Amazon dan Kindle tak populer di Indonesia
Mungkin bagi masyarakat kita, perusahaan terkenal dari USA hanyalah Microsoft, Apple, Google, dan Facebook. Tapi ada satu perusahaan yang memimpin Top Leader dalam bisnis e-commerce yakni Amazon. Inovasinya dalam pengembangan riset sangat patut diacungi jempol, hampir keseluruhan mengusung konsep AI. Salah satu mahakarya buatan Amazon adalah Kindle, mengubah cara manusia dalam membaca secara bacaan fisik ke digital.
Mengapa di tanah air tidak terlalu familiar?
Amazon sangat sedikit beriklan di Indonesia khususnya di TV atau bahkan Youtube, sehingga namanya masih sangat tak familiar dibandingkan e-commerce dalam negeri. Otomatis hanya kalangan tertentu yang mengenal dan menggunakan aplikasinya.Â
Belum lagi masih hanya mengandalkan Bahasa Inggris yang menjadi kendala dalam proses berbelanja. Serta termasuk pembayaran yang relatif sulit bagi masyarakat Indonesia seperti menggunakan kartu kredit dan layanan Paypal. Masyarakat Indonesia umumnya masih mengandalkan kartu debit dan bahkan tidak punya rekening bank.Â
Faktor terakhir adalah proses pengiriman barang yang memakan waktu hingga 2 minggu lamanya. Beda dengan e-commerce dalam negeri yang hanya menunggu paling lama 5 hari pengiriman.
Inilah membuat Amazon tidak familiar termasuk produk andalannya, Kindle. Memang Kindle tidak hanya dijual Amazon saja, ada reseller yang menjualnya di e-commerce lokal dengan harga terjangkau. Mungkin yang hanya dikenal oleh masyarakat umum Indonesia hanyalah smartphone dan tablet, tidak pada Kindle.
Kepopuleran dari Kindle nyatanya dipengaruhi beberapa alasan selain faktor Amazon seperti: rendahnya minta baca sehingga untuk mencari buku fisik saja sulit apalagi harus berjibaku beralih ke e-book. Kemudian Kindle seakan kalah dengan saingannya Google yang punya pilihan buku berbahasa Indonesia. Beda dengan Kindle yang murni berbahasa Inggris, faktor ini berpengaruh terhadap pada terbatasnya buku berbahasa Indonesia.
Terakhir Indonesia punya kebiasaan sesuatu yang gratis dan rela melakukan apa pun termasuk melakukan pembajakan. Misalnya pada PDF yang tidak terikat DRM (Digital Rights Management) sehingga rentan dengan tindakan bajakan. Sehingga royalti para penulis terancam, lebih baik saja tidak memasarkan dibandingkan harus jadi korban bajakan dari orang tak bertanggung jawab.
e-reader yang siap menggantikan media kertas
Saat ini jumlah konsumsi kertas mulai ditekankan, konsep Go Green secara tak langsung membuat manusia mulai beralih ke arah. Bila dulunya dianggap masih belum familiar, kini sudah lebih banyak e-book yang beredar. Selain mudah dan gampang, e-book dinilai menekan jumlah kertas. Walaupun tidak mudah dan perlu waktu, perlahan-lahan manusia merasa rasa nyaman dan praktis menggunakan cara khas digital, menggantikan gaya konvensional khas buku fisik.Â