam bentuk Mobi dan mempublikasi di Kindle Marketplace secara cuma-cuma. Penulis akan mendapatkan pembagian keuntungan yang lumayan besar yaitu 70% dari setiap e-book yang harganya saat ini berkisar antara US$ 2-99 -- 9,99. Serta ada acara lain buat di luar program Kindle dan Amazon buat menyejahterakan hajat hidup penulis.

Secara tak langsung beralih ke e-reader memang sangat sulit dibandingkan dengan perubahan lainnya ke arah digital. Semua itu hanya pembiasaan yang kemudian tak ada bedanya setelah terbiasa.  

Berkembangnya e-reader seperti Kindle artinya menekan jumlah kertas dan jumlah pohon. Sekaligus mengurangi pemanasan global dari pohon yang kemudian diolah menjadi buku. 

Sama halnya dalam merevolusi musik yang dulunya mengandalkan kaset dan sangat mencemari lingkungan. Kini musik bisa didengarkan dengan layanan berbayar secara streaming. Ini menekan jumlah plastik dan pita suara yang dibuang ke lingkungan.

Kindle dan segudang kelebihan

Amazon sadar bahwa merevolusi dunia buku harus dipersiapkan dengan matang, supaya perpindahan tersebut bisa langsung terwujud. Melalui produknya Kindle punya segudang kelebihan, mulai dari layarnya yang nyaman karena mengusung e-ink tanpa pantulan cahaya. Kindle punya kerapatan piksel hingga 300 ppi, saat terkena paparan matahari makin terlihat terang, mirip dengan buku. 

Buat yang malas baca, kindle memberikan opsi dengan pilihan mendengarkan melalui audiobook melalui headphone atau speaker. Sehingga lebih fleksibel, termasuk menghubungkan ke speaker Bluetooth agar bisa didengarkan satu ruangan.

Bicara mengenai daya tahan baterainya sangat kuat dan hemat daya, karena layar hitam putih khas e-ink mampu membuat e-reader bertahan berminggu-minggu. Saat proses pengisiannya cukup dengan sejam saja, sangat efisien digunakan saat bepergian jauh tanpa takut kehabisan bacaan. 

Bukan hanya itu saja, kelemahan terbesar buku adalah tidak tahan air. Siap-siap saja buku baru Anda harus rusak sampul atau isinya saat terkena air. Kindle punya daya tahan dari percikan air hingga tenggelam di dasar kolam renang. Itu karena sudah punya sertifikat anti air khas IPX8 yang sering ditemukan pada ponsel flagship.

Bentuknya sangat pas di tangan dan ringan, sehingga mudah dibawa, seperti membawa sebuah notes berukuran pergi panjang pipih. Bukan saja sebagai media membaca e-book saja. Ternyata Kindle bisa terhubung dengan internet, melahap konten seperti browsing, menonton film hingga bermain game. Walaupun efeknya baterai lebih cepat habis.

Urusan harga dan fleksibilitas, Kindle memang mahal di awal tapi murah dikemudian hari. Ibarat berinvestasi sebuah benda elektronik yang tahan lama tapi punya segudang kemudahan di masa depan. 

Harganya jelas jutaan untuk sekali membelinya, beda dengan harga buku yang hanya puluhan atau ratusan ribu. Namun harga itu akan murah saat membeli buku di Amazon atau layanan berbayar lainnya. Bahkan harganya separuh harga buku fisik dan tak jarang ada buku yang didapatkan cuma-cuma karena sudah melewati tenggat. 

Tingkat praktis lainnya karena Kindle sangat praktis dibaca saat Kindle ketinggalan di rumah. Ia bisa bersifat lintas device, cukup menginstal aplikasi Kindle baik via Android maupun iOS. Jadi tak perlu khawatir karena bisa mengakses di mana pun buat pengganti kindle.

Pilih mana, e-reader vs Tablet

Keduanya punya pangsa yang sangat berbeda meskipun punya ukuran yang tidak jauh berbeda. Perusahaan kenamaan seperti Apple, Samsung hingga Huawei punya Tablet dan dianggap punya segmen yang sangat banyak. Hanya saja pada e-reader Kindle bermain sendiri dengan sejumlah kompetitor yang jauh di bawahnya.

Kindle diperuntukkan khusus untuk membaca konten berbasis e-book seperti buku, majalah, hingga komik. Memang bisa digunakan seperti mendengarkan audio book, mendengarkan musik, menonton film hingga main game. Hanya saja ukuran penyimpanannya yang kecil serta memiliki layanan yang kurang nyaman untuk multimedia.

Kita sering salah kaprah karena menilai Kindle punya kapasitas yang kecil mulai dari 4GB hingga 32GB. Untuk data e-book berbentuk Mobi jelas sangat besar dan memuat banyak buku hingga ribuan buku, akan tetapi performanya tetap ngebut. Harus dicatat, jangan samakan konten e-book dengan file musik atau file video. Lebih baik menggunakan tablet karena punya spesifikasi layar, penyimpanan, dan kualitas penyajian.

