Memang saat ini pemerintah sudah menyaring sejumlah konten yang mengandung pornografi, perjudian, hingga hoaks dengan membeli mesin filter khusus. Tetap saja konten itu bisa ditemukan dan diakses dengan mudah. Ini semua bukan salah platformnya, tapi salah penggunanya yang tidak tepat menggunakannya. Tujuan semua platform baik, tapi selalu ada celah buat melawan hukum di dalamnya.
Para konten kreator yang bermain di media tersebut jelas gigit jari, konten yang menarik dan informatif sepi pengunjung. Pemblokiran membuat viewer dari tanah air jadi sedikit. Â Memang banyak cara mengakali dengan menggunakan Virtual Private Network (VPN) hingga mengubah kode DNS (Domain Name System). Hanya saja, media atau platform yang digunakan para konten kreator di sana harus kehilangan pengunjung dari tanah air.
Namun tetap saja itu ilegal, bagi pengguna internet pemula seakan kehilangan media sosial tepat ia berselancar atau bahkan berkarya di platform tersebut. Para investor dan konten kreator harus mundur berkarya di platform tersebut karena sudah pasti tidak menguntungkan lagi. Meskipun bisa diakali, akan banyak yang tidak tahu mengaksesnya hingga mereka malas atau tak mau repot datang ke sana harus mengganti DNS atau menggunakan VPN.
Seberapa besar Pangsa Pengguna Facebook-WhatsApp- Instagram di Indonesia?
Saat ini ketiga platform tersebut jadi media sosial yang paling besar digunakan di dunia termasuk di Indonesia. Kini mereka menjadi satu direksi setelah akuisisi yang dilakukan oleh Facebook beberapa tahun lalu. Kedua platform tersebut seakan jadi lumbung uang buat Facebook sendiri, mengingat kini pengguna Facebook turun jauh dan bahkan kalah dengan platform akuisisi miliknya.
Dimulai dari Instagram di tahun 2012 yang kala itu dianggap sangat fenomena dan menjadi pesaing Flickr punya Microsoft. Dana sebesar US$ 1 Miliar jadi mahar yang dibayarkan Facebook pada akuisisi tersebut. Si Founder Instagram, Kevin Systrom dan koleganya Mike Krieger mendadak jadi milyuner setelah akuisisi tersebut. Kini Instagram jadi media paling tinggi pertumbuhan penggunanya.
Tak berhenti di situ, Facebook kemudian mengakuisisi salah satu Instan Messaging besar yang sedang tumbuh, WhatsApp dengan harga menggiurkan yaitu US$ 14 Miliar. Jan Koum kecipratan hasil akuisis tersebut dan kini tidak berada lagi di direksi WhatsApp sama dengan Kevin Systrom. Kekuasaan penuh mentok dipegang oleh Facebook oleh CEO-nya Mark Zuckerberg.
Alhasil bisa dilihat kini semua fitur yang dimiliki ketiganya sangat identik, hanya berbeda dari tampilan warna saja. Bahkan di masa depan akan menawarkan koneksi lintas platform. Efeknya juga menghampiri, ketiganya akan sering mengalami masalah yang identik, Seperti salah satunya layanannya tumbang (down) baik itu gangguan server global atau lokal, ketiganya akan tumbang dalam waktu bersamaan.
Salah satu yang mengganggu adalah Facebook tunduk pada pemerintah di sebuah negara termasuk pemerintah Indonesia. Sehingga akses layanan bisa kapan saja bisa dibatasi, bahkan obrolan privasi antar pengguna. Bagi saya tak salah, karena setiap platform harus mengikuti aturan main sebuah negara termasuk membeberkan data privasi pengguna yang dianggap mengancam. Tapi tidak harus mengorbankan dan bahkan mencurigai semua orang, karena semua manusia punya batas privasinya termasuk di dunia maya.
Mungkin kita pernah mendengar kasus Cambridge Analytica yang mengguncang negeri Paman Sam beberapa tahun lalu. Inilah awal noda hitam bahkan Facebook tidak lihat menjaga data penggunanya. Skandal bocornya data pengguna Facebook berawal dari bocornya aplikasi pihak ketiga yang sering berseliweran di Timeline Anda. Semua itu berawal di tahun 2014, seorang peneliti bernama Aleksandr Kogan membuat aplikasi bernama This is My Digital Life. Aplikasi seperti kuis-kuis Facebook ini tidak hanya mengambil data 270 ribu data penggunanya saja, akan tetapi mengambil data teman-teman si pengguna tanpa perlu meminta izin.
Inilah yang menjadi alasan bocornya 50 juta pengguna Facebook dan 1,26% datang dari Indonesia. Data yang bocor sebanyak itu kemudian digunakan oleh Cambridge Analytica untuk membantu kampanye Donald Trump. Tujuan utamanya menyebarkan konten-konten yang tepat kepada penduduk USA dan global sesuai data pribadi yang mereka dapatkan. Supaya nantinya mereka memberikan hak pilih Trump di tahun 2016 silam. Hasilnya Trump menang secara mengejutkan dan mengalahkan kandidat tunggal Partai Demokrat, Hillary Clinton.