Sedang e-reader lebih pada penggunaan tanpa gangguan dan sifat multitasking. Membaca di e-reader akan menjauhkan dari notifikasi mengganggu dan aplikasi pemecah konsentrasi sehingga kualitas membaca jadi berkurang. Beda dengan tablet yang menyerupai ponsel pintar dalam penyajian konten. Intinya keduanya punya segmen berbeda dengan pengguna berbeda.

Fitur kekinian yang ditanamkan di dalam Kindle seakan memudahkan membaca seperti: Instant Dictionary (mengetahui makna setiap pengertian kata), Vocabulary Builder (menyimpan perbendaharaan kata sulit tadi sehingga bisa tahu di halaman selanjutnya ada kata serupa), serta Highlight dan Note (mencatat atau menandai kalimat serupa).

Amazon dan Kindle tak populer di Indonesia

Mungkin bagi masyarakat kita, perusahaan terkenal dari USA hanyalah Microsoft, Apple, Google, dan Facebook. Tapi ada satu perusahaan yang memimpin Top Leader dalam bisnis e-commerce yakni Amazon. Inovasinya dalam pengembangan riset sangat patut diacungi jempol, hampir keseluruhan mengusung konsep AI. Salah satu mahakarya buatan Amazon adalah Kindle, mengubah cara manusia dalam membaca secara bacaan fisik ke digital.

Mengapa di tanah air tidak terlalu familiar?

Amazon sangat sedikit beriklan di Indonesia khususnya di TV atau bahkan Youtube, sehingga namanya masih sangat tak familiar dibandingkan e-commerce dalam negeri. Otomatis hanya kalangan tertentu yang mengenal dan menggunakan aplikasinya. 

Belum lagi masih hanya mengandalkan Bahasa Inggris yang menjadi kendala dalam proses berbelanja. Serta termasuk pembayaran yang relatif sulit bagi masyarakat Indonesia seperti menggunakan kartu kredit dan layanan Paypal. Masyarakat Indonesia umumnya masih mengandalkan kartu debit dan bahkan tidak punya rekening bank. 

Faktor terakhir adalah proses pengiriman barang yang memakan waktu hingga 2 minggu lamanya. Beda dengan e-commerce dalam negeri yang hanya menunggu paling lama 5 hari pengiriman.

Inilah membuat Amazon tidak familiar termasuk produk andalannya, Kindle. Memang Kindle tidak hanya dijual Amazon saja, ada reseller yang menjualnya di e-commerce lokal dengan harga terjangkau. Mungkin yang hanya dikenal oleh masyarakat umum Indonesia hanyalah smartphone dan tablet, tidak pada Kindle.

Kepopuleran dari Kindle nyatanya dipengaruhi beberapa alasan selain faktor Amazon seperti: rendahnya minta baca sehingga untuk mencari buku fisik saja sulit apalagi harus berjibaku beralih ke e-book. Kemudian Kindle seakan kalah dengan saingannya Google yang punya pilihan buku berbahasa Indonesia. Beda dengan Kindle yang murni berbahasa Inggris, faktor ini berpengaruh terhadap pada terbatasnya buku berbahasa Indonesia.

Terakhir Indonesia punya kebiasaan sesuatu yang gratis dan rela melakukan apa pun termasuk melakukan pembajakan. Misalnya pada PDF yang tidak terikat DRM (Digital Rights Management) sehingga rentan dengan tindakan bajakan. Sehingga royalti para penulis terancam, lebih baik saja tidak memasarkan dibandingkan harus jadi korban bajakan dari orang tak bertanggung jawab.

e-reader yang siap menggantikan media kertas

Saat ini jumlah konsumsi kertas mulai ditekankan, konsep Go Green secara tak langsung membuat manusia mulai beralih ke arah. Bila dulunya dianggap masih belum familiar, kini sudah lebih banyak e-book yang beredar. Selain mudah dan gampang, e-book dinilai menekan jumlah kertas. Walaupun tidak mudah dan perlu waktu, perlahan-lahan manusia merasa rasa nyaman dan praktis menggunakan cara khas digital, menggantikan gaya konvensional khas buku fisik. 

Tinggal bagaimana menyesuaikan dan mengubah kebiasaan, meskipun tidak sepenuhnya tergantikan keseluruhan. Sesuatu yang fisik tetap spesial, kini kita punya banyak alternatif dalam menunjang proses membaca. Pastinya apa pun medianya, minat membaca dan mencari ilmu baru jangan pernah luntur. Segala kemudahan tersebut tujuannya satu yaitu untuk hajat hidup manusia.

Semoga tulisan ini menginspirasi dan memberikan edukasi, Have a Nice Day guys...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun